Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Matahari Menurut Plato dan Tafsir Ficino

23 Juli 2020   16:37 Diperbarui: 23 Juli 2020   20:36 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matahari yang terlihat. (Foto: engenieur.de).

Dalam bahasa Indonesia, kata "matahari' terdiri dari 2 kata, yakni: mata dan hari. Dengan 2 kata yang digabungkan menjadi satu, yakni: matahari maka intrepretasi atas matahari harus saya bangun dari kata "mata' sebagai indra penglihatan. Dengan 'mata', sebagai kata pertama dapat dipikirkan bahwa penafsiran tentang matahari harus dimulai dari indra mata sebagai indra penglihatan.

Matahari Menurut Plato

Plato melihat sangat pentingnya matahari berdasarkan ide gurunya Sokrates. Menurut Sokrates, indera penglihatan berbeda dari indra pendengaran dan indera lain karena indera penglihatan tidak dapat dengan mudah bersentuhan dengan objeknya, tetapi membutuhkan elemen tambahan yaitu: cahaya, untuk melakukannya.

Cahaya merupakan sesuatu yang mulia. Cahaya membentuk ikatan yang enak antara indra penglihatan dan yang kasat mata. Untuk itu, dewa Helios adalah salah satu dewa surgawi yakni dewa matahari. Dewa Helios bertanggung jawab untuk generasi cahaya.

Manusia hanya dapat melihat dengan sangat jelas oleh apa-apa yang diperlihatkan cahaya matahari. Hubungan antara matahari dan indera penglihatan dapat dilihat pada fakta bahwa mata adalah yang "paling cerah" di antara semua organ indera.

Sokrates menganggap kemampuan mata untuk melihat sebagai hadiah dari dewa matahari, Helios. Sifat khusus indra penglihatan menghasilkan prioritas penglihatan atas semua indera lainnya.

Sehingga bagi Plato, matahari adalah "tunas" atau "keturunan" dari yang baik dan karenanya memiliki sifat dan cara bertindak yang serupa. Ini menghasilkan analogi untuk Sokrates Platonis: "Seperti halnya di dunia spiritual, kebaikan terkait dengan 'berpikir'. Demikian juga dalam dunia kasat mata, matahari terkait dengan "melihat'. Mata akan menjadi cacat dalam kegelapan malam. Mata hanya bisa mengembangkan penglihatannya dengan benar ketika benda-benda yang seharusnya dilihatnya diterangi oleh matahari.

Hubungan yang analog ada dalam dunia spiritual, di mana jiwa adalah otoritas yang memahami, sedangkan penglihatan dan kebaikan adalah "sumber cahaya". Sehingga Plato menganalogi 'penglihatan' dengan "kebaikan'.

Ketika jiwa berurusan dengan apa yang muncul dari hal sementara yang relatif jauh dari "sumber cahaya", maka jiwa memusatkan perhatiannya pada yang gelap. Karena itu, jiwa tidak bisa mendapatkan wawasan yang tepat, karena mata sulit melihat apa pun dalam pencahayaan yang buruk.

Tetapi jika penglihatan beralih ke kebenaran yang benar-benar ada, yang tidak bisa diubah, yaitu: ide-ide, maka ia melihat apa yang diterangi oleh cahaya spiritual. Kemudian, seolah-olah, dia melihat kilau dari realitas ini, seperti indera penglihatan menangkap dengan jelas hal-hal yang menyebabkan turunnya cahaya matahari.

Indera penglihatan dan cahaya seperti matahari, tetapi indra penglihatan dan cahaya bukan matahari. Demikian juga, pengetahuan dan kebenaran dapat membuka si pemikir sama dengan kebaikan, tetapi tidak bisa disamakan dengan itu.

Sebaliknya, yang baik berada di atas pengetahuan dan kebenaran. Yang baik melampaui pengetahuan dan kebenaran dalam keindahan. Dengan demikian yang baik memiliki otoritas yang memungkinkan ada pengetahuan dan kebenaran, karena yang baik memberikan kemampuan kognitif yang dapat dikenali oleh kebenaran. Di luar itu, kebaikan bersifat kausatif.

Sama seperti matahari yang tidak hanya memberikan yang terlihat ke yang terlihat, tetapi juga menyediakan makanan untuk masa depan dan memungkinkan pertumbuhan. Demikian pula yang baik tidak hanya memberikan yang dapat dikenali yang dapat dikenali, tetapi juga keberadaannya dan esensinya. Seperti matahari tanpa menjadi dirinya sendiri untuk (eínai) dan esensi (Ousia) dari realitas spiritual, meskipun itu bukan milik alam dan esensi, tetapi matahari melampaui alam dan esensi dalam orisinalitas dan kekuatan.

Jadi Plato memusatkan perhatian pada analogi antara visibilitas yang diberikan sinar matahari pada objek indera dan pengakuan yang diberikan cahaya kebenaran pada objek pengetahuan spiritual.

Bagaimanakah Matahari Transenden Itu?

"Matahari" yang baik berada "di luar ousia". Matahari yang baik melampaui orisinalitas dan kekuasaan. Istilah ousia (secara harfiah "makhluk") biasanya diterjemahkan sebagai "makhluk" atau "esensi".

Banyak sejarawan filsafat mengajukan banyak saran interpretatif untuk poin yang sulit. Sangat kontroversial adalah apakah "di luar Ousia" dapat dipahami dalam arti transendensi absolut.

Menurut arahan penelitian, Plato membuat Sokrates mengklaim bahwa ada sesuatu yang lebih unggul daripada keberadaan realitas spiritual murni yang tidak dapat diubah dan sempurna, yaitu transenden dalam kaitannya dengan makhluk sempurna ini. Maka transendensi menjadi prinsip absolute dari matahari.

Menurut pandangan Plato, gagasan tentang kebaikan berbeda dari semua gagasan lain dalam hal memberikan kebaikan kepada orang lain, tetapi tidak dengan sendirinya termasuk dalam ranah keberadaan, tetapi melampauinya. Jadi bagi Plato, kebaikan yang bertema dalam perumpamaan matahari harus disamakan dengan "satu ", yang dibahas dalam dialog Plato Parmenides.

Matahari Menurut Marsilio Ficino

Menurut Marsilio Ficino, harus ada matahari ketiga yang Paling Transenden dan melampaui matahari tak terlihat dan matahari yang terlihat. Matahari ketiga itu oleh Marsilio Ficino dapat disamakan dengan Allah Bapa sebagai "Sang Matahari dari berbagai matahari". 

Jadi menurut Marsilio Ficino, matahari ada 3 tingkatan, yaitu: 

(1). Matahari tak terlihat sebagai  anak pertama dari Allah. 

(2). Matahari yang terlihat sebagai anak kedua dari Allah.

(3). Matahari ketiga, yakni: Allah Bapa, sebagai pencipta matahari yang terlihat dan matahari yang tak terlihat.

Bagi Ficino, matahari yang terlihat adalah "wakil Tuhan" di dunia sensorik. Melalui matahari yang terlihat, matahari-matahari menuangkan barang-barang Allah ke dalam dunia kasat mata. Sehingga semua hal yang diterangi matahari adalah milik Allah. Jadi menurut Ficino, cahaya matahari yang terlihat selalu mengalir dari cahaya matahari yang tidak terlihat. (*).

Sumber:

(1). Platon, Politeia in Jens Halfwassen. (2006): Der Aufstieg zum Einen. Untersuchungen zu Platon und Plotin, 2. Auflage, Leipzig. 

(2). Erna Bani-Pajni. (2005). Die Sonne als Sprössling des Guten. Das Schicksal eines platonischen Gleichnisses im Renaissance-Neuplatonismus. In: Damir Barbarić. Platon über das Gute und die Gerechtigkeit, Wrzburg.

(3). Sonnengleichnis. (2020).  https://de.wikipedia.org/wiki/Sonnengleichnis, diakses pada 23 Juli 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun