Mohon tunggu...
Alifah Najla Azzahrah
Alifah Najla Azzahrah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang perempuan yang hobi rebahan sambil menuangkan ide-ide kreatif melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cermin Amarah dan Kasih Sayang

6 September 2024   11:10 Diperbarui: 6 September 2024   16:41 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali aku menatap adikku, Anahera Elma, perasaan emosi yang tak kuundang sering kali menyeruak tanpa peringatan. Tidak ada yang salah dengan dirinya. Setidaknya, itulah yang orang lain lihat. Elma adalah anak yang ceria, penuh semangat, dan selalu menarik perhatian. Tapi bagiku, setiap kali dia berbicara, tertawa, atau bahkan hanya berada di ruangan yang sama denganku, ada rasa marah yang membuncah di dadaku.

Orang mungkin tidak mengerti mengapa aku bisa begitu mudah marah kepadanya. Tapi mereka tak tahu apa yang telah terjadi di masa kecil kami.

Semua bermula ketika aku berusia empat tahun. Saat itu, aku adalah anak tunggal yang menikmati perhatian penuh dari kedua orang tuaku. Meski keluarga kami bukanlah keluarga yang berlimpah materi, aku selalu merasa cukup. Ayah dan Ibu memperlakukanku dengan kasih sayang, dan aku merasa menjadi bagian yang penting dalam hidup mereka. Tapi semuanya berubah saat Elma lahir.

Awalnya, aku begitu bahagia saat tahu akan memiliki seorang adik, apalagi perempuan. Di benakku, terbayang serunya bermain boneka dan masak-masakan bersama. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan hangat itu perlahan berubah. Kasih sayang yang dulu utuh kini terasa terbagi, menyisakan ruang yang semakin sempit untuk diriku sendiri.

Saat Elma datang ke dunia, perhatianku beralih. Aku tak lagi menjadi pusat dari kehidupan orang tuaku. Mereka sibuk dengan bayi baru yang butuh perhatian lebih, dan perlahan-lahan, aku mulai merasa tersisih. Awalnya, aku berusaha memahami. Bagaimana mungkin seorang bayi yang tidak berdaya bisa dianggap sebagai penyebab dari rasa kesepian yang tumbuh di hatiku? Tapi semakin hari, semakin jelas bagiku bahwa perasaan itu tak bisa dipungkiri.

"Bu, ayo hari ini antar aku sekolah!", Ucapku saat itu dengan penuh semangat.

"Tidak bisa ka, nanti adikmu sama siapa?", Jawaban yang selalu ibu berikan kepadaku. Adik adik dan adik. Kala itu umurku belum genap 5 tahun. Aku masih Tk dan aku belum terlalu paham tentang sebuah perasaan. Aku belum bisa mengeskspresikan perasaanku. Mungkin, jika diputar kebelakang yang aku lakukan saat itu hanya menangis, pasrah dan menerima bahwa aku memang harus diantar dan dijemput oleh paman Ilham setiap hari. Paman Ilham adalah adik ibuku, ia baru lulus sekolah dan belum mendapatkan pekerjaan. Jadi ibu menugaskan paman untuk menjadi "ojekku". Ayahku pun sama, ia sibuk bekerja. Pergi sebelum aku bangun, dan pulang saat aku sudah tidur.

Sudah sedariku Tk aku telah dipaksa untuk menjadi anak yang mandiri, yang apa-apa harus dan wajib hukumnya bisa sendiri. Disaat orang tua teman-teman Tk ku dulu semua semangat mengantar, menjemput dan bahkan menunggu anaknya pulang di lingkungan sekolah. Tetapi aku tidak merasakannya.

Mungkin Itu pertama kalinya aku merasa kecewa. Namun, ternyata itu bukan yang terakhir. Setiap kali aku mencoba meminta perhatian, selalu ada Elma yang mendahuluiku. Ibu yang dulu selalu memelukku dengan hangat, kini lebih banyak berfokus pada kebutuhan Elma. Perhatian mereka yang dulu bagiku penuh kasih, kini terasa hanya sisa-sisa.

Satu kejadian yang membekas dalam ingatanku adalah ketika ada Karyawisata dari Tk ku. Saat itu aku sangat senang sekali bisa jalan-jalan bersama teman-teman. Yaa, namun senangku sirna begitu saja. Ternyata ayah ataupun ibuku tidak bisa ikut pergi bersamaku. Dan aku berusaha untuk mengerti dan memahami. Akhirnya, aku pergi bersama nenekku. Tetapi tidak itu saja. 

Mungkin, jika hanya sekali aku pergi bersama nenekku aku bisa menerimanya. Namun, ini tidak. Kurang lebih 4 kali sekolahku mengadakan Karyawisata dengan tujuan yang berbeda, aku tetap pergi dengan nenekku. Yaa nenek. Betapa irinya aku dengan teman-temanku yang diantar ayah atau ibunya. Saat itu kekecewaanku hanyaku pendam sendiri. Pendam dalam-dalam, membekas dan menjadi luka hingga saat ini. Ibuku sempat mengantarku sekali, yaa itu Karyawisata ke 5 kali. Karyawisata terakhir sekaligus perpisahan di Ancol. Hanya itu.

Sejak saat itu, luka di hatiku terus tumbuh. Aku merasa dikhianati oleh perhatian orang tuaku yang tak lagi sama. Setiap tawa Elma, setiap kata pujian yang dia dapatkan, semakin memperdalam luka itu. Aku tak menyalahkan Elma sepenuhnya, tapi rasanya tak terhindarkan untuk menjadikannya simbol dari rasa sakitku.

Apa kalian percaya, semua peristiwa yang terjadi dikehidupan anak berusia empat tahun masih tersimpan rapih dan teringat jelas di kepala? Tapi itulah faktanya.

Waktu terus berlalu. Aku tumbuh menjadi anak yang benar benar benar benar mandiri. Aku selalu berjalan diatas kakiku sendiri. Dariku Tk, Sd, Smp, Sma dan hingga saat ini aku Kuliah. Aku tidak pernah meminta bantuan untuk mengerjakan tugas apapun kepada kedua orang tuaku. Kecuali tugas-tugas seni budaya yang memerlukan tenaga dan waktu lebih cepat. Bahkan kedua orang tuaku pun tidak pernah mengecek buku-bukuku. Karena mereka menganggap aku pasti bisa. Mereka menganggap bahwa sang anak perempuan sulung mereka pasti berhasil melewati apapun itu sendiri. Padahal kenyataannya tidak.

Sejak saat itupula aku tumbuh menjadi anak yang haus akan perhatian. Aku tidak pernah bercerita akan perasaanku. Semua hal yang aku rasakan dan terjadi didalam hidupku, aku pendam  sendiri. Namun, walaupun begitu, aku tetap menjadi anak yang selalu mendapatkan juara. Saat Tk, aku mendapatkan juara 1, Sd rangkingku tidak pernah dibawah dari 3 teratas, Smp dan Sma pun aku sangat aktif disekolah, dan sekarang di kampus akupun aktif berorganisasi serta GPA ku tidak pernah dibawah 3. Itu semua bukan berarti aku bisa. Aku hanya terus berjalan sambil menyeret ragaku yang penuh luka.

 

Ketika kami beranjak remaja, perbedaan kami semakin jelas. Elma selalu berhasil dalam hal-hal yang aku rasakan dulu sebagai milikku. Dia selalu berhasil mendapatkan sekolah negeri. Yaa, aku memang pintar, tapi jalanku untuk bersekolah di sekolah negeri selalu ada saja hambatannya. Aku tidak seberuntung dia.

Sekalipun aku mencoba untuk menahan diri, kadang aku tak bisa mengendalikan emosiku. Ketika dia meminta bantuanku untuk sesuatu yang sederhana, seperti mengerjakan PR atau mencari barang yang hilang, aku langsung meledak. Padahal di dalam hati, aku tahu amarah itu bukan salahnya. Tapi luka itu, luka masa kecil yang belum sembuh, selalu hadir di setiap interaksi kami.

"Aku nggak ngerti kenapa Kak Ala selalu marah sama aku", Elma pernah berkata dengan air mata mengalir di wajahnya setelah aku membentaknya tanpa alasan yang jelas. Aku diam, tak mampu menjawab. Bagaimana aku bisa menjelaskan rasa sakit yang telah mengakar dalam hatiku selama bertahun-tahun? Bagaimana aku bisa mengatakan padanya bahwa kehadirannya sejak awal, selalu membuatku merasa tak berharga?

Di malam yang sunyi itu, setelah melihat Elma menangis, aku duduk sendiri di kamar. Aku mulai menyadari bahwa mungkin ini bukan tentang Elma. Mungkin ini tentang aku, tentang luka masa kecilku yang belum pernah benar-benar sembuh. Tentang rasa terabaikan yang menggerogoti diriku dari dalam. Orang tuaku mungkin tak pernah sadar telah menciptakan jurang itu antara kami. Mereka tak pernah tahu bahwa dengan terlalu fokus pada adikku, mereka membuatku merasa ditinggalkan.

Waktu terus berjalan, dan aku sadar, jika aku tak belajar untuk memaafkan, luka ini akan terus menghantuiku. Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi belajar untuk menerima bahwa masa lalu tidak bisa diubah. Elma bukan penyebab dari rasa sakitku, dan meskipun dia simbol dari pergeseran perhatian orang tuaku, dia tak pernah bersalah. Dia hanya adikku, anak yang lahir ke dunia dengan hak yang sama untuk dicintai.

Malam itu, untuk pertama kalinya, aku menangis. Aku menangisi masa kecilku, menangisi rasa kecewaku, dan menangisi hubunganku dengan Elma. Setelah air mata itu habis, aku tahu bahwa perjalanan menuju pemulihan tidak akan mudah. Tapi setidaknya, aku sudah mengambil langkah pertama. Mengenali luka yang ada, dan menerima bahwa Elma bukanlah musuhku.

Walau akupun belum tahu, bagaimana aku harus memulai memperbaiki hubungan kami. Tapi aku yakin, dengan perlahan, aku bisa mencoba. Dan mungkin suatu hari nanti, aku bisa memandang Elma tanpa merasa marah. Mungkin aku bisa melihatnya hanya sebagai adik yang butuh kasih sayangku, bukan sebagai simbol dari luka yang pernah ada. Karena pada akhirnya, dia adalah keluargaku. Dan tak ada luka yang tak bisa sembuh dengan waktu dan keinginan untuk berubah.

Biarkan cerminku retak dan tidak akan pernah bisa tersusun sempurna kembali. Sekalipun lem terbaik didunia yang mencoba merekatkannya. Biarkan aku, diriku, hatiku dan cerminku. Sang anak Perempuan Pertama yang retak, rusak dan remuk. Biarkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun