Jelang tengah hari di Juni 1978, Noni, gadis periang si pendaki  telah berada di Pos 3 menuju puncak Gunung Bawakaraeng.  Ia lebih duluan  tiba pada ketinggian 2883 m dpl (diatas permukaan laut)  itu dari teman-teman pencinta alamnnya. Ia buktikan bahwa perempuan bisa tong ji kuat.
"Mudah-mudahan Noval yang tiba lebih duluan."
Kata hati Noni, harapkan kekasihnya itu yang lebihdulua tiba dari yang lain. Ada sesuatu yang ingin disampaikan wanita berambut sebahu itu. Ia ingin memberikan kecupan pertama pada Noval, bukan di tangan, sebagaimana biasa ia lakukan pada senir pendakinya itu. Tetapi bibir sensualnya akan dilengketkan di bibir Noval di bawah kumis tipis.
Benar saja, dari sela-sela rimbun pepohonan, pria gondrong dengan ikat kepala muncul. Noni sangat mengenal rambut gondrong yang ikal itu, milik noval pujaannya. Lalu semakin mendekat, tubuh atletis itu semakin nyata.
"Noni, yang lain masih tertinggal di bawah. Ridwan sakit perut."
Suara Noval sedikit tertahan, ia perlu atus napas. Bukan karena letih melangkah menuju ketinggian Gunung Bawakaraeng, tetapi jatungngnya memburu saat Noni, melangkah mendekati dirinya. Semakin dekat hingga dada mereka nyaris bersentuhan.
"Noval."
"Noni."
Keduanya  saling menyebut  nama lalu terdiam. Entah apa terjadi, tiba-tiba saja Noval mengerang kesakitan sadarkan diri. Matanya melihat kelililing, ruangan bercat putih dengan lampu-lampu terang.
//
"Jangan banyak bergerak. Kakinya baru saja  dikasi gips,"