Pendahuluan
Saya menulis artikel ini untuk mengenang peristiwa tahun 1992 yang secara pribadi saya anggap luar biasa bagi karier kepenulisan saya di Media. Meskipun sebagai Ketua Redaksi tahun 1992, saya hanya menerbitkan 1 kali terbitan saja. Tetapi tidak sembarang penulis muda tingkatan SMA dapat duduk di meja Ketua Redaksi sebuah Buletin yang cukup tua.
Jika saya mengingat kembali peristiwa itu, saya merasa heran sendiri karena saya melakukan sebuah pekerjaan yang tidak biasa untuk remaja seusia saya. Saat itu, saya berusia 19 tahun, masih berusia remaja dan masih duduk di bangku pendidikan SMA kelas II. Sejarah Indonesia saat itu masih mencatat kejayaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Sistem pendidikan di SMA saat itu berbeda dengan saat ini. Setiap SMA bermutu apalagi SMA Seminari Lalian masih memiliki sebuah Media Buletin sekolah yang memiliki nilai jual cukup tinggi. Para siswa SMA Kelas III masih menulis tugas akhir berupa sebuah paper ilmiah sebelum mereka mengikuti Ujian akhir. Jadi menulis karangan ilmiah bukan merupakan minat lagi, tetapi sebuah kewajiban bagi seorang pelajar SMA.
Tahun 1992, Rezim Soeharto Masih Berkuasa
Jika saya mengingat aktivitas-akivitas saya di Sol Oriens, saya agaknya kurang percaya bahwa rezim Soeharto sangat keras terhadap Media-Media di zaman saya masih SMA. Jika hal itu terjadi, kami di SMA Seminari Lalian tidak merasakan hal itu. Soalnya SMA Seminari Lalian adalah lembaga pendidikan kesayangan gereja Katolik Keuskupan Atambua. Jadi kami berada di jantung Keuskupan Atambua.
Di Sol Oriens kami bukan hanya menulis tentang masalah-,masalah gereja, tetapi kami juga menulis tentang demokrasi, kenakalan remaja, dll. Malahan banyak penulis menuliskan tentang social politik.
Di kelas saya, belum ada teman-teman kelas saya dari Timor-Timur yang menyumbang karangan. Di Sol Oriens, kami mengenal Antonio Chamnahas, yang pada waktu itu cukup rajin menulis. Dia berasal dari Padiae, Oecuse. Oecusi terletak di sebuah enclave milik Timor-Timur, jadi namanya kurang popular.
Mengapa teman-teman kelas saya dari Timor-Timur tidak menulis di Media Sol Oriens? Saya tahu alasannya. Suatu siang, Inocio Marques da Costa (salah satu teman kelasku yang berasal dari Timor-Timur) pernah mengatakan kepada saya di kelas (waktu itu kami berdekatan bangku), bahwa negerinya diserbu oleh Indonesia.
Inocio Marques da Costa menunjukkan kertas-kertas berisi slogan-slogan perjuangan Fretelin. “Indonesia menginvasi Timor-Timur”, kata Inocio da Costa kepada saya di kelas dengan sangat sedih. Jadi saya memahami bahwa pengajaran sejarah dan nilai-nilai ketatanegaraan yang dia terima dalam pelajaran masih belum dia terima baik. Sehingga cukup sulit para siswa asal Timor-Timur menulis artikel tentang demokrasi dan artikel sosial politik di Sol Oriens.
Mampu Menulis Ilmiah Populer
Saya mencatat keunggulan terbesar dari sistem pendidikan di SMA Seminari adalah SMA Seminari Lalian memiliki Buletin atau Media sendiri. Ya, Lembaga pendidikan SMA Seminari Lalian di Timor-NTT sudah lama memiliki Buletin yang bernama Sol Oriens. Sol Oriens terdiri dari 2 kata bahasa latin, yaitu: Sol berarti Matahari dan Oriens yang berarti terbit. Jadi Sol Oriens berarti Matahari terbit.
Lalian terletak dekat dengan kota Atambua di Kabupaten Belu di wilayah bekas Timor Belanda yang sekarang adalah Timor Barat atau Timor-NTT-Indonesia. Buletin Sol Oriens dapat digolongkan sebuah Media nyata dan ideal. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan saat itu secara tidak langsung mengijinkan penerbitan Media komunikasi resmi untuk setiap SMA di Indonesia.
Memori Tak Terlupakan
SMA Seminari Lalian adalah lembaga pendidikan menengah atas tempat mendidik para calon imam Katolik selama 4 tahun penuh sebelum mereka melanjutkan ke Seminari Tinggi Serikat Religius dan Seminari Tinggi Diosesan (Projo).
Konon nama Buletin Sol Oriens diberikan oleh seorang imam SVD. Saat saya duduk di Kelas Peralihan tahun 1990-1992, saya sudah aktif menulis di Buletin ini dan oleh para pembaca pada tahun-tahun ini, saya dikenal sebagai Bung Kronik atau penulis kronik.
Karier saya meleset di Buletin Sol Oriens pada tahun 1992. Saat tahun 1992, saya terpilih sebagai Sekretaris Bidang (Sekbid) Dokumentasi dan Publikasi pada OSIS SMA Seminari Lalian. Dengan jabatan ini maka otomatis saya adalah Ketua Redaksi Buletin Sol Oriens, sebuah tugas paling berat dan paling menantang di SMA Seminari Lalian. Saat itu saya berumur 19 tahun dan duduk di Kelas II Jurusan Biologi (II.A2). Jumlah siswa di Kelas II.A2 waktu itu hanya berjumlah 12 siswa, hanya 1 Kelas II.A2 dan merupakan para siswa terpilih.
Sebagai Ketua Redaksi Sol Oriens, saya adalah kepala kantor Sol Oriens. Staf saya terdiri dari para Seminaris terpilih, yaitu: Wakil Ketua Redaksi (sebagai orang kedua), Sekretaris 1 dan II, Bendahara, 4 anggota redaksi Sol Oriens terpilih dan 2 orang illustrator. Mereka yang terpilih masuk di anggota Redaksi Sol Oriens adalah para seminaris cerdas di kelas Peralihan, Kelas I dan Kelas II, yaitu para siswa yang masuk ranking di kelasnya.
Pemilihan anggota Redaksi dibicarakan dalam rapat tertutup oleh seluruh staff Redaksi bersama Moderator. Nama-nama para calon anggota Redaksi Sol Oriens diusulkan sendiri oleh Moderator dengan melihat rekam jejak mereka. Saat itu, bahkan ketua OSIS SMA Seminari Lalian termasuk staff saya di Sol Oriens.
Di tahun 1992, ruang atau kantor Sol Oriens memiliki banyak alat pengetikan tua dan arsip-arsip Sol Oriens berusia tua yang tersimpan di beberapa lemari tua. Ketika aktif dalam Sidang Redaksi atau kegiatan musim menjelang Sol Oriens terbit, saya memiliki privelese untuk tidak terlibat secara tepat waktu pada setiap kegiatan Seminari. Jika saya terlambat masuk di ruang makan, kapela dan kelas, para pembina bersama teman-teman seminaris sudah tahu dan memaafkan saya.
Saat saya sebagai Ketua Redaksi pada tahun 1992, Redaksi Sol Oriens mampu mencetak hingga 500 Oplah/Exemplar. Harga tiap-tiap Oplah mulai dari Rp 1000 (untuk para Seminaris) dan bisa mencapai Rp 250.000 untuk 1 Exemplar. Biasanya para pengusaha, para pejabat pemerintah, para imam Katolik dan para Pemimpin Lembaga biara atau pemimpin komunitas biarawan/biarawati Kristen Katolik membeli Sol Oriens dengan harga mahal sebagai bentuk sumbangan sukarela untuk SMA Seminari Lalian. Saya bersama para staff dan para penulis tidak menerima gaji.
Jika dihitung-hitung, sumbangan para pembaca untuk setiap 1 kali terbitan Sol Oriens mencapai ratusan hingga jutaan Rupiah untuk kurs tahun 1992. Nama-nama para penyumbang dan jumlah sumbangannya kami cantumkan pada terbitan Sol Oriens edisi berikutnya. Dengan mengingat mahalnya sumbangan, maka kami di Redaksi bersama Moderator berjuang untuk menampilkan naskah-naskah terbaik dan wajah Buletin yang benar-benar modern dan isinya disukai para pembaca.
Setterologi
Di Sol Oriens, saya bersama Moderator menggunakan cara menulis bertingkat secara turun-temurun. Cara ini adalah kemampuan warisan dari para Staf Redaksi Sol Oriens sebelumnya.
Kemudian saya tahu bahwa cara menulis bertingkat penting dipelajari dalam ilmu Setterologi. Setterologi adalah ilmu mengenai cara dan teknik menyusun huruf-huruf yang benar dan lengkap untuk membentuk makna yang dapat dimengerti secara jelas oleh para pembaca sesuai dengan kaidah-kaidah tata bahasa Indonesia yang baku dan resmi.
Dalam zaman revolusi pendidikan dan revolusi Media ini, ilmu tentang teknik penyusunan huruf-huruf atau Setterologi lahir kembali di tengah-tengah revolusi Media internet yang membutuhkan ketepatan tinggi dalam menulis baik dalam hal penempatan huruf yang lengkap dan tepat dalam kata dan kalimat-kalimat untuk kebutuhan percetakan dan penerbitan.
Menulis di Media sering dilanjutkan dengan percetakan buku. Hal ini disebabkan banyak penerbitan lebih suka menerbitkan kembali karya-karya yang sudah terbit di media online karena para pembacanya sudah banyak. Setterologi juga harus dikuasai oleh para mahasiwa untuk membuat tugas berupa paper dan karya ilmiah sebagai tugas akhir.
Setterologi juga penting bagi para guru dan dosen di tempat mereka kuliah dan bekerja, serta para wartawan dan para penulis buku. Tugas Setterologi biasanya dipakai para Editor naskah. Hanya saja para Editor biasanya tidak merubah huruf-huruf yang sudah dicetak oleh para penulis secara asli.
Dalam sebuah buku cetakan atau karya ilmiah cetakan, Penulis adalah jantung dari sebuah buku atau karya ilmiah. Editor adalah hanya seumpama cleaning service saja. Sehingga menulis sebuah artikel atau wacana memerlukan kesadaran dan pikiran jernih serta nyali besar, agar apa yang kita sedang tulis harus sesuai dengan tata bahasa, ejaan dan yang paling penting agar huruf-huruf yang membentuk kata dan kalimat benar-benar sempurna dan tepat, tidak terlupakan huruf-huruf penting dalam sebuah kata penentu makna kalimat atau kata.
Setterologi atau ilmu untuk mencetak seorang Setter yang ahli dan handal ini sebenarnya sudah dikembangkan sejak zaman Belanda di Indonesia pada sekolah teknik Ambachonderwijs. Pada zaman itu, sudah ada kesadaran bahwa ketepatan menulis kata-kata secara lengkap dalam cetakan adalah iding penentu ilmu.
Setterologi atau ilmu tentang teknik menyusun huruf atau sett dikembangkan oleh penerbit-penerbit dan percetakan-percetakan besar. Cara paling mudah telah dilakukan oleh para penerbit zaman dahulu yakni dengan cara menulis bertingkat.
Kerja Keras dan Kerja Tuntas
Kita kembali ke Sol Oriens. Di Sol Oriens, saya memiliki motto: kerja keras dan kerja tuntas. Motto ini adalah tuntutan mutlak untuk sukses di Sol Oriens. Ketika saya dipercayakan untuk menjadi Ketua Redaksi (Pemred) Buletin ini, Redaksi Sol Oriens belum memiliki Komputer sendiri dan alat percetakan canggih. Kami mengandalkan beberapa mesin ketik tua dan 2 buah mesin ketik baru milik kantor administrasi sekolah untuk pengetikan naskah akhir sebelum diperbanyak di mesin percetakan tua.
Di bagian Redaksi, saya mengandalkan cara menulis bertingkat. Memang cara ini butuh kerja keras dan kerja tuntas. Menulis cara bertingkat dilakukan dalam berbagai tingkatan, mulai dari menulis di kertas putih biasa berupa cakaran dengan menggunakan pena oleh para siswa, lalu tulisan tangan ini diperiksa dan jika dianggap baik oleh moderator dan Ketua Redaksi, maka saya dan staff saya mulai bekerja untuk menampilkannya dalam cetakan percobaan. Redaksi menyebut cetakan percobaan ini sebagai pengetikan atau cetakan prospektus. Setelah cetakan propektus selesai, saya bersama moderator harus mengetik di kertas sett, ini butuh waktu dan kerja keras. Setelah ketika di kertas set selesai, saya dan moderator mencetak di alat pencetakan tua. Kemudian saya membawa kertas-kertas cetakan akhir itu di kantor Sol Oriens untuk disusun dan dijilid ramai-ramai oleh para staff saya menjadi Buletin terbit. Tugas penting selanjutnya adalah saya harus mengkoordinir pemasaran dan penjualan.
Pengalaman saya menunjukkan bahwa cara menulis bertingkat sudah maksimal menampilkan huruf-huruf secara tepat dan lengkap di atas kertas sett cetakan secara benar agar dapat tampil bersih dan rapih ketika diputar di mesin-mesin sett.
Masih Tetap Aktual
Sekarang ini saya yakin, Sol Oriens masih menggunakan cara ini meskipun sudah ada Komputer dan Percetakan modern. Para siswa masih tetap menggunakan cara menulis di kertas putih dengan pena dahulu sebelum diserahkan ke Redaksi untuk diperiksa Moderator.
Meskipun sudah ada teknologi Komputer sekarang, proses menulis cara bertingkat masih terasa actual dan up to date. Yang diperlukan adalah kesadaran dan pikiran jernih serta konsentrasi yang tinggi untuk meneliti setiap kata dan huruf dalam penulis di atas kertas putih dan di layar Komputer atau Laptop.
Para penulis yang terampil tentu memiliki pengetahuan dan pengalaman melalui pelatihan-pelatihan. Umumnya merupakan para ahli yang sudah menyelesaikan pendidikan mulai dari tingkat SMA/SMK, Diploma III, S1, S2 hingga S3. Mereka tentu sudah tahu teori-teori tentang tata bahasa dan tata cara penulisan sesuai dengan ejaan yang baku.
Sebagai penulis, kita membutuhkan konsentrasi dan pikiran jernih untuk mengingat dan mempraktekkan semua teori-teori yang didapat selama menjalankan pendidikan dalam bentuk tulisan di depan Komputer atau Laptop.
Tulisan harus segera dibaca ulang dan harus diteliti kata demi kata berulang-ulang. Jika adalah huruf-huruf yang dilupakan segera tulis ulang dan sempurnakan, tidak boleh ditunda-tunda perbaikannya. Untuk menghasilkan penulisan tangan dan pengetikan yang tepat dan benar anda jarus relakan banyak waktu untuk Anda dapat memerika kembali dan memperbaiki tulisan anda segera.
Tugas-Tugas Penting Ketua Redaksi Sol Oriens
Penggunaan cara menulis bertingkat hanya salah satu kegiatan pokok seorang Ketua Redaksi Sol Oriens. Saya rangkumkan tugas-tugas penting yang sangat menguras tenaga dan pikiran sebagai Ketua Redaksi (Pemred) adalah (1). Mengkoordinir beberapa kali sidang penentuan tema penerbitan, (2). Mengkoordinir penerimaan naskah-naskah tulisan tangan para siswa, (3). Membahas isi naskah bersama staf dan moderator, naskah tulisan tangan untuk layak terbit atau ditolak/tidak layak terbit, (4). Mengkoordinir pengetikan prospectus dan pengetikan di kertas sett, (5). Mengkoordinir penjilidan, (6). Mengkoordinir pemasaran, (7). Mengkoordinir evaluasi terbitan.
Penutup
Meskipun tidak mendapatkan bayaran berupa uang, kami di Redaksi Sol Oriens memiliki kepuasan besar setelah berhasil menjalankan tugas-tugas yang dipercayakan kepada kami. Pengalaman saya di Buletin Sol Oriens adalah pengalaman pribadi saya sebagai penulis dan pengelola muda sebuah Media sekolah yang dapat saya bagikan kepada para penulis muda. Saat tahun 1992 itu saya adalah seorang calon Imam. Pada tahun 1994, saya berhasil lulus SMA Seminari Lalian dan diterima untuk masuk Novisiat SVD di Nenuk sebagai seorang frater Novis SVD.
Di Nenuk, salah satu tugas saya adalah Sekretaris Buletin Lorosae, sebuah Buletin resmi Novisiat SVD St. Yoseph Nenuk. Kami menerbitkan 2 kali terbitan di Buletin Lorosae dengan tugas saya tidak jauh berbeda dengan ketika saya di Sol Oriens. Saya beruntung meraih pengalaman berharga di 2 Buletin ini.
Saya bahagia ketika saya mengenangkan kembali moment-moment perjuangan menerbitkan 2 Media di bangku pendidikan SMA dan Novisiat SVD Nenuk. Bagi saya, setiap penulis harus menulis secara tepat dan lengkap huruf-huruf agar kata-kata dan kalimat-kalimat dalam setiap tulisan dapat dimengerti oleh para pembaca.
Belu, 22 Juni 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H