22 Agustus 1993, aku berangkat  dari Makassar, menuju ke Kabupaten Polewali Mamasa atau biasa disebut Polmas menuju  Gunung Mabbuliling di Mamasa.  Aku luangkan  waktu dalam perjalanan yang cukup menantang ini untuk mengambil gambar dan menuliskan  cerita tentang Gunung Mambuliling, sebuah gunung yang cukup melegenda karena memiliki nilai hitoria dengan nenek moyang orang-orang di wilayah Pitu Ulunna Salu (PUS) dan Pitu Babanna Binanga (PBB).
Semalam di kaki Mambuliling, sebuah lembah yang luas, disebut Mamasa, hawanya dingin, malam hari suhu bisa dibawah nol derajat celcius penduduknya ramah dan memiliki budaya yang mirip orang Toraja, perjalanan dilanjutkan dengan mendaki gunung yang terkenal hijau dan sangat  dingin itu. Kami harus kenakan jaket berlapis tiga bila tak ingin membeku.
Pada ketinggian, dimana awan mulai melingkar bukit, saya keluarkan kamera untuk mengambil keindahan alam tersebut. Saat membuka penutup lensa, wow, ternyata telah buram oleh uap air, silica gel yang tersimpan dalam tas, ternyata tak mampu menahan lembabnya udara dingin.
"Hemm,"
Aku berguman sambil mengambil ujung shall yang kukenakan dan mulai melap permukaan lensa, walaupun ini tidak direkomendasikan oleh ahli kamera. Karena pasir halus bisa saja melukai permukaan lensa.
"Kenapa kak, lensanya,"
Akupun menoleh. Oh, tersungging senyuman dengan barisan gigi putih. Itu dari seorang gadis yang mengenakan cupluk tebal. Ia juga melipat tangannya ke badan pada jaket tebal. Jari-jarinya bersarung bersarung tangan tebal pula.
"Waduh, cantik atau tidak ini gadis, hanya bibirnya kelihatan."
Aku mengguman dalam batin. Dasar buaya. Tapi itulah pria, semua adalah buaya. Tapi perasaan, aku ini buaya baik-baik. Tak akan menerkam mangsa lewat dukun. Tidak semua mangsa juga aku terkam. Karena aku bukanlah buaya buas. Tetapi  buaya  sopan.
"Lembab."
Jawabku singkat dengan suara ringan.