Pemuda tampan Durubalewula memainkan seruling bambu kuning buatannya. Hembusan napas lewat bibirnya menerobos melului bilah buluh itu timbulkan bunyi lengkingan merdu. Juga saat jari-jari kekarnya bermain di atas lubang-lubang kecil, timbulkan irama menyayat hati. Luka sekeping hati dari pemuda kampung yang miskin.
"Oh Dewa, engkau tidak adil dalam ciptaanmu yang bernama cinta. Kenapa kami saling mencintai namun tidak mungkin bersatu. Engkau begitu kejam telah membuat wakil di bumi, yang menjadikan dirinya raja yang buta akan cinta. Cinta kami jauh lebih dari seluruh kekuasaan raja di bumi ini."
Durubalewula terus meniup seruling bulu kuning. Ia mulai menggugat Dewanya yang telah membiarkan dirinya mencintai Wulangkinokoti, putri cantik Raja Wawoni. Cinta yang terlarang karena darah tak setara.
Dengan napas yang tak pernah putus, terus mengalir, terhembuskan lewat buluh, Durubalewula meratapi nasibnya yang malang sebagai kawula. Wajah Wulongkinokoti tak lepas benaknya yang mulai membeku tak berarah. Butiran-butiran halus yang terlontar dari air terjun Tumburano membasahi wajahnya yang rupawan. Ia memang ingin menghabiskan waktunya di atas batu hitam diantara air mengalir Tamburano.
//
Mala itu Wulangkinokiti, putri jelita Raja Wawoni tak dapat memejamkan mata. Bolak balik ia memeluk bantal guling tak juga mampu membawa raganya tenang. Kasur empuk di bilik putri seolah papat atos yang membara. Hati wanita berkulit bersih ini sedang gundah.
Jauh di sebuah gubuk kecil di kampung dalam wilayah Kerajaan Wawoni, pemuda Durubalewula duduk menukuk lutut dengan sarung yang membalut di badannya. Ia kelihatan gerah walau udara malam mulai menusuk kulit. Diliriknya seruling bambu kuning di atas bangku-bangku kecil. Pada benda inilah yang selalu menupahkan rasanya. Tentang cintanya tak pernah padam. Pikirannya mengembara ke sebuah pohon rindang tak jauh dari istana Raja Wawoni.
"Wulangkinokiti, maafkan aku yang tak mampu mewujudkan cinta kita. Walau engkau tahu sayangku, cinta yang ada dalam dada ini jauh lebih luas dari kerajaan ayahmu. Kita bagaikan langit dan bumi, engkau adalah putri raja sedangkan aku pemuda kampung yang miskin."
Wulangkinokiti menunduk, kelopak matanya memberat, lalu butiran-butiran bening menetes pelan basahi pipinya yang putih kemerah-merahan. Rambutnya yang panjang terurai hitam dan bergelombang tergerai ditiup angin sore. Gadis istana ini terus menangis tanpa suara, ia memijit-mijit jari-jarinya sendiri. Sesekali ia menggigit bibirnya merah merekah. Hancur hati wanita ini.
Disaksikan pohon yang rindang itu, Durubalewula dekati kekasihnya tersebut, dengan jari-jari tangannya ia menyisir lembut rambut indah itu. Kedua badan muda-mudi ini semakin merapat hingga tak ada lagi selobang jarum suntikpun angin akan lewat. Matahari di ufuk barat menjadi iri, wajahnya merah merona. Sore itu, dunia hanya milik Durubalewula dan Wulangkinokiti.
Tak lepas sepengisapan rokok, Wulangkinokiti tegadahkan wajah disambut senyum lembut Durubalewula. Wanita ningrat ini tenang sejenak lupakan hatinya yang hancur lebur. Tak satu kata terucap, mata bicara dan bibir sesamanya bibir. Melayang jauh, indah, menggelora. Lalu up, gelap.
//
Lampu padam, penginapan sederhana dimana aku bermalam gelap. Resepsionis bawakan sebatang lilin dengan membawa pula sebatang lilin menyala di tangannya sebagai penerang. Ia nyalakan lilin itu dengan sigap kemudian berlalu setelah aku ucapka terima kasih.
Ini malam kedua aku di Wawonii, sebuah kabupaten yang masih sangat balita. Namu indahnya luar biasa, boleh dipotres dari udara, Wawonii ini bentuknya seperti hati, maka pantaslah disebut pulau cinta.
Dengan penerangan lilin aku habiskan sisa kopi yang masih tersisa setengah  gelas, tentu dengan menyulut sebatang rokok kesukaanku. Jarum jam telah menunjukkan jam 00.00. Di atas meja, laptop setiaku masih on di atasnya ada rentetan naskah cerita tentang daerah ini.
//
Mengetahui hubungan tak setara antara Durubalewula dan Wulangkinokiti, Raja Wawonii murka dan memarahi habis-habisan putrinya. Sang putri hanya terdiam dan menangis dalam pelukan bundanya, sang permaisuri.
"Wulangkinokiti, engkau pantas mencintai Durubalewula. Pemuda itu hanya anak rakyat jelata. Mau disimpan dimana muka ayahandamu di depan para kawula Kerajaan Wawonii."
Permaisuri ikut menangis memeluk putrinya yang cantik jelita. Perempuan separubaya ini memahami perasaan wanita yang menjadi darah daginya itu. Raja mondar mandir, sesekali duduk namun dengan muka penuh kemarahan. Ia merasa terpukul dengan kelakuan putrinya itu.
"Wulangkinokiti, camkanlah. Jangan lagi engkau berhungan dengan Durubalewula. Kamu tidak boleh keluar istana tanpa pengawalan dari saudara-saudaramu atau ibumu. Kamu harus dipingit. Ini adalah kuputusanku, keputusan raja dan hanya nyawa akan jadi taruhannya bila dilanggar."
Dengan suara tinggi raja tinggalkan ruangan. Permaisuripu ikut terisak bersama putrinya dalam pelukan. Kedua wanita ini lemas mendengar keputusan raja.
//
Durubalewula terus memainka suling bambunya dengan suara memilukan diantara deru air terjun Tumburano. Pemuda tampan tapi jelata ini membayangkan kekasihnya Wulangkinokiti dalam kamar menangis mengenang cintanya yang tak kesampaian.
Lalu diantara keputus asaan yang tiada tara, Durubalewula lemparkan seruling dari buluh kuning itu. Ia pun kemudian melayang ke air terjun Tumburano, ajal menjemputnya, kemudian membawanya ke sorga loka. Dewanya sangat menyayangi kemurnia cinta sang pemuda.
//
"Kakak, sudah selesaikah melamunnya. Dari tadi aku lihat kakak terus melihat air terjun itu."
Aku tersentak kaget, ada tangan lembut menyapu pundakku yang sudah mulai basah-basah akibat bunga air. Seorang wanita yang kukenal dua purnama yang lalu. Namanya Minarti berdarah Mekongga. Tidak cantik-cantik amat, namun memiliki kecantikannya yang khas di mataku.
"Ih, kakak masih melamu juga."
Minarti terus meremas punggungku dengan jari-jarinya yang lentik. Aku belum menoleh ke arahnya, sampai kesabaran wanita yang aku cintai ini habis. Ia memeluk tubuhku dari belakang. Akibat sentuhan lembut itu, aku merasa damai, tenang menikmati keindahan air terjun Tamburano.
"Kakak, sudah sore ini."
Terasa pipih Minarti yang lembut sedikit tembem menyentuh pipihku. Aku rasakan dunia ini semakin damai. Tanganya terus melingkar di badanku 360 derajat.
"Kakak, kita ini pengantin baru."
Oh, barulah aku sadar, kami baru menikah sebulan yang lalu. Akupun berdiri, mengecup kening istrku itu dan mengajaknya pulang. Penginapan sederhana telah menanti kami untuk jadi saksi. Kami berdua akan mewujudkan cinta antara Wulangkinokiti dan Durabalewula.
Note: Kesamaan nama dan tempat  hanya kebetulan belaka,semuanya rekaan penulis semata
Makassar, 06/03/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H