Keyakinan yang agaknya belum benar apabila publik tanpa pikir panjang langsung bilang penduduk di sekitar lokasi penemuan Situs kuno ialah ‘pemilik’ dari Situs itu, atau penduduk itu memiliki hubungan biologis secara langsung dari segi turunan dengan temuan purbakala. Maka ketika para arkeolog menggali lubang atau menyelusuri gua purbakala untuk mencari objek, umumnya penduduk  mungkin agak berang.
Padahal hal keyakinan itu belum tentu ialah benar. Malahan para arkeolog justeru berpendapat sebaliknya bahwa penduduk di sekitar lokasi penemuan Situs kuno sebenarnya tidak punya hubungan keturunan langsung secara biologis dengan sebagai pembuat atau pemilik asli dengan temuan purbakala dari Situs kuno itu. Tepatnya hasil penemuan itu tidak punya hubungan langsung secara biologis dengan penduduk sekitar. Hal seperti ini dibenarkan oleh para antropolog ketika penemuan Homo Florensiensis dan Homo Naledi. Manusia kerdil di Rampasasa pernah mengklaim bahwa Homo Florensiensis ialah nenek moyangnya. Pendapat itu kemudian dibantah oleh para arkeolog yang mengatakan bahwa manusia kerdil di Rampasasa tidak punya hubungan nenek moyang langsung secara biologis dengan fosil Homo Floresiensis, demikianpun dengan temuan Homo Naledi di Afrika Selatan.
Kalau pertanyaan kita ajukan: apakah penduduk di sekitar lokasi penemuan prasasti, kitab dan barang-barang kuno Majapahit memiliki hubungan langsung dengan temuan-temuan kuno itu? Pertanyaan ini tentu amat menarik dijawab. Pertanyaan yang sama, misalnya kita ajukan: apakah penduduk ‘asli’ di sekitar lokasi penemuan prasasti tertua Kutai yang berangka 400 M punya hubungan langsung dengan pembuat prasasti atau merupakan nenek moyang langsung dengan pembuat prasasti?
Kitab kuno dan prasasti Majapahit berbahasa Jawa kuno dan Sansekerta. Bahasa-bahasa tersebut dituturkan oleh para penutur yang bersuku bangsa Jawa dan agama Hindu-Budha. Kalau kita melihat bahwa tentu itu sudah jelas bahwa para penutur bahasa prasasti saat itu merupakan nenek moyang dari orang Jawa.
Namun demikian, terlalu cepat kita mengatakan ada hubungan langsung atau nenek moyang langsung. Sebenarnya jawaban tidak membenarkan klaim nenek moyang langsung dengan pembuat atau hasil temuan kuno dari penduduk asli di sekitar. Karena kalau kita melihat rentang waktu umur hasil penemuan sejarah atau prasejarah yang begitu panjang hingga saat ini. Jawaban yang benar ialah penduduk di sekitar lokasi tidak punya hubungan langsung secara biologis dengan pembuat prasasti tersebut, atau penduduk sekitar tidak punya nenek moyang langsung secara biologis dengan temuan prasasti tersebut.
Kita melihat hal ini dari konsep biologis, bahwa di alam selalu ada perbendaan-perbedaan halus antara individu-individu. Apalagi misalnya, temuan-temuan itu memiliki corak yang belum begitu sempurna dibandingkan dengan manusia saat ini. Pertama, Homo Naledi dan Homo Floresiensis ialah manusia yang tidak sempurna dengan tinggi badan dan kadar Hemoglobin yang tidak sempurna. Lalu yang kedua, dalam periode-periode usia berjalan, generasi manusia berganti terus berganti dengan berbagai perkembangan evolusi yang menyesuaikan diri dengan perkembangan.
Membaca penemuan sejarah tulisan Indonesia yang ditemukan pada abad IV M, muncul pertanyaan pokok, apakah hubungannya dengan orang dari daerah lain di Indonesia dengan prasasti tersebut dan mungkin hubungan dengan manusia-manusia lain dari aneka bangsa dengan temuan-temuan kuno baik tertulis mapun berwujud benda itu? Dalam hal ini kita harus melihat dengan kaca mata lain, kaca mata intuisi dan kaca mata ilmu pengetahuan, bukan melihat dengan kaca mata biasa seperti anak-anak.
Kita sering terjebak dengan logika anak-anak yang kurang punya intuisi tajam: mungkin kita akan langsung bilang penduduk sekitar punya hubungan langsung seperti anak-anak, orang dari daerah lain yang jaraknya jutaan kilometer langsung muncul perasaan rendah diri karena di daerahnya sendiri tidak ada temuan Situs Prasasti beraksara tua dan berwujud benda kuno semacam itu.
Paling tidak pertanyaan ini muncul: mengapa daerah lain ada tradisi tulisan yang begitu tua, sedangkan daerah di mana saya tinggali kok tidak ditemukan tradisi tulisan tua berupa prasasi semacam itu? Lalu bila dikatakan bahwa Situs temuan itu merupakan warisan nasional bahkan dunia maka jawaban logisnya ya tentu temuan prasasti tulisan itu ada hubungan dengan kelompok manusia di berbagai daerah bahkan di seluruh dunia meskipun tidak merupakan keturunan nenek moyang langsung secara biologis.
Pertanyaan ini pernah dilontarkan kepada ilmuwan purbakala Zollikoffer dari Universitas Zurich, Swiss, terkait apakah ada hubungan antara Homo Naledi dengan orang Eropa? Apakah ada hubungan antara Homo Florensis dengan orang-orang kerdil di sekitar gua purbakala Manggarai tempat Homo Florensiensis ditemukan? Saat itu, Zollikofer menjawab, hubungannya ialah hubungan indirect atau hubungan tidak langsung. Ingat bahwa penemuan fosil-fosil itu telah 'hidup' dalam rentang waktu yang begitu lama. Dalam rentang waktu itu, manusia lahir dan terus bertumbuh, berpindah dan meninggal lalu mati lalu lahir. Banyak generasi yang terus membaharui diri dengan perkawinan sana-sini.Â
Maka Homo Florensis atau homo Naledi ialah secara tidak langsung merupakan nenek moyang umat manusia yang hidup saat ini. Jawaban Zollikofer menjawabi teka-teki pertanyaan tentang apakah ada hubugan antara orang-orang dari suku bangsa Jawa atau orang-orang dari suku bangsa Dayak atau suku bangsa Melayu yang kini hidup di sekitar fosil atau penemuan benda-benda purbakala atau penemuan kitab dan tradisi tulisan. Jadi hubungan-hubungan dengan kelompok manusia di sekitar benda-benda yang ditemukan itu ialah hubungan tidak langsung, bukan hubungan langsung atau hubungan biologis dari pelaku sejarah atau keturunan langsung dari pembuat benda-benda purbakala semacam itu.
Berdasarkan gagasan Zollikofer (Johan von Mirbach, Der Homo Naledi: Wissenschaftsensation oder nur grosse show? Dalam www.dw.de pada 11 September 2015) jugalah saya memahami pelbagai penemuan tradisi tulisan dan benda-benda prasejarah. Itu adalah hubungan tidak langsung (indirect). Artinya sebagai bangsa, semua orang Indonesia merasa memiliki pelbagai situs warisan prasejarah dan situs sejarah yang ditemukan di bumi Indonesia. Apalagi bahasa sebagai wujud pertama dari tradisi tulisan itu sudah mulai sulit terbaca. Lagi pula lokasi-lokasi prasasti tulisan itu sering berpindah-pindah tempat karena dijual, dibawa orang, berganti pemilik, dll.
Hal yang sama terjadi dengan kita Nagarakretagama karya Empu Prapanca dari kerajaan Majapahit yang ditemukan bukan di keraton Majapahit namun di keraton raja Lombok. Artinya kitab warisan tulisan itu sering berpindah-pindah lokasi. Hal itu berarti bahwa penduduk sekitar atau individu tempat di mana penemuan benda-benda kuno sering memang jelas tidak ada hubungan langsung dengan pembuat benda-benda kuno itu, tidak punya hubungan keturunan atau nenek moyang langsung secara biologis dengan penulis atau ‘pencipta’ benda-benda kuno yang dimaksud. Sebaliknya pewaris paling benar ialah keturunan Empu Prapanca sebagai pengarang buku kuno itupun sulit terlacak bahkan tidak ada lagi. Empu Prapanca mewariskannya kepada generasi manusia di seluruh dunia semuanya tanpa kecuali.
Jadi barang-barang kuno yang ditemukan itu mungin dibuat di lokasi tempat penemuannya, mungkin dibuat ditempat lain seperti di India atau di negeri China dan negara-negara Arab lalu di bawa ke suatu wilayah karena alasan perdagangan atau dibawa begitu saja sebagai kenang-kenangan.
Tetapi kita yakin bahwa meskipun tidak punya hubungan nenek moyang langsung secara biologis dengan penduduk sekitar, namun apabila sebuah prasasti atau kitab kuno ditemukan di suatu lokasi dalam jangka waktu yang lama, maka ada kemungkinan di sekitar lokasi itu sudah mulai mengenal adanya tradisi tulisan yang dianut oleh penduduk di sekitarnya secara tidak langsung. Jadi temuan-temuan benda kuno baik dalam bentuk kitab beraksara, prasasti atau benda-benda purbakala ialah warisan nasional dan warisan dunia tentu perlu dilakukan berbagai tahab-tahaban yang benar secara rasional dan diakui dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H