Faktor Sapi di NTT
Dahulu sekitar tahun 1970-an, saya menyaksikan beberapa orang kaya tradisional di desa-desa kami di NTT. Meskipun mereka tidak punya tabungan, tetapi mereka memiliki hewan hingga ratusan ekor, tanah pertanian, sawah dan banyak perhiasan adat.Â
Bagi orang desa, kriteria utama kekayaan seseorang diukur secara tradisional dalam kepemilkan sapi, tetapi tidak memakai faktor besarnya jumlah uang di bank. Kekayaan tradisional diukur menurut faktor penguasaan kekayaan alam natural, faktor jumlah manusia dan faktor kekayaan fisik tradisional.
Namun kriteria kekayaan secara tradisonal bertahan lama karena bersifat sukuistis. Sedangkan kekayaan yang diukur dengan tabungan seringkali bersifat sementara. Paham tradisional tentang kriteria menjadi kaya sering tidak sejalan dengan kriteria kekayaan yang diukur dengan besarnya tabungan di bank.
Saya teringat seorang tetua Timor di NTT pada tahun 1980-an bernama alm. kakek Mali yang adalah tetangga kami. Ia adalah orang biasa yang berada di kampung Halibaurenes di Timor.Â
Pada masa lampau, dia oleh orang-orang satu kampungnya disapa sebagai orang kaya tradisional di kampung Halibaurenes. Sampai sekarang sulit untuk membandingkan kakek Mali dengan orang kaya baru yang memiliki tabungan banyak. Kenyataannya orang lebih segan terhadap nama kakek Mali daripada figur orang kaya baru yang mengandalkan jumlah tabungan.
Padahal kakek Mali bukan merupakan orang jenius dalam permainan saham. Kakek Mali adalah orang kampung yang sibuk mengurusi ladang, sawah dan ternak-ternaknya. Herannya ia disebut-sebut sebagai orang kaya di kampung Halibaurenes.
Saya merenungkan dalam hati sendiri mengapa kakek Mali disebut sebagai orang kaya tradisional atau ema maksoin (dalam bahasa tetum). Saya menemukan faktor penyebab utamanya ialah kakek Mali memiliki sekitar 80 ekor sapi, sawah dan kebun.Â
Kekayaan itu tidak diwariskan dari orang tuanya, namun hasil usahanya sendiri. Ia mengumpulkan sendiri sapi-sapi. Selain itu dia sering melakukan praktisk adat berupa persembahan kepada leluhurnya. Pada masa dahulu memiliki banyak sapi merupakan ukuran kekayaan lelaki Timor.Â
Hanya dengan 80 ekor sapi di kandangnya sudah membuat kakek Mali disebut orang kaya di kampung Timor. Mengapa ia memiliki 80 ekor sapi dan pelbagai hewan piaraan bernilai ekonomis? Karena ia hidup hemat, menanam uangnya dalam bentuk hewan sapi, rajin bekerja dan berdoa.Â
Kekayaannya ia tunjukkan dalam bentuk fisik secara nyata berupa: harta-harta hewan, tenunan, hasil kebun, harta emas dan perak. Dengan 80 ekor sapi, ia membutuhkan areal yang luas untuk menggembalakan ternaknya. Hutan, semak belukar, gunung, padang dan sungai adalah area pekerjaannya. Ia menguasai alam dan melalui kekayaannya ia menabung dalam rupa kekayaan natura.