Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Itu Menyembuhkan Luka

3 Juli 2016   15:07 Diperbarui: 3 Juli 2016   18:42 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hebatnya, kesadaran itu hadir sebagai penyembuh tanpa tuntutan ucapan terima kasih atau permintaan imbal jasa. Bersama kesadaran, saya menyadari bahwa luka hanyalah sempalan atau potongan perasaan yang amat-sangat tidak penting untuk kita rawat sepanjang hidup.  

Kesungguhan. Semula saya kira Si Tabib Tulis sedang kumat sifat jenakanya sehingga meminta saya agar bersungguh-sungguh dalam menulis. Ternyata tidak. Kesungguhan termasuk faktor penentu akan seberapa lama penyembuhan itu berlangsung. Makin tekun makin cepat. Makin apik pula hasilnya. 

Awalnya tidak mudah. Saya harus menempuh banyak cara, hingga saya memastikan bahwa rahasia terbesar saya dalam menulis cuma satu: memperlakukan semua tulisan sebagai catatan harian. Mengapa harus seperti catatan harian? Alasannya sederhana, karena saat menulis catatan harian benak saya tidak menanggung banyak beban: semata-mata menulis untuk diri sendiri. Dengan kata lain, yang saya harus singkirkan dari benak saya adalah pikiran picik bahwa menulis itu beban.

Kecintaan. Inilah obat terakhir yang disuguhkan Si Tabib Tulis ke hadapan batin saya. Tanpa cinta, mustahil kita bisa menulis sepenuh hati. Dengan cinta, tulisan adalah hati itu sendiri. Hanya saja, menumbuhkan rasa cinta mendalam itu bukan perkara mudah. Saya menyebutnya mudah-mudah susah—demi menjaga rima, saya tidak memakai kata gampang—yang terkadang sangat mudah pada satu ketika dan sangat susah pada saat yang lain. 

Dalam hal ini, cinta pada dunia tulis-menulis itu saya perlakukan laksana tanaman, harus dirawat dengan tekun setiap hari. Apalagi jika dikait-pautkan dengan upaya penyembuhan luka, cinta itu akan saya usahakan terus bertumbuh dan bertambah.

Itulah empat obat yang disodorkan Si Tabib Tulis kepada saya. Mungkin saja obat yang sama dapat Anda pakai sebagai penyembuh luka. Mungkin loh. Hanya saja, ada dua perkara yang mesti saya sampaikan kepada Anda. Menurut Si Tabib Tulis, obat-obat itu harus Anda telan dari urutan terakhir. 

Artinya, ini perkara pertama, mulailah segalanya dari cinta. Menyitir pendapat Naguib Mahfouz pada awal tulisan ini, “Tak ada yang menyamai keajaiban cinta dalam menghapus kegelisahan." Adapun perkara kedua pasti sudah sering Anda dengar atau baca. Jangan takut pada kenangan buruk di masa lalu. Begitu pesan Si Tabib Tulis.

Selamat menyembuhkan jerawat. Eh, maaf, menyembuhkan luka! [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun