Â
   Pada abad 15, filsuf Desiderius Erasmus (1459-1536) mengguncang dunia ilmu pengetahuan di Eropa setelah ia menulis buku satire termasyur berjudul: Mariae Encomium yang artinya pujian terhadap kebodohan. Buku itu menjadi terkenal di seluruh Eropa. Berkat bukunya itu Desiderius Erasmus dipandang sebagai seorang humanis terpelajar di zaman renaissance. Nama Desiderius Erasmus dimasukkan sebagai salah seorang ahli pelopor zaman baru sejajar dengan tokoh-tokoh Protestanisme seperti Calvin dan Martin Luther yang hidup sezaman dengannya.
Kekuatan Apatis
   Di mata Desidertius Erasmus, kebodohan memang tampak luar biasa. Beberapa jejaknya tercermin dari zaman kini, hampir semua para pekerja Indonesia yang produktif ialah warga dengan pendidikan SD dan SMP. Warga tidak sekolah lebih banyak bekerja dari warga yang memiliki Ijazah SMA ke atas. Kelemahan orang pintar ialah ia banyak bersifat masa bodoh. Pendidikan adalah pilihan dari keinginan. Tidak semua pilihan karena keinginan menuntut pemenuhan. Setiap orang memang harus selektif. Sikap ini digunakan untuk mencegah nafsu yang sia-sia. Bangsa Romawi kuno sangat ahli menggunakan sifat apatis untuk menaklukkan bangsa-bangsa lain agar berada di bawah kekuasaan Romawi kuno.
   Walau sesuatu hal menawan, tapi apabila orang-orang pada apatis, maka ia terlewatkan. Orang apatis memanfaatkan situasi demi mencegah nafsu sia-sia demi menguntungkan dirinya. Dalam hal ini 'rasa'  penting dalam menikmati sesuatu yang berguna dan menghibur.Â
   Rasa tertarik adalah ideal. Tapi soal kepentingan, melayani siapa? Jadi rasa apatis dapat saja bernilai positif. Sebagai masyarakat kritis, orang harus berusaha agar tidak perlu ada penikmat semata-mata.  'Rasa' yang dimiliki semua manusia adalah usaha pribadi/kelompok dan anugerah Tuhan. Sehingga rasa harus dikembangkan dan disyukuri agar tetap berguna. Jika talenta 'rasa' tidak dikembangkan, manusia mengalami mati rasa.
   'Rasa' adalah harga mahal yang dibayar individu. Produk benda yang berguna dan pertunjukkan seni yang menghibur dapat dinikmati oleh banyak orang yang memiliki 'rasa', keduanya sama-sama bersifat esklusif.
   Semua makhluk di dunia punya 'rasa' dengan bentuknya berbeda-beda. 'Rasa' yang dimiliki para pemirsa dan pembuat seni telah menghasilkan makna karena 'rasa'-lah membuat karya seni menyentuh lubuk hati manusia.
   Dengan punya 'rasa', minat orang terhadap indahnya karya seni tidak pernah kendor. Jika orang apatis, maka minat seni akan surut dan hilang. Dalam komunitas masyarakat kritis dan maju, indra perasa seseorang tidak sembarang mati secara fisik, kecuali manusia meninggal dunia.
   Secara rohani, indra perasa manusia untuk keindahan seni bisa saja mati jika ia tidak didukung oleh pribadi itu sebagai pencipta yang aktif. Pencipta dan penikmat seni dibentuk dalam proses pengolahan hidup di lembaga pendidikan dan latihan selama hidup. Setelah pencipta tiada, karya seni tetap dinikmati. Karya-karya para komponis musik klasik dunia seperti: Beethoven, John Sebastian Bach, dll masih tetap disukai.
   Sekarang seni musik telah merakyat. Kegiatan seni memiliki fungsi-fungsi, yakni: ibadah, kekuatan rohani, warisan leluhur, pendidikan, hiburan dan nafkah. Jika berada di tangan para politikus, seni memiliki kekuatan sosial-politis dan ekonomi yang besar. Sehingga seni adalah pertaruhan harga diri demi meraih kekayaan dan kuasa.
   'Rasa' terhadap karya seni tidak rumit.  Manusia perlu mencari akar yang menyebabkan tumbuhnya rasa. Setelah manusia menemukan akar dari 'rasa', manusia segera beraksi untuk mencipta karya tandingan atau karya murni sebagai pupuk agar akar 'rasa' tetap tumbuh. Dengan 'rasa' dalam diri, karya seni diminati.
   Dengan adanya 'rasa', beberapa karya seni masih langka dan mahal. Rasa memberikan perbedaan harga antara karya-karya seni. Salah satunya ialah karya seni dari para seniman besar dunia. Jika karya itu dirasa luar biasa, "rasa" manusia membawa keuntungan ekonomis.
   Dengan punya rasa, manusia terdorong untuk menjadi pencipta sekaligus pemakai. Hanya segelintir warga dunia memiliki 'rasa' dan mampu menikmati karya seni. Tanda dari adanya rasa terhadap seni ialah penikmat langsung membeli produk seni.
   Puluhan juta karya seni adalah karya rakyat yang hanya berbicara di tingkat daerah. Hal ini menimbulkan rasa bangga. Dengan kemajuan internet dan perkembangan seni yang semakin merakyat, banyak warga dunia yang dahulu mungkin kalah bersaing secara ekonomi dan sosial-politik, sekarang menjadi pencipta benda yang berguna sekaligus menikmati keindahan seni.
   Dengan bersikap apatis, karya seni berlalu tanpa perhatian karena tak ada 'rasa'. Seni mundur bahkan akan mati tanpa 'rasa'. Peradaban seni membutuhkan 'rasa'. 'Rasa' terhadap pertunjukan seni bukan saja karena nasib baik, tetapi karena tanggung jawab tradisi dan pendidikan. Sayang sekali, akibat nasib tidak baik, banyak manusia bersikap apatis.Â
   Produk karya sendiri, kedermawan/penghormatan terhadap kemanusiaan, emosi yang memuaskan akan meningkatkan rasa. Rasa adalah milik sosial paling berharga. Di dalam rasa ada kemanusiaan sempurna. Kesempurnaan rasa adalah kejayaan.Â
   Tapi ada pihak kuat yang mengeksploitasi rasa. Sehingga karya kreatif seni sering jatuh ke tangan para penguasa, para korporat dan pemilik modal yang korup demi kepentingan karier, ekonomi dan politik. Rasa manusia bisa hilang dalam tangan para penguasa korup. Korupsi, kolusi dan nepotisme mengeksploitasi rasa warga kecil, miskin dan tak berdaya.Â
   Tentang cipta karya, norma lebih penting dari nilai. Banyak karya seni  beredar tanpa produk hukum. Hal ini mengancam kreatifitas. Melalui ajakan untuk mencipta, berliterasi, berkolaborasi dan berkemampuan komunikasi dalam Kurikulum 2013, saatnya manusia melindungi dan menghidupkan rasa atas seni sebagai bagian dari penegakkan hak-hak asasi manusia.
   Pencipta, penyimpan dan pengusaha seni adalah orang-orang sejahtera dan makmur yang memiliki rasa. 'Rasa' ketertarikan seseorang terhadap indahnya seni bahkan bila sampai ia memiliki benda seni yang indah adalah wujud kekayaan esensi dan eksistensi manusia berupa: kekayaan akal, budi dan emosi.
   Keindahan seni adalah segalanya bagi semua manusia. 'Indah' adalah pengalaman membahagiakan, mensejahterakan, menyejukkan kalbu dan mendamaikan. Sejak kolonialisme, seorang manusia barat bercita-cita untuk meraih kesejahteraan, keadilan dan kedamaian dengan berjuang dalam segala cara agar mendapatkan benda--benda seni demi mutu kehidupan.Â
   Benda-benda seni yang memiliki keindahan dihargai. Kemahalan sebuah karya seni yang indah hanya terjadi apabila penikmatnya memiliki ketajaman rasa untuk menikmati indahnya rupa seni, sebagai tanda kemakmuran.
   'Rasa' yang dimiliki manusia untuk tertarik dan memiliki suatu karya seni tidak dimiliki sembarang manusia. Kepemilikan benda dengan kadar keindahan yang tinggi sering dimiliki oleh para pemimpin (negarawan, bangsawan dan raja) dari pemimpin agama, militer maupun sipil. Selain hanya dimiliki oleh seorang tokoh pemimpin, dalam kenyataannya hanya satu atau dua orang kaya dan berasal dari negara kaya, aman, dan dari masyarakat berperadaban tinggi dan memiliki kesempurnaan 'rasa'.
   Tentu mayoritas manusia di dunia masih apatis terhadap indahnya seni karena halangan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Boleh jadi tidak sampai setengah umat manusia di dunia memiliki rasa terhadap indahnya seni dengan memiliki kemampuan akal, budi dan emosi yang layak.
   Kemiskinan membuat banyak warga dunia kehilangan rasa terhadap indahnya seni. Sikap apatisme terhadap indahnya seni terjadi karena halangan-halangan seperti: tekanan ekonomi, tekanan politik, tekanan sosial dan tekanan budaya. Padahal rasa seni adalah tanda kemakmuran. Betapa menyenangkan jika seseorang memiliki karya seni yang indah dan mahal.
   Kecerdasan adalah syarat utama dalam dunia seni. Dulu hanya hengan punya akal budi yang tinggi, orang berperang demi mendapatkan benda-benda seni yang indah. Kepeminatan terhadap seni ialah tanda kesempurnaan rasa. Kesempurnaan rasa adalah tanda-tanda kemakmuran, kemuliaan, kemenangan dan kejayaan.
Mahal itu Menyenangkan
   Dalam dunia rohani, kesenian membuat para audiens terpesona, memuji dan memuliakan Tuhan dengan kagum, bergembira dan berbahagia. 'Rasa' religius terhadap seni timbul dari makna seni. Sehingga keindahan seni rohani bersifat transenden dan melampaui indrawi. Hal-hal rohani-bathiniah bersifat transenden.Â
   'Rasa' seni muncul dari pribadi dalam menyikapi hal transenden. Dalam hal ini keindahan seni selalu bernilai dan berguna. Kenikmatan seni dapat dihayati setiap pribadi secara berbeda dari tiap-tiap kebudayaan. Minat terhadap keindahan terjadi bila ekspresi seni menyentuh pancaindra secara rasional.
   Bagi orang timur,  'rasa' terhadap keindahan belum maksimal karena tekanan kemiskinan dan tradisi. Bagi orang timur, indahnya seni tidak dipikirkan secara rasional namun secara natural dan kurang transenden.   Tekanan-tekanan kemiskinan dan tradisi budaya dialami mayoritas orang timur. Hal ini menjadi halangan setiap individu memiliki 'rasa' terhadap keindahan. Juga keterbatasan memiliki benda-benda seni modern dan mahal. 'Rasa' sering merupakan pencapaian ekslusif sekaligus inklusif seorang individu.
   Walau berbeda secara mencolok dalam hal penghayatannya, terdapat kesejajaran penghayatan 'rasa' terhadap kaidah seni dalam pelbagai budaya di dunia, seperti: budaya India, China dan budaya kristen.
Beda Budi, Akal dan Emosi
   Sikap keluhuran budi adalah kesadaran dan pilihan pribadi. Tidak semua orang dapat menyadari dan memilihnya. Catatan sejarah hidup seseorang berbeda satu sama lain dalam melakukan aktivitas sosial berbudi luhur. Perbedaan pikiran dan sikap terhadap seni pada setiap manusia membedakan satu manusia dengan manusia lain. Banyak orang sulit meminati seni karena kesulitan pribadi, seperti tidak mau, tidak tertarik, dilarang, kurang biaya, masalah politik dan budaya, terlalu masa bodoh, egoisme, dll.
   Karya akal harus berwujud sebab setiap manusia di dunia ingin hidup dari karya akalnya. Karya akal membuat manusia berada dalam zona kenyamanan. Manusia harus merealisasikan akal untuk menjadi pencipta barang/seni yang sukses. Ia tidak butuh waktu, ruang dan dana yang besar.
   Tingkat tertinggi dari pencapai akal manusia adalah keahlian mencipta. Banyak orang berhasil menjadi pencipta sukses, tapi lebih banyak orang gagal. Kemampuan sebagai pencipta memerlukan kolaborasi dalam team. Selain itu pencipta memerlukan kemampuan berkomunikasi. Banyak pencipta seni menjadi sukses setelah berhasil berkolaborasi dan berkomunikasi dengan sesamanya.
   Ciptaan hasil karya akal juga dipengaruhi oleh emosi manusia. Emosi mempengaruhi cara manusia bertindak dan berpikir. Emosi positif bersifat tidak menghancurkan, tidak merugikan, tidak membunuh dan tidak merusakkan. Karya seni yang indah adalah hasil pencapaian emosi. Emosi yang bagus dicapai dengan doa dan meditasi rutin.
   Karya akal, budi dan pencapaian emosi selalu berbeda oleh setiap individu. Karya akal, budi dan emosi memerlukan tindakan. Jika manusia bekerja, maka akal, budi dan emosi berkembang. Rasa indrawi manusia didapatkan dengan sendirinya. Rasa diperoleh dari pancaindra ditambah indra keenam. Sebagai bagian jiwa, rasa adalah anugerah Tuhan yang selalu sama bagi semua manusia: sama rata, sama rasa.Â
   Jadi 'rasa' tidak berfungsi seluruhnya tanpa pencapaian karya akal, budi dan nurani serta hidup berkepatutan. Semakin tinggi karya akal, budi dan emosinya serta semakin tinggi hidup berkepatutan, individu akan semakin mendapatkan kesempurnaan rasa.
Disiplin dan Hidup Berkepatutan Â
   Hidup berkepatutan hanya dicapai jika manusia patuh terhadap peraturan-peraturan. Selagi manusia taat, patuh dan setia terhadap aturan-aturan dalam norma-norma, ia hidup berkepatutan.
   Disiplin hidup adalah norma hidup berkepatutan. Disiplin hidup meliputi: (1). Disiplin waktu (di rumah, tempat kerja/jabatan dan berbagai pertemuan) (2). Disiplin hidup berbicara, bersikap dan berpikir (3). Disiplin hidup menjaga kebersihan (diri, rumah, pakaian, makanan, anggota keluarga, tempat kerja, kota/kampung/desa, masyarakat dan lingkungan) (4). Disiplin berpakaian,  berumah dan makan-minum (5). Disiplin keuangan (hidup hemat, tidak korupsi, menabung).
   Hidup berkepatutan melahirkan rasa. Rasa  membawa manusia kepada pengalaman religius yang membathin. Jadi rasa adalah karya akal, budi dan emosi, tapi juga berasal dari hidup berkepatutan.Â
   Rasa bagi bangsa Indonesia bukan merupakan rasa individu. Tetapi rasa bagi bangsa Indonesia adalah rasa sosial, rasa solidaritas, rasa gotong royong dan kesetiakawanan. Sehingga rasa secara universal ialah rasa asli yang berasal dari ikatan-ikatan emosi kolektif. Itu adalah jiwa bangsa.
   Rasa sosial bersifat aman-harmonis, bersifat solidaritas dan tanggung jawab sosial. Rasa sosial yang harmonis bersifat kolektif dari pribadi (jiwa-badan), keluarga, suku, masyarakat hingga bangsa. Rasa sosial yang harmonis memberikan pesan suka, gembira dan bahagia sebagai hasil perpaduan karya akal, budi dan emosi. Rasa muncul dari pengalaman-pengalaman  dari karya akal, karya budi, emosi dan dari hidup berkepatutan.
Peran Pendidikan
   Selain perlu hidup berkepatutan, 'rasa' - bagaimanapun - berkaitan dengan segala kesiapan akal, budi dan emosi untuk menciptakan dan menikmati keindahan seni. Orang yang memiliki 'rasa' untuk menikmati indahnya seni membutuhkan persiapan-persiapan khusus. Persiapan akal, persiapan budi dan persiapan emosi dilakukan manusia melalui proses pendidikan berjenjang dan usaha manusia sepanjang hidup. Pendidikan mendatangkan kesadaran tertentu kepada manusia dan membuat manusia memiliki rasa. Jika manusia punya rasa, hal itu berarti manusia memiliki jiwa. Jadi dengan kemampuan akal budi yang tinggi melalui pendidikan, manusia dapat memiliki keunggulan jiwa dan raga.
   Materi-materi dalam pendidikan sedapat mungkin diarahkan oleh guru untuk mempersiapkan akal, budi dan emosi dari para peserta didik agar mereka mampu mencipta barang yang berguna, menjadi dermawan yang berbudi, memiliki emosi yang dapat dikendalikan sehingga ia memiliki rasa yang sempurna terhadap indahnya seni serta hidup berkepatutan.
   Terlebih materi-materi pendidikan di sekolah-sekolah harus membina para peserta didik untuk menjadi pencipta benda atau barang seni yang sukses, memiliki jiwa dermawan dan mampu kendalikan emosi  secara sehat agar ia memiliki kapasitas 'rasa' besar sejak usia dini.
   Tanpa pendidikan sejak usia dini, manusia tidak dapat memiliki akal, budi dan emosi untuk merasakan indahnya seni. Semua kemampuan untuk menghidupkan rasa terhadap seni diperoleh manusia melalui proses pendidikan.
Lembaga Riset
   Abad XXI adalah abad ilmu pengetahuan. Pendidikan di abad XXI harus menjawabi tantangan abad ilmu pengetahuan. Dengan saat ini sejak tahun 2013, kita memiliki Kurikulum 2013 dengan puncaknya ialah karakter mencipta. Sedangkan Universitas-Universitas Indonesia diarahkan untuk menjadi Universitas Riset.
   Kondisi ini mendatangkan pertanyaan pokok: Apakah di abad XXI, lembaga pendidikan diarahkan untuk melayani kepentingan berbagai perusahaan? Tentunya hasil-hasil riset digunakan untuk melayani permintaan pabrik-pabrik. Hampir semua riset di Universitas adalah riset-riset pesanan baik pesanan pemerintah maupun perusahaan. Pada abad XXI, sistem pendidikan di Indonesia mungkin diharapkan untuk menjadi pusat riset untuk melayani kepentingan berbagai perusahaan plat merah.
   Jika tidak untuk melayani pabrik-pabrik besar, di abad XXI, saatnya kita mengubah haluan untuk memindahkan industri-industri ke keluarga-keluarga. Dengan demikian kita menghidupkan persaingan antara produksi-produksi hasil industri rumah-rumah dengan produksi industri-industri skala besar nasional. Jika industri-industri rumah sudah bisa mandiri dan mampu berproduksi dengan kualitas eksport, maka program Universitas riset akan menampakkan keberhasilan nyata.   Â
   Sambil tetap kita menekankan aspek-aspek moralitas, melalui pendidikan, kita mencegah sikap apatisme generasi penerus bangsa. Hasil-hasil pendidikan harus memperlihatkan keberhasilan dalam penciptaan hal-hal positif bagi kemanusiaan, sukses mempraktekkan sikap humanis, menjadi dermawan/ti dan memiliki emosi yang stabil. Rasa manusia yang diperoleh melalui indrawi- adalah sama bagi semua manusia, namun faktor-faktor pembentuk kesempurnaan rasa berbeda dalam hal akal, budi, emosi, bathiniah dan kepatutan hidup pada setiap individu.
   Pencapaian kesempurnaan rasa adalah hal yang tidak mudah dan melibatkan banyak segi (multifungsi). Kesempurnaan rasa juga sulit digapai para warga pada berbagai kondisi, seperti: daerah/kawasan konflik, daerah terisolir, daerah terkebelakang dan tertinggal, budaya pinggiran, bermasalah hak asasi manusia, masalah kemiskinan dan daerah dalam kekuasaan tirani. Pendidikan adalah instansi yang berwewenang untuk memecahkan masalah-masalah pada horison yang lebih tinggi sejagad raya.()
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H