Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kepada Siapa Saja yang Ingin Menulis

1 Juli 2016   23:01 Diperbarui: 5 Juli 2016   15:12 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Tentulah kita sadar, ilmu pengetahuan adalah jalan terbaik menuju kebijaksanaan. Lantaran itu, belajar adalah upaya yang harus berlangsung sepanjang hayat di kandung badan. Akan tetapi, tidak boleh setengah-setengah. Kita harus selalu bersungguh-sungguh. Dalam hal menulis pun begitu. Banyak di antara kita yang memiliki kemampuan belajar sama seperti Sang Pemuda dalam cerita di atas. Hanya saja, kita terlalu ingin segera tiba di tangga akhir. Padahal belajar, termasuk menulis, tidak sekadar mencerap dan menyerap materi pembelajaran, tetapi terkait juga dengan bagaimana proses pembelajaran itu berlangsung.  

Manakala setengah dari perhatian kita tercurah pada imbalan yang hendak diraih, sebagiamana ditegaskan Sang Guru Agung, maka tersisa sebagian saja perhatian kita untuk belajar. Artinya, konsentrasi pecah. Perhatian kita bercabang. Alih-alih selesai lebih cepat, bisa-bisa malah terperosok ke dalam lubang kegagalan—lubang yang sebenarnya sangat ingin kita hindari. Ini menunjukkan bahwa kita tidak boleh terlalu mementingkan hasil dan mengabaikan proses. Layaknya waktu yang silih berganti, belajar juga membutuhkan keseimbangan. Apa yang kita pelajari hari ini, barulah akan terekam jelas dalam memori jangka panjang kita bila teori itu diikuti dengan praktik nyata.

Ingat-ingatlah pepatah, “Pengalaman adalah guru yang terbaik.”

Hasrat menggebu, keinginan memuncak, dan gairah yang menyala-nyala untuk belajar seyogianya diimbangi dengan kesabaran dan ketekunan. Fokus memang membutuhkan ambisi, tetapi kita memerlukan keseimbangan. Layaknya siang bertukar dengan malam, tepat pada masanya. Bukankah sesuatu yang dilakukan secara tergesa-gesa berpotensi membuat kita melewatkan sesuatu? Kita harus menyadari, konteks pembelajaran diberlakukan secara utuh dan menyeluruh, bukan secara parsial dan aksidental. Dengan demikian, jangan kepalang. Tanggung basah, sekalian mandi. Leluhur kita mengingatkan, “Berburu ke padang datar, dapat rusa belang kaki. Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi.”  

Oleh karena itu, kesabaran dan ketekunan menjadi syarat mutlak bagi kita. Bukan semata dalam proses pembelajaran, tetapi juga pada seluruh aspek kehidupan. Apalagi kita memiliki kecenderungan kurang menghargai sesuatu yang bisa kita raih dengan mudah, dan lebih menghargai sesuatu yang kita capai dengan cara yang sangat sulit.

Kaya Prasangka

Tidak berbeda jauh dengan proses pembelajaran, menggapai tujuan hidup—semisal kaya atau bahagia—juga kerap memenjara pikiran dan tubuh kita. Tidak ada yang salah kalau kita memancang target jelas untuk segala hal yang hendak kita capai. Dalam ilmu manajemen, menentukan tujuan dan tahapan pencapaiannya adalah sebuah keharusan.

Yang berbahaya jika kita memaknai segalanya hanya dari hasil yang kita dapati, bukan dari proses yang kita jalani. Akibatnya fatal. Alih-alih menemukan mengapa dan bagaimana kegagalan itu terjadi, kita malah sibuk menyesali kegagalan itu.

Berpikir kritis, laksana Sang Pemuda sebelum proses pembelajaran dimulai, bukan pula sesuatu yang salah. Tetapi, memastikan hasil dan menganggap diri lebih baik dari yang lain taklah layak kita lakukan. Kita semua memiliki kekurangan, sama seperti kita semua memiliki kelebihan. Dan, yang paling penting kita camkan, terkadang apa yang kurang pada diri kita sering kali merupakan yang lebih pada orang lain.

Menjawab dengan santun cecaran pertanyaan—sebagaimana yang dilakukan Sang Guru Agung—pun adalah sikap arif yang patut kita teladani. Cobalah tengok sejenak saja kondisi di sekitar kita. Alangkah banyak di antara kita yang menganggap pertanyaan bukan sebagai pertanyaan, tapi hujatan atau kritikan. Kita kembangkan asumsi dan praduga lebih dahulu, dan menutup diri untuk membiarkan pikiran dan energi positif memasuki otak dan hati kita. Maka, tidak heran kalau banyak perdebatan berujung pada perselisihan. Ini terjadi karena yang dicari bukanlah hakikat kebenaran, melainkan pembenaran atas pendapat dan keyakinan sendiri.

Pada konteks ini, kita layak mencamkan dengan takzim petuah Frederick Keonig, “Kita sering melupakan bahwa kebahagiaan bukanlah berhasil mendapatkan sesuatu yang tidak kita punya, melainkan mengenali dan menghargai yang sudah kita miliki.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun