Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ke Arah Restorasi HAM dan Martabat Orang Papua ke Dalam Bingkai NKRI, Bisakah?

21 Desember 2018   06:41 Diperbarui: 21 Desember 2018   06:55 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasca kejadian di Nduga (Diupload dari dw.de)

Kasus pembunuhan terhadap sejumlah pekerja proyek pembangunan jembatan di Kabupaten Nduga, Papua waktu lalu menambah biangkerok kekacauan yang terus memanas di bumi cendrawasih akhir-akhir ini. Jelas bahwa pembunuhan terhadap sejumlah pekerja proyek pembangunan itu tidak bisa diterima. 

Aksi pembunuhan itu didukung TPNPB Special Operations Command - West Papua. Inti masalahnya bukan sebatas menuntut kemerdekaan atas Papua, tetapi sebenarnya akarnya bukanlah kemerdekaan Papua.

Beberapa hal lain patut dibicarakan yakni misalnya menyangkut dendam turunan. Mereka yang melakukan kekerasan diduga kuat berasal dari keluarga yang pernah menjadi korban kekerasan di masa lalu. Selain itu tentu adalah soal rebutan jatah atas Freeport. Freeport telah diibaratkan  mahkota kekerasan konflik di Papua. 

Berbeda dengan konflik di Timor-Timur masa lalu, dengan cela Timor yang belum dieksploitasi, konflik di Papua jelas memiliki muatan yang jelas yakni keinginan orang-orang Papua untuk menuntut jatah 100% atas semua eksplorasi di tanah Papua. KKB ingin sebagai pihak yang mendatangani perjanjian eksplorasi, seperti halnya Timor Timur masa lalu. 

Dengan demikian berharap jatah yang lebih besar untuk kepentingan mereka. Padahal, yang terjadi kemudian hari setelah Timor Leste merdeka ialah persoalan yang tumpang tindih yakni tarik ulur tentang pembagian jatah eskplorasi. 

Tetapi dalam kasus Papua yang telah melewati Pepera sebelumnya yang diawasi PBB, mengharapkan referendum kedua bagi Papua akan mubasir. PBB akan menolak usulan referendum kedua.  Kelompok KKM murni menuntut jatah dari hasil Freeport. Hal ini disebabkan di dunia internasional, tuntutan referendum yang disuarakan OPM  telah ditolak oleh PBB. 

Gerakan yang semula menuntut kemerdekaan, berubah menjadi gerombolan yang menuntut jatah dengan ancaman senjata hasil rampasan dan sisa-sisa senjata eks konflik Ambon. 

Jika referendum kedua ditolak, Papua hanya mengharapkan semacam plebisit, yakni semacam jajak pendapat yang memilih opsi menerima otonomi khusus atau menolak. Dan jika menolak otsus, jalan tengah apa yang dilakukan? Itulah kira-kira hasil akhir dari konflik Papua. 

Jelas, jika plebisit dibuat rakyat Pupua akan menolak otsus, jalan tengah paling pas ialah pemulihan martabat orang Papua dengan semacam restorasi atau pemulihan hak-hak asasi dan martabat secara penuh bagi orang Papua ke dalam bingkai NKRI.

Semenjak Freeport mulai menghasilkan uang, muncul kelompok-kelompok bersenjata yang berjuang dengan bendera bintang kejora. Mereka membangun pertahanan teritorial bersenjata. Jelas, bahwa konsep pertahanan teritorial tidak dapat diterima dalam bingkai NKRI. 

Sejak otonomi khusus berlaku, pembangunan Papua terus digalakkan. Tetapi seperti disebutkan di atas, korban-korban pada masa lalu terus diceritakan dan diwariskan kepada anak-anak dan cucu mereka. Ceritera itu bercampur dengan aneka ketidakpuasan dan dendam. Jadilah kekerasan berulang, demi dendam.

Untuk itulah sebenarnya akar persoalan patut dituntaskan. Pemerintah Papua perlu memulihkan hak azasi warga Papua yang menjadi korban kekerasa di masa lalu. Ceritera positif harus dibangun ulang. Jika otonomi khusus dianggap biang kerok kekerasan, apa salahnya dicari solusi baru. 

Solusi baru yang ditawarkan harus memulihkan atau restorasi hak azasi dan martabat orang Papua yang tercemar akibat berbagai korban di masa lalu dalam bingkai NKRI.

Tetapi untuk menuntaskan perkara HAM dan otonomi khusus, tidak bisa segera dilakukan jika Papua dalam suasana mencekam. Mestinya kedamian harus ada dan diciptakan sehingga upaya pemulihan bisa dilakukan. Satu-satunya jalan adalah KKB perlu membubarkan diri, menyerahkan senjata dan tidak membentuk kekuatan teritorial yang melanggar sistem ketahanan nasional. 

Dalam sistem ketahanan nasional, hanya TNI dan Polri yang bersenjata untuk menjaga keamanan dan pertahanan seluruh warga. Dengan begitu, warga Papua lebih banyak berkonsentrasi pada pendidikan dan berbagai kegiatan untuk meningkatkan harkat dan mertabat mereka.

Martabat para anggota KKB berkaitan dengan rendahnya pendidikan dan keterbukaan diri terhadap kemajuan. Untuk meraih pendidikan yang layak tidak bisa dengan kekerasan senjata. Tidak bisa merampok dan membunuh demi mendapatkan hak. Pendidikan harus digalakan dalam suasana damai. Jalan tengah yang tepat, mungkin menolak otsus dan melakukan restorasi hak azasi dan martabat orang Papua secara penuh dalam bingkai NKRI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun