Pada satu senja, yang mencemaskan hujan, kita seperjalanan. Duduk bersisian dengan telinga berbagi luka dan mata kita biarkan setengah terbuka. Di telinga, senja dan lagu leluasa membuka lemari memori. Resonansi ingatan, katamu.
Perbincangan kita menyentuh apa saja, bahkan perkara-perkara yang tidak pernah kita obrolkan. Perkara bagaimana siput berganti cangkang, kupu-kupu yang lupa cara terbang, kunang-kunang mencari cahaya, pemilu yang bikin pilu, juga orang-orang yang meninggal di jalan bebas hambatan. Apa saja.
Di haru hati, kita menanam banyak rahasia: rindu yang sudah lama kita sembunyikan dari liuk mata, lekuk tubuh, dan lepuh lidah. Sepanjang jalan aku jadi pendengar. Ya, kutelan segala kesah yang tumpah ruah dari dadamu. Kutelan begitu saja seolah meneguk ludah.
Kemudian, lidahmu kehilangan kata-kata. Mungkin gara-gara aku yang tak mahir membuka tanya, mungkin karena kepalamu memilih bahuku sebagai tempat labuh letih. Adapun senja dan telinga, masing-masing sibuk sendiri, tak henti-henti melantunkan lagu luka.
2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H