Ada satu tempat di pondokan saya yang rajin sekali saya datangi. Dalam sehari bisa lebih sering daripada jadwal makan, minum, atau aktivitas harian lainnya. Tempat itu bernama rak buku. Memang berantakan, tapi—bagi saya—selalu menarik dijadikan tujuan pelesiran batin. Sangat semrawut, tapi—bagi saya—semerbak bau kertas selalu yang-paling dalam urusan memanjakan hati.
O ya, ada dua alasan mengapa saya sangat suka mendatangi rak buku. Pertama, karena buku-buku di rak itu menyuguhkan banyak gagasan. Kedua, saya harus kembali pada alasan pertama agar terus-terusan menemukan gagasan. Meski begitu, saya mendatangi rak buku bukan hanya pada saat membutuhkan kehadiran Si Gagasan. Bagi saya, buku selalu teman paling setia yang pasti ada kapan saja saya perlu.
Saban membaca, kadang kala sebelum satu buku rampung saya baca, gagasan-gagasan berlintasan di kepala. Ketika mata saya pelesiran di novel Robinson Crusoe anggitan Daniel Defoe, misalnya, ingatan saya langsung melayah ke tanah kelahiran dan seketika memancur gagasan ihwal seorang perantau yang ingin mudik lewat perjalanan laut. Alhasil, lahirlah cerpen La Duka.
Hal sama terjadi tatkala saya bertualang di novel Secrets karya Nuruddin Farah. Tak henti-henti Si Gagasan menggedor-gedor kepala saya. Novel apik yang berkisah tentang pengusaha muda dengan kenangan masa kecil, golak politik, dan sengit duka masa lalu itu sukses membuat saya dijauhi kantuk selama bermalam-malam. Akan tetapi, hasilnya dahsyat. Dari sana menyala-nyala hasrat untuk merampungkan novel—yang sekarang sedang saya garap—Mei.
Hanya saja, tulisan ini tidak akan membabar gagasan-gagasan apa saja yang pernah saya temukan di rak buku berantakan saya. Maaf, ya. Kalian pasti punya cara sendiri untuk mencari dan menemukan Si Gagasan. Barangkali ada di antara kalian yang pernah mendapati Si Gagasan berkeliaran di jalan, di pasar, di sekolah, di terminal, di angkot, di mana saja. Ketika itu terjadi, jangan biarkan ia pergi dan menjauhi kalian. Panggil dan jamu sebaik-baiknya agar ia kerasan dan nyaman bersama kalian.
Nah, bagian itulah yang hendak saya tuturkan, yakni perihal bagaimana saya memanggil, menjamu, dan memperlakukan Si Gagasan.
Menyusun gagasan. Saat gagasan menyapa kepala, saya segera mencatatnya. Bila tengah jauh dari alat tulis-menulis dan komputer, saya gunakan ponsel. Catatan itu saya rawat dengan telaten, sama seperti saya merawat rindu, agar dapat dengan mudah saya temukan manakala diperlukan. Saya takkan gegabah membiarkan Si Gagasan memasuki bilik memori, lalu keluar, lepas, dan menghilang begitu saja. Tidak. Ia akan saya terungku dalam penjara yang pintunya berlapis-lapis dan terkunci rapat.
Tentu saja akan banyak gagasan yang terpenjara di dalam bilik memori saya. Tak apa-apa. Itu malah anugerah indah. Saya bahkan membiarkan Si Gagasan mengusik benak, merusak jam tidur, atau memenuhi pikiran saya. Sebagai pengarang, pekerjaan utama saya memang berpikir macam-macam dan berpanjang angan-angan. Dan, teman terbaik saya dalam bekerja adalah Si Gagasan.
Membongkar gagasan. Gagasan-gagasan yang saya simpan itu sebagian berbentuk “bahan mentah”, sebagian lainnya sudah “siap saji”. Yang masih mentah saya biarkan tergolek begitu saja, yang siap disajikan atau disarikan ke dalam tulisan akan saya interogasi sedemikian rupa. Caranya? Saya mengajukan rupa-rupa pertanyaan mendasar, semisal mengapa saya harus menulis gagasan itu, apa saja yang akan mewarnai tulisan itu, dan bagaimana saya menulisnya.
Sebagai contoh, Mei. Mengapa saya harus menulis novel itu? Karena masih banyak di antara kita yang doyan mempertengkarkan perbedaan suku, ras, dan agama, sampai-sampai kita lupa bagaimana semestinya memanusiakan manusia. Siapa tokoh utama—sebagai aku—dalam novel itu? Seorang gadis remaja. Mengapa harus gadis remaja, bukan ibu-ibu atau wanita dewasa saja? Begitulah. Saya bongkar gagasan untuk memastikan mengapa dan bagaimana novel itu saya rampungkan.
Merapikan gagasan. Sewaktu bilik memori saya memanggil-manggil untuk disapa atau disambangi, saya akan segera menentukan bibit gagasan mana yang akan saya pindahkan ke kebun, lalu ditanam, disiram, dipupuk, hingga tumbuh rimbun dan serta-merta menghasilkan buah bernama buku. Tentu akan saya pilih gagasan yang paling siap atau yang paling menyenangkan untuk selekas-lekasnya ditulis.
Lantaran menulis adalah pelesiran batin, saya tidak akan memilih gagasan yang masih musykil ditulis: data belum cukup, bentuk belum jelas, tokoh belum pasti, atau alur masih kabur. Namanya juga pelesiran batin, saya harus memastikan bahwa menulis adalah sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Bukan sebaliknya, menyiksa batin sampai-sampai makan berasa tak lezat dan tidur tak lagi nyenyak.
Tiga hal itulah yang saya lakukan apabila Si Gagasan tersesat dan terkurung di dalam bilik memori saya. Hanya tiga itu. Tidak kurang, tidak lebih. Bagaimana dengan kalian? Di mana kalian sering bertemu dengan Si Gagasan? Ah, maaf, kalian pasti sudah sering bertemu dengannya, entah di mana dan bagaimana caranya.
Akan tetapi, tidak ada juga faedahnya sering bertemu dengan Si Gagasan jika ia hanya dibiarkan datang sekejap dan hilang selamanya. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H