"Sudah cukup," katanya pada dirinya sendiri. "Aku memang seharusnya berada di sini. Aku tidak perlu melihat dunia luar."
Tetapi, setiap kali senja datang, hatinya kembali bergetar. Langit jingga dan ungu itu terus memanggilnya. Di sanalah tempat impiannya terbentang luas. Meski ia sudah berusaha menekan perasaannya, Koci tidak bisa menahan kerinduan untuk terbang jauh, melihat hal-hal yang belum pernah ia lihat. Namun, setiap kali ia melihat ke langit, bayangan angin kencang yang menjatuhkannya selalu menghantui.
Suatu hari, saat Koci sedang termenung di dahan rendah, seekor burung elang terbang melintas. Elang itu terbang rendah, memperhatikan Koci yang tampak lesu.
"Hai, burung kecil," sapa elang itu dengan suara tegas. "Kenapa kamu tampak sedih?"
Koci mengangkat kepalanya, terkejut dengan kedatangan elang. "Aku hanya... aku hanya merasa mimpiku terlalu tinggi untuk kucapai," jawab Koci lirih. "Aku ingin terbang jauh dan melihat dunia, tapi aku terlalu kecil. Aku tidak sekuat burung-burung lain."
Elang mengamati Koci sejenak, kemudian tersenyum. "Ukuran tubuhmu bukanlah halangan untuk terbang jauh," kata elang dengan bijak. "Yang kamu butuhkan bukan hanya kekuatan sayap, tetapi juga keberanian hati. Angin yang keras memang bisa menjatuhkanmu, tetapi ia juga bisa membawamu ke tempat yang lebih tinggi jika kamu tahu cara menghadapinya."
Koci menatap elang itu dengan penuh harap. "Bagaimana caranya? Aku sudah mencoba, tetapi aku selalu terjatuh."
"Terjatuh bukan berarti gagal," jawab elang. "Itu adalah bagian dari perjalananmu. Jangan takut untuk mencoba lagi, tetapi kali ini, cobalah untuk merasakan angin, bukan melawannya. Pelajari cara angin bergerak, dan biarkan ia membimbingmu."
Kata-kata elang itu memberikan Koci semangat baru. Ia menyadari bahwa mungkin selama ini ia terlalu memaksa, mencoba melawan angin alih-alih bersatu dengannya. Dengan tekad yang baru, Koci memutuskan untuk mencoba sekali lagi. Ia menunggu senja tiba, ketika angin mulai berhembus lembut di antara pepohonan.
Dengan hati-hati, Koci terbang menuju dahan tertinggi. Kali ini, ia tidak terburu-buru. Ia merasakan angin di bulu-bulunya, memperhatikan bagaimana ia bergerak. Saat angin mulai berhembus lebih kencang, Koci tidak melawan. Ia membiarkan sayapnya mengikuti arus angin, memandu tubuhnya naik lebih tinggi.
Perlahan, Koci terbang semakin jauh dari pohon-pohon di hutan. Angin yang dulu membuatnya takut kini terasa seperti sahabat yang membantunya terbang lebih tinggi. Semakin tinggi ia terbang, semakin luas dunia yang ia lihat di bawahnya. Hutan tempat tinggalnya terlihat kecil, seperti sebuah titik di hamparan alam yang luas.