"Anak pangeran, singgalah di gubuk kami sekedar mengaso dan minum air putih."
La Tuppu lalu jelaskan bahwa dirinya adalah kepala pedukuhan di Tanjung Babia, dimana mereka kini. Benggolopun mengikut dan berjalanlah bersama La Tuppu dan Ijon semakin ke kampung. Punggawa dan saw-sawi kapalnya juga ikut dan beristirahat di rumah-rumah warga lainnya.
//
Menanti kapalnya diperbaiki, Beggolo mengisi hari-harinya dengan berdiam diri di rumah La Tuppu sang kepala kampung. Sementara lelaki yang telah ditinggal mati istri 10 tahun lalu ini, selalu ke laut melihat pukatnya, bersama putranya La Ijo. Hanya putri La Tuppu, Lembatina yang kadang menemani Beggolo, bila ia tak sibuk di kebun milik ayahnya.
Siang itu Beggolo duduk di beranda depan rumah La Tuppu, dari jauh ia perhatikan sosok wanita berjalan ke arahnya. Semakin dekat, semakin terang, jelas, rambutnya indah, bentuk tubuhnya sempurna mirip gita melody. Meskipun gadis kampung kulitnya putih tanpa polesan.
"Lembatina."
Benggolo menyapa, wanita muda  itu masuk pekarangan rumah. Namun yang di sapa tidak menyahut, hanya tebarkan senyum yang sangat indah dari bibir yang merah muda debarkar jantung perjaka.
"Lembatina."
Benggolo masih mengulang sapaannya, namun tetap saja sang gadis tak menyahut. Ia masih saja senyum, dan terus melangkah masuk rumah. Benggolo tak kuasa, iapun mengikuti wanita itu hingga ke dapur.
"Lembatina."
Benggolo mendekat. Wanita muda itu tidak menyahut ia hanya sibuk dengan keinginannya memasak sayur. Namun senyum tak pernah lepas dari bibir ranumnya yang membuat jantung Beggolo terpacu, berdetak lebih kencang dari biasanya.