Berdasarkan data dari BPS tahun 2019, persentase penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2019 sebesar 9,41 persen, sebanyak 25,14 juta orang.Â
Jumlah itu telah menurun sebesar 0,41%, yaitu sebanyak 0,80 juta orang sejak setahun yang lalu. Usaha Indonesia untuk menurunkan tingkat jumlah kemiskinan penduduknya patut diberi applause. Namun, apakah Indonesia juga segiat itu dalam menangani permasalahan-permasalahan lainnya selain kemiskinan?
Rencana pemindahan Ibukota ini telah ada sejak zaman pemerintahan Presiden pertama Indonesia, Presiden Soekarno, namun tidak direalisasikan pada saat itu.Â
Sekarang, dengan didorong keadaan Jakarta yang terlalu padat, akhirnya rencana itu terealisasikan di bawah pemerintahan Presiden ke-7 Indonesia, Presiden Joko Widodo. Saat ini, kita sering-seringnya mendengar berita tentang pemindahan Ibukota Tanah Air kita.Â
Jika ditelusuri lagi, yang biasanya dibahas berita-berita itu kebanyakan mengenai spending, spending, spending; biaya yang dibutuhkan sangat besar; dan seputar itu. Tapi sebenarnya, seberapa besar biaya yang dibutuhkan untuk melakukan proyek semasif pemindahan sebuah Ibukota? Dan apa pengaruhnya ke perekonomian Indonesia?
Pemerintah mengestimasikan biaya yang dibutuhkan untuk pemindahan ini akan memakan kurang lebih Rp 466 triliun. Dana yang dibutuhkan untuk melakukan ini didapatkan dari berbagai sumber.Â
Sejumlah Rp 89,472 triliun atau 19,2% dari dana tersebut berasal dari APBN. Pemerintah berusaha agar pembangunan ini tidak membebani APBN sehingga sisa biayanya berasal dari investasi pihak swasta, sebesar 26,2% atau Rp 122,092 triliun.
Dan kerja sama antara pemerintah dan KPBU, yang memberikan dana sebesar  54,6% atau sebesar Rp 254,436 triliun. Biaya dari setiap sumber tersebut akan dipergunakan untuk membangun infrastruktur sesuai kesepakatan yang telah dibuat. Namun, apakah pemerintah sudah yakin anggaran pemindahan tersebut akan bisa ter-cover semuanya?
Lalu, apa yang akan terjadi dengan perekonomian di Indonesia? Menurut CNN Indonesia, hasil analisa dari INDEF atau Institute for Development of Economics and Finance menyatakan bahwa pemindahan Ibukota Indonesia ke Kalimantan Timur sama sekali tidak berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sepersen pun, begitu pula terhadap pertumbuhan investasi nasional.Â
Namun, pemindahan ini akan berdampak pada Kalimantan Timur sendiri. Kalimantan Timur akan mengalami kenaikan dalam perekonomiannya sebesar 0,24% dan investasi sebesar 0,20%.
Salah satu potensi perekonomian terbesar yang ada dan bisa dikerahkan semaksimal mungkin di Kalimantan Timur adalah pertambangan batu bara dan migasnya. Salah satu pertambangan terbesar di Indonesia dipegang oleh Kaltim Prima Coal (KPC) yang berbasis di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Menurut Badan Pusat Statistik, Kalimantan Timur memiliki dua sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB-nya, yaitu pertambangan, sebesar 46%, dan industri, sebesar 17,69%. Selain kedua sektor tersebut, perekonomian di Kalimantan Timur juga digerakkan oleh sektor pertanian, perdagangan dan konstruksi. Ketiga sektor tersebut masing-masing sebesar 7,86%, 6,10%, dan 8,46%.
Pengaruh dari pemindahan ini dapat dilihat dari harga lahan yang ada di Kalimantan. Semenjak isu-isu pemindahan ibukota mulai panas, harga lahan semakin lama semakin tinggi, terutama di Kalimantan Timur setelah diumumkan menjadi pusat. Bisa-bisa harga lahan mencapai empat kali lipat dari harga semulanya. Namun, perpindahan Ibukota ini tidak hanya berdampak pada Kalimantan Timur saja, melainkan juga pada Jakarta.
Yang berpindah dari Jakarta ke Kalimantan adalah pusat pemerintahan Indonesia, sehingga otomatis banyak aset-aset pemerintahan yang akan ditinggalkan. Sebagian besar aset pemerintahan di Jakarta berupa bangunan-bangunan. Untuk mengantisipasi terjadinya bangunan-bangunan mangkrak sekaligus menjadi sumber biaya untuk menambal kekurangan biaya untuk pembangunan Ibukota baru, pemerintah berencana melakukan "tukar guling" aset-aset tersebut. Menteri Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang P.S. Brodjonegoro, mengestimasikan nilai dari  aset di Jakarta kurang lebih sebesar Rp 150 triliun. Well, menurut penulis, itu solusi yang baik daripada harus melihat aset negara mangkrak setelah pembangunan Ibukota baru selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H