//
Lampu padam, penginapan sederhana dimana aku bermalam gelap. Resepsionis bawakan sebatang lilin dengan membawa pula sebatang lilin menyala di tangannya sebagai penerang. Ia nyalakan lilin itu dengan sigap kemudian berlalu setelah aku ucapka terima kasih.
Ini malam kedua aku di Wawonii, sebuah kabupaten yang masih sangat balita. Namu indahnya luar biasa, boleh dipotres dari udara, Wawonii ini bentuknya seperti hati, maka pantaslah disebut pulau cinta.
Dengan penerangan lilin aku habiskan sisa kopi yang masih tersisa setengah  gelas, tentu dengan menyulut sebatang rokok kesukaanku. Jarum jam telah menunjukkan jam 00.00. Di atas meja, laptop setiaku masih on di atasnya ada rentetan naskah cerita tentang daerah ini.
//
Mengetahui hubungan tak setara antara Durubalewula dan Wulangkinokiti, Raja Wawonii murka dan memarahi habis-habisan putrinya. Sang putri hanya terdiam dan menangis dalam pelukan bundanya, sang permaisuri.
"Wulangkinokiti, engkau pantas mencintai Durubalewula. Pemuda itu hanya anak rakyat jelata. Mau disimpan dimana muka ayahandamu di depan para kawula Kerajaan Wawonii."
Permaisuri ikut menangis memeluk putrinya yang cantik jelita. Perempuan separubaya ini memahami perasaan wanita yang menjadi darah daginya itu. Raja mondar mandir, sesekali duduk namun dengan muka penuh kemarahan. Ia merasa terpukul dengan kelakuan putrinya itu.
"Wulangkinokiti, camkanlah. Jangan lagi engkau berhungan dengan Durubalewula. Kamu tidak boleh keluar istana tanpa pengawalan dari saudara-saudaramu atau ibumu. Kamu harus dipingit. Ini adalah kuputusanku, keputusan raja dan hanya nyawa akan jadi taruhannya bila dilanggar."
Dengan suara tinggi raja tinggalkan ruangan. Permaisuripu ikut terisak bersama putrinya dalam pelukan. Kedua wanita ini lemas mendengar keputusan raja.
//