Mohon tunggu...
Taufik AAS P
Taufik AAS P Mohon Tunggu... Penulis - jurnalis dan pernah menulis

menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ketika Cinta Bersemi di Dada Pongka Padang dan To Rije'ne

12 Desember 2017   20:30 Diperbarui: 13 Desember 2017   23:44 1939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada sebuah gunung tinggi, sebelah barat Ulu Saddang, pemuda Pongka Padang, duduk menekur mengais tanah dengan kayu, menuliskan syair-syair sedih. Salah satu teman seperjalanan sekaligus pengawalnya meninggal di gunung yang tinggi itu.

"Kuberi nama tempat ini, Mambuliling." Kata Pongka Padang sambil mengakat tangan menengada ke langit. Seketika itu guntur menderu disertai kilat yang menyambar.

Usai menguburkan pengawal setianya yang bernama Mambuliling itu Pongka Padang melanjutkan perjalanan bersama, Polopadang  pengawal satu-satunya masih tertinggal. Pangeran dan Ulu Saddang ini, ambil alih bawaan Mambuliling berupa kantong yang disebutnya "sepu" yang berisi  jimat-jimat, pakaian dan lain-lain.

Semakin ke Barat Daya lanjutkan perjalanan, akhirnya Pongka Padang tiba di sebuah tempat yang tinggi bernama "Buntu Bulo."  Bersama dengan Polopadang, pengawal setianya  tersebut ia memutuskan untuk tinggal dan menetap. Dengan kekuatan magic yang di milikinya, tempat itu dibenahinya dengan cepat  hingga menjadi hunian yang indah dan menawan.

Setelah beberapa lama hidup dengan berkecukupan bersama pengawalnya Polopadang di Buntu Bulo, Pongka Padang rasakan kesunyian yang teramat dalam. Bagaimana tidak, ia hanya berdua dengan pegawalnya di belantara itu. Walau ia telah memiliki segalanya, namun naluri lelakinya tidak dapat dibendung. Ia membutuhkan pendamping hidup seorang wanita.

Pongka Padang memikirkan, bagaimana kalau ia telah tiada nanti sementara tidak ada satupun keturunannya. Tentu akan putuslah generasinya. Kepada siapa pula akan mewariskan pemukiman Buntu Bulo yang telah dibangunnya dengan susah payah.

Selama tuju hari tuju malam ia mengurung diri dalam bilik, membuat Polopadang bertanya-tanya, apakah yang telah menimpah tuannya tersebut. Maka dengan memberanikan diri  pengawal setia tersebut masuk dalam bilik.

"Apakah tuanku sakit."

"Tidak Polopadang. Aku tidak sakit sama sekali."

"Kenapa tuanku tidak mau makan dan hanya mengurung diri dalam bilik. Polopoadang  khawatir  tuanku akan sakit."

"Ya, kalau dikatakan sakit, sakitlah perasaanku  ini. Aku tidak bisa meninggalkan tidurku. Aku selalu rindu untuk tidur dan bermimpi. Karena itulah obat dari sakitku ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun