Manusia adalah makhluk yang berpikir dan bertindak bebas dengan leluasa dan terbuka dengan pelbagai pilihan secara bertanggung jawab termasuk pilihan terhadap bahasa secara tepat. Dalam dunia sekarang, logika filsafat Descartes (1596-1650) mempengaruhi pemikiran manusia modern dari zaman ke zaman.Â
Manusia menekankan pada intelektual untuk berpikir dan memecahkan masalah-masalahnya. Intelektual manusia berkembang karena kehidupan manusia dikuasai oleh pelbagai teknologi maju dan kemajuan dalam pelbagai bidang hidup. Kemajuan hidup manusia menuntut kemampuan berpikir manusia menurut hukum-hukum logika untuk berpikir pasti dan definitif dalam menentukan makna dan arti.Â
Descartes mempelopori 2 cara berpikir pokok manusia modern yakni: (1). cogito ergo sum (=saya berpikir maka saya berada)" dan (2). idea, clara et distincta.  Dalam 2 kondisi ini, logika memegang peran penting. "Idea" merujuk kepada kemampuan kognitif manusia. "Idea" adalah logika-logika yang cermat seturut hukum berpikir dan gagasan yang tepat. "Idea" adalah hal-hal yang diketahui dan hal-hal yang dimengerti dari hasil belajar untuk mencapai kebenaran.Â
Baca juga: Descartes, Hubungan Iman, dan Akal
Sedangkan "clara et distincta" berasal dari 2 kata yakni "clara" yang artinya bersih, terang, dan "distincta" artinya berbeda. "Idea" sudah berkembang sejak zaman primitif Yunani kuno. Sedangkan "clara et distincta" berkembang sejak Descartes hingga masa filsuf Emanuel Kant dan para filsuf masa sesudahnya. "Clara et distincta" adalah gagasan-gagasan yang dipahami secara sangat jelas dan terang-benderang sebagai pembeda antara segala sesuatu atau subjek-subjek yang dibicarakan.
Dengan "idea, clara et ditincta", pemikiran atau gagasan manusia modern dengan ciri kritisisme menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) di dalamnya. Istilah kritisisme adalah lawan dogmatisme. Tetapi ciri teori dari pemikiran Immanuel Kant hampir menyerupai ciri teori kritis para filsuf dari mazhab Frankfurt.
Konsep Descartes tentang "cogito ergo sum" dan "idea, clara et distincta" menuntut penggunaan bahasa khusus yang disebut bahasa ideal atau bahasa intelektual. Hanya dengan menguasai dan menggunakan bahasa intelektual, manusia mampu berpikir dan memiliki "idea, clara et distincta" sesuai dengan gagasan Descartes.
Baca juga: Descartes, Husserl, Heidegger tentang "Fenomenologi"
Tak dapat dielakkan bahwa untuk merealisasikan ide Descartes, manusia modern membutuhkan pilihan bahasa secara tepat dan khusus. Bahasa manusia intelektual modern memiliki bahasa khusus yakni bahasa intelektual. Bahasa intelektual adalah bahasa ideal. Bahasa ideal adalah bahasa bahasa ilmiah atau bahasa tautologis. Bahasa tautologis adalah bahasa selektif, jelas, punya tujuan istimewa dan mengontrol pemikiran asli.Â
Sehingga bahasa yang paling cocok untuk merealisasikan ide-ide filsafat adalah bahasa tautologis. Bahasa tautologis adalah bahasa yang memberikan penjelasan komperensif. Bahasa tautologis adalah bahasa dengan logika Aristoteles dan logika tradisional. Bahasa dengan logika Aristoteles dan tradisional adalah bahasa yang memiliki sifat tajam, berlandasan kuat, berhati-hati, selalu merefleksikan masalah dan keadaan atau situasi.
Baca juga: Filsuf Descartes dan Emansipasi Wanita Modern, Sebuah Kritik
Logika "clara", dapat diibaratkan seseorang yang mengatur rumahnya dengan baik, menyapu bersih segala kotoran dan debu, menyingkirkan sarang laba-laba, menunjukkan hukum-hukum dan patokan-patokan tepat. Bahasa dengan logika tautologis harus dinyatakan bersih dari semua kontradiksi agar tidak sesat.
Tujuan dari belajar filsafat ialah agar manusia mendapatkan pengertian atau definisi secara jelas, terang dan konkret mengenai dunia dan persoalannya. Hal-hal "distincta" berarti bahwa hal-hal itu unik, otonom dan berbeda dari yang lain namun memiliki relasi dengan yang lain sebagai satu dunia yang bersih, yang oleh Whitehead disebut objective diversity. Prinsip "distincta" tidak mengenal jalan tengah.
Menurut Parmeneides, intelektual membuka kebenaran. Para Stoici mengatakan bahwa intelek adalah sumber kebahagiaan. Sedangkan Aristoteles mengatakan intelek adalah mahkota kodrat manusia. Pada akhirnya manusia dihargai dari segi keaslian berpikir, kebebasan dan kreativitasnya termasuk kreativitas cara berpikir, bertutur kata dan bertingkah laku sesuai dengan kondisi, waktu dan tempat. (*).
Sumber:
(2). Fernandez, Osias, Stefanus. (1987). Citra Manusia Budaya Timur dan Barat. Ende: Nusa Indah.
(3). Huijbers, Theo, Dr. (1990). Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Kanisius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H