Sore itu, Ara memutuskan untuk mengirim pesan panjang pada Ica. Ia berharap, mungkin dengan kata-kata, Ica bisa mengerti betapa mereka merindukan kehadiran sahabat lama mereka. Ia mengetik dengan cepat:
Ca, kita kangen banget sama kamu. Aku ngerti kamu sibuk, tapi rasanya udah lama banget kita nggak ketemu. Kita mau cerita, mau dengerin cerita kamu juga. Apa masih ada waktu buat kita?
Ara menunggu, berharap ada balasan cepat. Tapi sejam berlalu, jarum jam terus berputar. Ica tak kunjung juga membalas pesan Ara.
Ara dan Lia merasa terabaikan. Mereka telah berusaha memahami Ica, tetapi setiap kali mereka berbicara, Ica tampaknya terlalu sibuk dengan agenda pribadinya sekarang.
Hari-hari berlalu, dan Ica semakin sering tidak hadir dalam pertemuan mereka. Dia mulai memprioritaskan pekerjaan dan teman-teman baru yang dia anggap lebih penting daripada kebersamaan mereka. Mural yang mereka buat bersama tampaknya semakin pudar dalam ingatan Ica, yang telah terjebak dalam dunia barunya.
Satu malam, setelah perayaan ulang tahun Lia, Ica datang dengan berita yang mengejutkan. Dia memberitahukan Ara dan Lia bahwa dia telah menerima tawaran pekerjaan di kota lain, yang memerlukan dia untuk pindah. Ica menunggu sambutan mereka, tetapi yang dia terima hanyalah kesedihan dan ketidakpahaman di mata sahabat-sahabatnya.
"Kenapa kamu tidak memberitahu kami lebih awal?" tanya Ara, suaranya bergetar.
"Aku tidak ingin membebani kalian dengan keputusan ini," jawab Ica. "Ini adalah kesempatan besar untukku."
Lia mencoba menenangkan Ara yang mulai menangis. "Kami hanya merasa kamu terlalu cepat meninggalkan kami. Kami telah berbagi begitu banyak bersama."
Ica tampak bingung dan terkejut oleh reaksi mereka. "Kalian tidak mengerti, ini adalah impianku!"
Malam itu, mereka bertiga duduk dalam keheningan yang berat. Meskipun mereka mencoba untuk berbicara, kata-kata mereka terasa hampa. Hubungan yang sebelumnya penuh warna kini terasa penuh dengan kesedihan.