Sawerigading adalah pangeran Tana Luwu -- salah satu kerajaan dari Tellumpoccoe dalam imperium tiga kerajaan besar di Sulawesi  diantara Kerajaan Bone dan Gowa. Ia adalah putra dari Batara Guru (anak Patotoe yang turun dari langit) bersama We Nyiliktimo (putri cantik yang lahir dari pratiwi atau bumi)
Karena ketampanan dan ketinggian ilmu, nama Sawerigading dikenal seantero jagat, itu disebut-sebut dalam epos Sure Galigo, karya sastrawan dunia, Colli Pujie, asal Pancana (sekarang Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan).
Selain rupawan, disenangi banyak wanita, Sawerigading adalah pecinta sejati yang mampu menurutkan kehendak  asmaranya. Hingga kembar emasnya  yang bernama We Tenriabeng, sempat pula dicintainya. Namun ia dikutuk karena cintanya yang pamali  ini.
Mengobati cinta terlarang itu, lewat wangsit Sawerigading mengembara ke negeri lain mencari We Cudai. Wanita cantik yang setali tiga uang dengan kembar  emasnya, We Tenriabeng. Iapun menyunting gadis pujaannya itu setelah setelah melewati  rintangan dan tantangan dalam pelayaran panjang ke Cina.
Usai berbulan madu dengan We Cudai, Sawerigading kembali ke Timppotikka, dimana ia menjadi putra mahkota. Namun istrinya tidak dibawah serta.
Dalam pelayarannya kembali ke Tana Luwu, Sawerigading -- disebut Saverigading dalam Bahasa Kaili bersama singgahpun berlabuh di Teluk Kaili di Pudjananti - Banava (Donggala), kemudian menuju ke pelabuhan Bangga dan Sigi sebagai pusat kerajaan Kaili yang dipimpin seorang ratu yang cantik jelita.
Mendengar cerita kalau Ratu Kaili tersebut terkenal kemolekannya, Sawerigading yang semula hanya sekedar singgah mengasoh dan hanya ingin mengambil air tawar, berubah haluan. Ia pun berjalan lebih ke dalam menuju pusat kerajaan Kaili tersebut. Entah apa yang terbersit di hati pangeran tampan dari selatan Sulawesi ini.
Teki-teki gelora dalam dada Sawerigading belum terjawab. Sebuah kejadian luar biasa terjadi. Salah seekor anjing milik Sawerigading bernama La Bolong (bahasa Bugis, Bolong artinya hitam) ikut pula berkeliaran di dataran Kaili tersebut.
La Bolong berjalan ke sebuah telaga hingga kakinya terperosok menyentuh seekor belut raksasa yang sedang pertapa. Karena terusik, belut raksasa itu menari kaki La Balong dan terjadilah perkelahian seruh.
Kedua binatang bertubuh besar tersebut saling gigit, saling banting dan saling menjatuhkan. Pertarungan yang dahsyat dalam kubangan itu sampai - sampai menimbulkan goncangan keras seolah gempa bumi.
La Bolong akhirnya mampu menarik belut besar tersebut keluar dari dalam telaga. Ceceran darah keduanya mengalir  bersama air yang melekat di tubuhnya menyerupai air bah yang tumpah.
Masyarakat di pesisir Sigi dan Bora serta sekitarnya menjadi ketakutan mendengar gemuruh yang  disertai banjir dan gempa. Bekas-bekas alur belut saat ditarik oleh La Balong, itulah yang dianggap menjadi cikal-bakal terjadinya Sungai Palu.