Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ayat-ayat Sederhana tentang Kepenulisan

30 Juni 2016   12:40 Diperbarui: 30 Juni 2016   12:53 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segala yang berasal dari hati 
lesapnya ke hati juga. 
~ @1bichara (25/10/2013, 19:25 WIB)[1]

Sesuai dengan judulnya, Ayat-ayat Sederhana tentang Kepenulisan, maka masalah-masalah pokok yang dibahas dalam tulisan ini mencakup pernak-pernik kepenulisan. Pemilihan kata ulang ayat-ayat dimaksudkan agar lebih menghunjam ke dalam hati, mengingat kata ayat mengandung kedalaman spiritual. Adapun kata sederhana saya pilih dengan alas pikir bahwa tulisan ini sebenarnya hanya mengungkap hal yang lumrah atau lazim dibincangkan dalam dunia kepenulisan. Sementara kepenulisan sendiri bermakna sebagai segala hal yang terkait dengan dunia menulis.

Dengan demikian, tulisan ini dianggit dengan harapan agar para penulis tidak menjadi “seolah-olah perantau yang tak punya bekal menempuh perjalanan dan tak tahu arah mana yang hendak dituju”.

Ayat Pertama: Bakat Bukanlah Segalanya

Menulis tidaklah semudah yang dibayangkan. Banyak orang ingin menumpahkan ide, gagasan atau impiannya ke dalam tulisan, akan tetapi kerap terhambat oleh berbagai kendala, baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Inilah muasal mengapa tak sedikit orang menduga bahwa bakat adalah penentu kesuksesan seseorang menjadi penulis. Dugaan ini ada benarnya, namun sekaligus mengandung kekeliruan, lantaran bakat tidak memberikan garansi pada siapa pun. Ibarat sebuah tangga, bakat hanya anak tangga pertama. Masih ada anak tangga berikutnya, seperti kesungguhan, ketekunan, keuletan, dan kegigihan.

Seorang novelis Amerika Serikat, William Faulkner (Jacob Sumardjo: 1997, 46), pernah menyatakan bahwa menulis itu 10% bakat dan 90% kerja keras.[2] Semula ia tidak menduga kelak akan menjadi penulis tersohor. Ia bergaul dengan para penulis dan pelukis di Paris, sembari bekerja serabutan agar bisa bertahan hidup. Buah atas kerja kerasnya belajar menulis diganjar dengan anugerah Nobel Sastra 1949.[3] Hal sama dialami oleh Kobo Abe.[4] Sebagaimana ayahnya yang seorang dokter, ia menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Tokyo. Namun, selepas kuliah, ia tidak membuka praktik seperti lazimnya alumni Fakultas Kedokteran. Ia malah asyik bereksperimen dengan pelbagai teori seni radikal dan bergabung dengan sekelompok kecil pegiat diskusi sastra. Akhirnya Abe berhasil meraih penghargaan sastra bergengsi di Jepang, Hadiah Akutagawa.

Cukuplah dua contoh penulis ternama di atas untuk sekilas menggambarkan bahwa bakat bukan segalanya. Bila ada yang harus segera dilakukan oleh (calon) penulis itu pasti kerja keras. Lagi, dan lagi.

Ayat Kedua: Jangan Menunggu Ide Turun dari Langit

Ada banyak cara untuk mencari ide. Akan tetapi, cara yang paling buruk adalah mengira bahwa ide itu bisa turun dari langit, tercurah deras laksana hujan, sehingga penulis tinggal menadah dan menampung tumpahan ide itu. Tidak! Ide itu harus dicari dan ditemukan. Benny Arnas—seorang cerpenis yang bermukim di Lubuklinggau, Sumatra Selatan—kerap menjaring ide lewat interaksi dengan masyarakat di sekitarnya. Kekayaan tradisi ia manfaatkan sebagai pemantik imajinasi. Sesekali ia berselancar di dunia maya, sebut saja riset di internet, untuk mengayakan bahan yang hendak ia olah sebagai napas cerita. Kadang ia sambangi perpustakaan di kota kelahirannya agar data yang dicarinya lebih lengkap. Interaksi dengan orang-orang di sekitarnya itu tanpa disengaja adalah jalan ide baginya.[5] Buah dari pencariannya itu telah melahirkan puluhan cerpen yang tersebar di pelbagai koran, baik nasional maupun internasional. Beberapa cerpennya dapat dibaca dalam Bulan Celurit Api [6] dan Jatuh dari Cinta.[7]

Hal berbeda, meskipun masih memiliki kemiripan, dilakukan oleh Emil Amir. Lelaki kelahiran Sinjai, Sulawesi Selatan, ini pernah nekat ke Jakarta demi memenuhi hasratnya untuk belajar menulis cerpen. Selama ini, ia banyak menulis perkara tradisi atau adat istiadat tanah kelahirannya, Sulawesi Selatan. Akan tetapi, tulisan-tulisan itu rata-rata lahir tatkala ia berjarak dengan tanah kelahirannya. Silariang, misalnya, cerpen yang lahir dari kegelisahan menumpuk di kedalaman hatinya melihat adat istiadat yang memenjara manusia dengan perbedaan kasta. Kegelisahan itu menuntun ia menuju pencarian data dan penggalian ingatan terkait tradisi pernikahan di kalangan masyarakat Bugis. Tak tanggung-tanggung, ia datangi sebuah penerbitan demi mendapatkan buku langka yang memuat tradisi pernikahan itu. Hal sama terjadi tatkala ia menganggit cerpen Calabai—komunitas adat di Pangkep, Sulawesi Selatan—yang bahkan belum pernah didatanginya. Ada juga cerpen yang ia karang setelah menerima tantangan dari teman-temannya. Bagi Muhammad Amir, demikian nama bawaan lahir Emil, ide bisa datang dari mana saja.[8]

Dengan demikian, ide bisa berada di sekitar kita. Bisa di mata Bapak, pelukan Ibu, perbincangan dengan kawan dan kerabat, dalam sebuah perjalanan, boleh jadi di jamban atau di mana dan kapan saja.

Ayat Ketiga: Terus Membaca, Terus!

Menulis adalah proses pembelajaran seumur hidup, harus terus kita lakukan sepanjang hayat. Tak boleh terhenti, tak boleh selesai. Sebuah tulisan sudah kita pajang di blog, misalnya, jangan sampai membuat kita terlena dan berpuas diri. Apalagi mengira bahwa tulisan itu adalah puncak atau akhir capaian—lantaran pujian dan makian yang memenuhi kotak komentar. Malah, seyogianya, cacian dan pujian itu kita jadikan bara baru untuk memantik agar kita terus menulis.

Salah satu cara mengasah kemampuan menulis, ya, dengan membaca. Mustahil bisa melahirkan tulisan yang baik—dan terus membaik—tanpa disertai pembiasaan membaca. Begitu pendapat Arman Dhani.[9] Esais yang kerap saya gelari “ulama buku” ini menjaring ide buat bahan tulisannya berdasarkan fenomena menarik yang terjadi di sekitarnya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Jarang sekali ia bertopang dagu atau mengetuk-ngetuk dahi demi pencarian ilham. Baginya, fenomena apa saja bisa jadi bahan tulisan. Kadang fenomena itu sesuatu yang amat serius, sesekali malah terlihat sepele atau senda gurau belaka. Kemudian, ia melahap dua hingga tiga buku atau artikel guna merampungkan sebuah esai. Membaca, bagi Arman, bukan lagi sekadar aktivitas iseng buat mengisi waktu luang. Baginya, membaca adalah kebutuhan jiwa: memenuhi bagasi kepala, memperkaya diksi, mengasah gaya bahasa, dan lain-lain.

Bernard Batubara, prosais muda yang memulai karier kepenulisan lewat puisi, juga mengimani hal yang sama. Waktu itu, lewat akun twitter-nya, ia sedang menekuri karya-karya sastra para peraih Nobel. Bagi Bernard, peristiwa membaca adalah ibadah intelektual agar terhindar dari persoalan serius berkenaan dengan tata bahasa, ejaan, kosa kata, dan lain-lain.

Jadi, mulailah membaca. Tak peduli apa pun tujuan awal petualangan membaca itu, lakukan saja. Bila ingin tulisan bergizi, membacalah. Baca apa saja!

Ayat Keempat: Menulis Itu Tak Mengenal Ruang dan Waktu

Bagi anak-anak muda di seantero dunia, nama J.K. Rowling tentulah tak asing lagi. Penulis yang melahirkan cerita fantasi Harry Potterini punya kebiasaan menulis secara rutin setiap hari. Kadang selama tiga jam, kadang lebih sepuluh jam. Pengakuan J.K. Rowling ini dimuat dalam buku karya Marc Shapiro, J.K. Rowling: The Wizard Behind Harry Potter (Hernowo: 2003, 117).[10] Menurut J.K. Rowling, menulis itu bisa kapan saja, di mana saja, dan kadang dilakukan dengan tulisan tangan.   

Barangkali ingatan kita masih menyimpan dengan kuat sekalimat pepatah “ala bisa karena biasa”. Dalam hal menulis, pembiasaan adalah sebuah keniscayaan. Makin sering berlatih, makin terampillah kita. Teknologi juga semakin memudahkan kita dalam menulis. Saat ini, kita tak perlu menulis di atas selembar daun lontar. Tak perlu pula sabak atau batu tulis lantaran sekarang tersedia banyak sabak elektronik (gadget). Menulis pun tak harus di kertas konvensional, kita bisa memanfaatkan blog atau media “dalam jaringan”(online) lainnya. Ketika ada huruf atau kata atau kalimat yang salah, kita tinggal menekan tombol backspaceatau deletedi papan tombol komputer.

Ayat Kelima: Menulis Itu Seni, Harus Berasal dari Hati

Belajar menulis itu tak perlu buru-buru. Harus telaten, sabar, dan tekun. Ketelatenan, kesabaran dan ketekunan itulah yang penting dimiliki oleh para penulis. Tatkala ide yang ditunggu tak kunjung muncul, tekun dan sabarlah mencarinya. Manakala hati sedang tak “nyaman” buat menulis, carilah penghiburan yang tepat agar perasaan nyaman itu datang dan tak pergi-pergi lagi. Sekali lagi, tak perlu buru-buru. Lihatlah bayi yang tak langsung melompat: mereka belajar merangkak dulu, berdiri, lalu berjalan. Setelah mahir, barulah mereka berlompatan atau berlarian. Hal sama berlaku dalam proses kreatif kepenulisan. Butuh proses, butuh tahapan. Ibarat pepatah kuno Inggris yang menyatakan, “Learn to walk before you run.” 

Ketika satu tulisan rampung, endapkan dulu. Tak perlu buru-buru memajangnya atau memamerkannya demi memuaskan hasrat keterbacaan. Baca lagi, sunting lagi, dan baca lagi. Perindah tulisanmu dengan sentuhan rasa. Gunakan emosi, libatkan hati. Segala yang berasal dari hati lesapnya ke hati juga. Terus berlatih, terus menulis. 

Pada Akhirnya…

Segala berulang ke dalam diri kita. Seperti hal lain di dalam hidup, menulis harus dilakukan dengan sepenuh hati. Jangan tanggung, tidak elok menceburkan diri setengah-setengah ke dalamnya. Selamat bertualang di dunia kata. [kp]

Catatan:

[1] Salah satu cuitan saya di twitter terkait pelibatan emosi dalam tulisan. Selain berpotensi membetot emosi pembaca, pelibatan emosi juga menjadi pembeda jejak kepenulisan antara penulis yang satu dengan yang lain.
[2] Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[3] Lebih jauh tentang William Faulkner bisa dilihat dalam Ensiklopedi Sastra Dunia karya Anton Kurnia pada halaman 62. Diterbitkan oleh Indonesia Buku, 2006.
[4] Ibid., hlm. 2.
[5] Wawancara lisan via telepon: Minggu, 3 November 2013, pukul 13:44 WIB.
[6] Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Koekoesan, Oktober 2010.
[7] Diterbitkan pertama kali oleh Grafindo, Mei 2011.
[8] Wawancara lisan melalui telepon: Minggu, 3 November 2013, pukul 14:00 WIB. Cerpen Emil Amir, Ambe Masih Sakit, terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 2012 dan dimuat dalam Laki-laki Pemanggul Goni, Juni 2013, ditebitkan oleh Kompas.
[9] Wawacara tertulis via WhatsApp: Minggu, 3 November 2013, pukul 14:08 WIB.
[10] Quantum Writing, diterbitkan oleh Penerbit MLC.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun