Mungkin, jika hanya sekali aku pergi bersama nenekku aku bisa menerimanya. Namun, ini tidak. Kurang lebih 4 kali sekolahku mengadakan Karyawisata dengan tujuan yang berbeda, aku tetap pergi dengan nenekku. Yaa nenek. Betapa irinya aku dengan teman-temanku yang diantar ayah atau ibunya. Saat itu kekecewaanku hanyaku pendam sendiri. Pendam dalam-dalam, membekas dan menjadi luka hingga saat ini. Ibuku sempat mengantarku sekali, yaa itu Karyawisata ke 5 kali. Karyawisata terakhir sekaligus perpisahan di Ancol. Hanya itu.
Sejak saat itu, luka di hatiku terus tumbuh. Aku merasa dikhianati oleh perhatian orang tuaku yang tak lagi sama. Setiap tawa Elma, setiap kata pujian yang dia dapatkan, semakin memperdalam luka itu. Aku tak menyalahkan Elma sepenuhnya, tapi rasanya tak terhindarkan untuk menjadikannya simbol dari rasa sakitku.
Apa kalian percaya, semua peristiwa yang terjadi dikehidupan anak berusia empat tahun masih tersimpan rapih dan teringat jelas di kepala? Tapi itulah faktanya.
Waktu terus berlalu. Aku tumbuh menjadi anak yang benar benar benar benar mandiri. Aku selalu berjalan diatas kakiku sendiri. Dariku Tk, Sd, Smp, Sma dan hingga saat ini aku Kuliah. Aku tidak pernah meminta bantuan untuk mengerjakan tugas apapun kepada kedua orang tuaku. Kecuali tugas-tugas seni budaya yang memerlukan tenaga dan waktu lebih cepat. Bahkan kedua orang tuaku pun tidak pernah mengecek buku-bukuku. Karena mereka menganggap aku pasti bisa. Mereka menganggap bahwa sang anak perempuan sulung mereka pasti berhasil melewati apapun itu sendiri. Padahal kenyataannya tidak.
Sejak saat itupula aku tumbuh menjadi anak yang haus akan perhatian. Aku tidak pernah bercerita akan perasaanku. Semua hal yang aku rasakan dan terjadi didalam hidupku, aku pendam  sendiri. Namun, walaupun begitu, aku tetap menjadi anak yang selalu mendapatkan juara. Saat Tk, aku mendapatkan juara 1, Sd rangkingku tidak pernah dibawah dari 3 teratas, Smp dan Sma pun aku sangat aktif disekolah, dan sekarang di kampus akupun aktif berorganisasi serta GPA ku tidak pernah dibawah 3. Itu semua bukan berarti aku bisa. Aku hanya terus berjalan sambil menyeret ragaku yang penuh luka.
Â
Ketika kami beranjak remaja, perbedaan kami semakin jelas. Elma selalu berhasil dalam hal-hal yang aku rasakan dulu sebagai milikku. Dia selalu berhasil mendapatkan sekolah negeri. Yaa, aku memang pintar, tapi jalanku untuk bersekolah di sekolah negeri selalu ada saja hambatannya. Aku tidak seberuntung dia.
Sekalipun aku mencoba untuk menahan diri, kadang aku tak bisa mengendalikan emosiku. Ketika dia meminta bantuanku untuk sesuatu yang sederhana, seperti mengerjakan PR atau mencari barang yang hilang, aku langsung meledak. Padahal di dalam hati, aku tahu amarah itu bukan salahnya. Tapi luka itu, luka masa kecil yang belum sembuh, selalu hadir di setiap interaksi kami.
"Aku nggak ngerti kenapa Kak Ala selalu marah sama aku", Elma pernah berkata dengan air mata mengalir di wajahnya setelah aku membentaknya tanpa alasan yang jelas. Aku diam, tak mampu menjawab. Bagaimana aku bisa menjelaskan rasa sakit yang telah mengakar dalam hatiku selama bertahun-tahun? Bagaimana aku bisa mengatakan padanya bahwa kehadirannya sejak awal, selalu membuatku merasa tak berharga?
Di malam yang sunyi itu, setelah melihat Elma menangis, aku duduk sendiri di kamar. Aku mulai menyadari bahwa mungkin ini bukan tentang Elma. Mungkin ini tentang aku, tentang luka masa kecilku yang belum pernah benar-benar sembuh. Tentang rasa terabaikan yang menggerogoti diriku dari dalam. Orang tuaku mungkin tak pernah sadar telah menciptakan jurang itu antara kami. Mereka tak pernah tahu bahwa dengan terlalu fokus pada adikku, mereka membuatku merasa ditinggalkan.
Waktu terus berjalan, dan aku sadar, jika aku tak belajar untuk memaafkan, luka ini akan terus menghantuiku. Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi belajar untuk menerima bahwa masa lalu tidak bisa diubah. Elma bukan penyebab dari rasa sakitku, dan meskipun dia simbol dari pergeseran perhatian orang tuaku, dia tak pernah bersalah. Dia hanya adikku, anak yang lahir ke dunia dengan hak yang sama untuk dicintai.