Â
Selama Pandemi Covid-19, jelas, bahwa sekolah-sekolah telah ditutup sementara untuk jangka waktu yang lama. Beberapa kali pengajaran dilakukan secara online dan jarang dilakukan di dalam setiap kelas.Â
Kondisi ini telah mengakibatkan para siswa jarang datang ke sekolah. Tetapi mereka harus tetap mematuhi semua kewajiban mereka  "agar mereka naik kelas atau lulus ujian akhir"(?).Â
Beberapa pertanyaan berikut dapat diajukan: Apakah yang kita pikirkan dengan kondisi di atas? Dalam konteks Indonesia, apakah pendidikan model sekarang dapat meningkatkan kualitas pendidikan? Lalu apakah letak kerugian pada para siswa dan orang tua atas sistem yang berlaku sekarang?
Kita sudah menginjak akhir semester genap Tahun Ajaran 2020/2021, dan kita masih dalam status pandemi Covid-19. Beberapa institusi pendidikan selama bulan-bulan terakhir sudah beroperasi secara reguler untuk tahun ajaran 2020/2021, meskipun sejujurnya belum benar-benar maksimal. Kita harus akui bahwa anak-anak dan kaum remaja serta keluarga mereka adalah kelompok-kelompok yang rugi besar akibat  krisis Covid-19.
Banyak kerugian dapat dijelaskan satu-satu mulai dari  guru tidak menyajikan bahan-bahan ajar secara teratur lagi di kelas tetapi mereka tetap menerima hak-hak mereka meskpun tidak utuh lagi. Pembatasan sosial juga diberlakukan untuk para siswa. Para siswa dapat mengakses internet dan membutuhkan tambahan pengeluaran berupa belanja data kuota internet.
Studi internasional menunjukkan bahwa sebagian besar siswa telah tertinggal secara signifikan dalam perkembangan belajar. Mereka mengalami kesulitan ketidakberuntungan sosial karena pembatasan sosial. Mereka menderita kehilangan banyak kesempatan dan peluang karier  Dalam kondisi di atas, kesenjangan sosial ekonomi antara yang kaya dan yang miskin melebar. Kesenjangan ini mengakibatkan kualitas pendidikan memburuk. Ketimpangan sosial juga meningkat. Defisit pendidikan agaknya cukup sulit diatasi. Kondisi ini berdampak negatif pada pendidikan dan karir pekerjaan.
Faktor penyebab kemunduran pendidikan adalah pembatasan segala bentuk kontak sosial dalam skala besar. Padahal kontak sosial diperlukan untuk perkembangan anak. Penurunan kualitas pendidikan membebani orang tua.Â
Efek negatif dari pembatasan sosial diremehkan dalam pendidikan. Lebih menyedihkan, beberapa bulan selama Pandemi Covid-19 malahan terjadi demonstrasi besar-besaran terjadi di Indonesia mempersoalkan RUU Omnibus Cipta Kerja. Keputusan pemerintahan tentang masa depan negara tidak terkait sektor pendidikan. Dengan cara itu, bukankah pemerintah telah meremehkan defisit pendidikan? Padahal defisit pendidikan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk upaya pemulihan. Tantangan pemerintah dan warga di masa depan tetap sama untuk hari ini, adalah, pertahanan lembaga pendidikan terhadap bahaya serangan infeksi virus.
Mestinya perlu kebijaksanaan dan pertimbangan baru harus dibuat dengan prioritas pada hak anak-anak dan remaja demi mendapatan hak-hak dalam pendidikan dan perlu perlindungan infeksi dan kesehatan untuk anak-anak dan remaja.
Perlu ada jawaban pemerintah atas pertanyaan tentang proporsionalitas tindakan untuk mengekang terjadinya infeksi pada lembaga-lembaga pendidikan. Selain itu pemerintah harus merumuskan tujuan dari semua tindakan penutupan sekolah dan rencana kebersihan untuk mencegah infeksi. Lembaga kesehatan juga harus mampu mengidentifikasi orang yang terinfeksi dan menjaga agar konsekuensi penyakit bagi sistem kesehatan tetap terpantau.
Kita harus akui bahwa kehadiran sebagian besar anak dan remaja di sekolah tidak menyebabkan peningkatan jumlah infeksi. Para pakar medis mengatakan bahwa bahwa orang muda cenderung tidak terinfeksi.
Sebaiknya pembatasan jarak komunikasi untuk setiap orang harus diperkuat dengan keputusan pengadilan. Hal ini terkait dengan semakin banyak ditemukan kasus-kasus ketidakpatuhan terhadap jarak minimum 1 meter. Jarak minimum 1 meter masih menimbulkan risiko kesehatan secara tidak wajar bagi para guru.Â
Pembukaan sekolah harus disertai dengan pengujian rutin dari para petugas kesehatan yang profesional. Kapasitas teknologi di sekolah harus ditingkatkan yang memungkinkan pengujian kelompok besar di lembaga pendidikan dapat dilakukan.
Sejak mulai tahun ajaran 2020/2021 ini, tingkat kompetensi para siswa masih jauh menurun jika kita membandingkan dengan beberapa tahun sebelum pandemi Covid-19. Penyebaran tingkat pembelajaran antara mereka yang dipisahkan dari pembelajaran sistematis di kelas dan  pembelajaran jarak jauh harus dibuat.
Kompetensi Linguistik dan Matematika adalah titik tolak ukur utama dalam pendidikan. Di masa lalu, mutu lembaga pendidikan di banyak negara telah mengembangkan alat dan instrumen format tugas yang dapat digunakan guru secara online. Penggunaan instrumen tersebut harus tetap dipertahankan di tahun-tahun mendatang. Dalam sistem pendidikan zaman digital, para guru harus memiliki sertifikat pelatihan pendidikan berbasis digital.Â
Sertifikat pendidikan digital yang dimiliki seorang pendidik menjadi bukti keprofesionalan pendidik dalam menunaikan tugasnya sebagai pendidik profesional yang berbasis pada kinerja digital. Untuk saat ini mutu pendidikan yang berbasis pada kinerja digital secara konprehensip masih tampak ketinggalan. Tetapi kesadaran sekarang harus tampak lebih jelas bahwa kita tidak boleh meremehkan defisit pendidikan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H