Mohon tunggu...
Lailia Nor
Lailia Nor Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

Membaca dan mendengarkan lagu

Selanjutnya

Tutup

Music

Titik Dua Kolektif, Komunitas Cadas Berani Kreatif

16 Desember 2022   00:26 Diperbarui: 18 September 2023   19:11 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Helmi Brilian, pemuda Kota Batu berhasil membuat skena musik cadas hingga sekarang.  Source : Nurjihan Nabilahsari

Kota Batu cukup dikenal dengan pariwisata dan keindahan alamnya. Titik Dua Kolektif adalah rumahnya anak muda Kota Batu yang memiliki kreatifitas. Tidak melulu bermusik, berbagai kegiatan lain juga dikerjakan. Kekuatan solidaritas adalah pegangan yang utama.

Aliran Musik Cadas

Musik bawah tanah kini kerap dikenal dengan Musik Underground atau cadas. Terdiri dari beberapa subgenre yang familiar di kalangan anak muda. Punk, Rock, Hadrcore, Emo, kini mencuat lagi keberadaannya. Musik ini diidentikkan dengan dentuman drum dan distorsi yang keras. 

Yustian, Mahasiswa UMM jurusan Ekonomi Syariah, seorang musisi Band Break Age. Menuturkan bahwa para pelaku musik cadas, tidak bergantung pada pihak manapun. Dalam proses menghasilkan dan merilis sebuah karya bergerak secara mandiri. Lirik lagu menyinggung kehidupan sosial, pemerintahan, bahkan kematian dituangkan pada musik cadas ini. Tanpa takut di sensor oleh perusahaan. 

Rumah Skena Kecil

Helmi Brilian, pemuda Kota Batu berhasil membuat skena musik cadas hingga sekarang.  Source : Nurjihan Nabilahsari
Helmi Brilian, pemuda Kota Batu berhasil membuat skena musik cadas hingga sekarang.  Source : Nurjihan Nabilahsari

Helmi Brilian atau yang dikenal Ciwen Ilusi, Mahasiswa STIKI jurusan DKV musisi Band Interad. Dia merupakan salah satu penggagas komunitas Titik Dua Kolektif. Menurutnya, komunitas ini dibentuk karena adanya keresahan musik cadas kembali menurun. Tidak adanya regenerasi dan kurangnya kekompakan antar pelaku musik menjadi alasan. 

Titik Dua Kolektif, dibentuk pada Juni 2018. Berawal dari tongkrongan. Ciwen, Petruk, Tedjo, Ocir, dan Gaby ternyata memiliki keresahan yang sama. "Kenapa di Batu jarang ada gigs? Kenapa tongkrongan pelaku musik underground mencar?" ucap Ciwen. 

Kota Batu merupakan kota kecil yang anak mudanya banyak berkecimpung di musik cadas. Memang banyak komunitas kecil yang menaungi band-band Underground. Tetapi, pada saat itu belum ada rumah yang menjadikan komunitas kecil tersebut berkumpul. Akhirnya muncul keinginan untuk membuat wadah yang menampung pelaku musik cadas. Terbentuklah Titik Dua Kolektif. Pelaku musik cadas, Band, hingga beberapa komunitas kecil tergabung. Youth Stone, GGDWP, Ngawur Crew, Division, dll. "Titik dua adalah rumahnya musik khususnya Underground," tambahnya. 

Berbeda dengan komunitas pada umumnya. Titik Dua Kolektif tidak memiliki struktur yang paten. Kesepakatan yang diambil bahwa komunitas ini Non-profit. Bekerja atas dasar kesenangan. Mengandalkan keterbukaan, tidak ada open recruitment anggota. Tanpa syarat dan batasan, meskipun kepada mereka yang tidak berkecimpung pada dunia musik. 

Cerita Titik Dua Kolektif

Ciwen menuturkan bahwa tidak ada arti tetap dari nama Titik Dua Kolektif. Pengambilan nama itu hanya gabungan dari sebuah simbol dan kata. Dengan cara pengertian yang berbeda-beda.

Pertama dibentuk, komunitas ini mengambil nama Sub Urban Kolektif. Memiliki arti pinggiran kota. Alasan lainnya, karena musik cadas merupakan musik minoritas. Dirasa sesuai dipakailah nama itu. Sayangnya, Sub Urban Kolektif tidak bertahan lama. Komunitas luar kota ternyata lebih dulu memakai nama itu. Mau tidak mau, nama komunitas harus diubah. 

Anggota awal komunitas ini berjumlah 100 orang. Tiap orang memberikan ide nama. Banyaknya ide kemudian dikemas dalam suatu simbol. Titik dua, sebagai penanda pernyataan yang diikuti pemerinci atau penjelasan. Kolektif, yang berarti gabungan. Ciwen selaku penggagas, menyadari bahwa tiap orang memiliki sudut pandang berbeda. Mereka juga bisa mengartikan kolektif berbeda-beda. "Perbedaan itu menarik," ucapnya. Kedua hal tersebut disatukan dan disepakati Titik Dua Kolektif. 

Gigs Rutin

Merangkul beberapa band, Titik Dua Kolektif sukses gelar Grow Between a Threat 20, (26/11). Source : Irsan Niko
Merangkul beberapa band, Titik Dua Kolektif sukses gelar Grow Between a Threat 20, (26/11). Source : Irsan Niko

Ciwen Ilusi memaparkan tujuan awal Titik Dua Kolektif adalah mengadakan gigs rutin sebulan sekali. Siapa sangka, jadwal gigs membludak. Adanya kegiatan tour antar kota bahkan luar negeri sekalipun. "Tour memang kegiatan wajib musik underground," tutur penggagas. Sehingga Titik Dua Kolektif memberikan wadah untuk menaungi band tour. Grow Between a Truth (GBAT) istilahnya. 

Acara GBAT memang belum memiliki tempat yang paten. "Kemarin GBAT dilaksanakan ditempat A, belum tentu besok disitu," ucap Yustian. Komunitas Non-Profit, tidak adanya struktur yang paten. Bahkan data anggota pun tidak ada. 

Struktur dibuat ketika hanya ada gigs. Saat itulah anggota terbagi sesuai jobdesknya. Tidak ada bantuan dana, dan sponsor. Nyatanya, Titik Dua Kolektif selalu berhasil dalam pelaksanaan GBAT. Suntikan dana hanya dari HTM dan penjualan merchandise. 

Tidak Melulu Bermusik

Gulam mengatakan bahwa anggota komunitas ini tidak hanya dari pelaku musik. Seorang lulusan UMM 2022 jurusan hukum ini, mengakui bahwa dia bukan pelaku musik. "Tidak melulu soal musik, karena skill lain juga dibutuhkan," tandasnya.

Memang tidak hanya berfokus pada musik underground saja. Acara diskusi, screening film, galang dana untuk yang membutuhkan. Bahkan, juga aktif di youtube. Konten tentang life-season, talkshow, dll turut menjadi agenda Titik Dua Kolektif. Peran skill diluar musik sangat mendukung agenda tersebut.

Rasa solidaritas yang tinggi antar anggota, menjadi pegangan selama ini. Regenerasi antar pelaku musik underground perlu digencarkan lebih luas lagi. "Membuat komunitas itu mudah, menjaga api agar tetap menyala di dalamnya itu yang susah," ucap Ciwen Ilusi.

Dikenal dengan musik rasis, faktanya banyak yang dipelajari dari komunitas musik cadas. Solidaritas, kekompakan, bahkan memanusiakan manusia menjadi tantangan yang cukup sulit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun