Mohon tunggu...
YUSTINA NURAIRINNISA
YUSTINA NURAIRINNISA Mohon Tunggu... Penulis - NIM 181910501009

MAHASISWA PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS JEMBER ANGKATAN 2018 Masih Proses Belajar

Selanjutnya

Tutup

Money

Pembiayaan dan Dampak Ekonomi Pemindahan Ibu Kota Baru

12 September 2019   22:25 Diperbarui: 12 September 2019   22:29 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pemerintah Indonesia sedang bersiap-siap pindah ke rumah barunya di Kalimantan Timur. Ya, Ibukota negara RI secara resmi dipindah lokasikan ke Kalimantan Timur tepatnya di sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara dan sebagian kabupaten Penajam Panser Utara,  pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2019 melalui pidato presiden Joko Widodo. 

Kepindahan ibukota ini disebabkan karena Jakarta sudah terlalu padat akan penduduk beserta aktivitasnya. Populasi Penduduk Jakarta diproyeksikan sampai pada tahun 2019 ini mencapai 10,5 juta jiwa, sedangkan luas wilayah Jakarta hanya sebesar 661,5 km yang artinya kepadatan penduduk di Jakarta mencapai 15.873 km. 

Untuk ukuran kota, Jakarta sudah terlalu padat dan jenuh. Banyaknya penduduk disertai juga dengan banyaknya kebutuhan sebagai manusia, salah satunya kebutuhan air bersih. 

Melihat kondisi Jakarta saat ini, daya dukung lingkungannya sudah tidak mampu lagi untuk menopang berbagai aktivitas di atasnya. Kualitas lingkungan di Jakarta mengalami penurunan setiap tahunnya. 

Hal ini diindikasikan melalui krisis air bersih di Jakarta, sehingga pemerintah mencari solusi terkait permasalahan ini. Pemerintah memiliki dua opsi yaitu membangun waduk air untuk penduduk Jakarta atau mengurangi aktivitas di Jakarta dengan memindahkan pusat pemerintahan atau ibukota. Isunya biaya untuk membuat waduk air di Jakarta lebih mahal daripada biaya yang dikeluarkan untuk memindahkan ibukota. 

Oleh sebab itu, pemerintah RI lebih memilih memindahkan ibukota. Walau diwarnai banyak pro kontra, pemindahan ibukota ke luar Pulau Jawa ini memiliki tujuan baik yakni mengurangi beban Jakarta akibat kepadatan penduduknya.

Layaknya orang yang akan berpindah rumah, banyak yang harus dipersiapkan di rumah baru nantinya, termasuk dari segi pembiayaan. Biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan ibukota mencapai 323T sampai dengan 466T. 

Menurut analisis ekonomi yang telah dilakukan oleh Bappenas RI yang disampaikan melalui Dialog Nasional II dengan tema Menuju Ibu Kota Masa Depan: Smart, Green and Beautiful pada tanggal 26 Juni 2019, rincian pembiayaan pemindahan ibukota adalah sebagai berikut :

-Kebutuhan infrastruktur dengan fungsi utama gedung legislatif, eksekutif dan yudikatif pada skenario 1 diestimasikan membutuhkan biaya sebesar 32,7T sedangkan pada skenario 2 membutuhkan biaya sebesar 20,0T.

-Kebutuhan infrastruktur dengan fungsi pendukung meliputi gedung dan rumah ASN/POLRI/TNI, fasilitas pendidikan dan kesehatan, pada skenario 1 diestimasikan membutuhkan biaya sebesar 264,1T sedangkan pada skenario 2 membutuhkan biaya sebesar 182,2T.

-Kebutuhan infrastruktur dengan fungsi penunjang meliputi fasilitas sarana dan prasarana, pada skenario 1 diestimasikan membutuhkan biaya sebesar 160,2T sedangkan pada skenario 2 membutuhkan biaya sebesar 114,8T.

-Kebutuhan untuk pengadaan lahan pada skenario 1 diestimasikan membutuhkan biaya sebesar 8T sedangkan pada skenario 2 membutuhkan biaya sebesar 6T

Sehingga total keseluruhan pada skenario 1 adalah 466T sedangkan pada skenario 2 adalah 323T. Melihat nominal angka yang tidak sedikit untuk membiayai pemindahan ibukota, pastilah rakyat ingin tahu, bagaimana dan darimana pemerintah mendapatkan uang sebanyak itu? Apakah Indonesia menambah hutangnya lagi? Menjawab pertanyaan ini, Bappenas RI telah mencantumkan sumber pembiayaan terkait pemindahan ibukota, antara lain sebagai berikut

-Untuk Infrastruktur pelayanan dasar, Pembangunan Istana Negara, bangunan strategis TNI/POLRI, perumahan dinas ASN dan TNI/POLRI, pengadaan lahan, dan ruang terbuka hijau, sumber pembiayaannya berasal dari APBN.

-Untuk Peningkatan bandara dan pelabuhan sumber pembiayaannya berasal dari BUMN

-Untuk Gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif, Pembangunan infrastruktur utama (selain yang telah tercakup dalam APBN), sarana pendidikan, sarana kesehatan, museum, lembaga pemasyarakatan, sarana dan prasarana penunjang sumber pembiayaannya berasal dari kerjasama pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

-Untuk Perumahan umum, Pembangunan perguruan tinggi, sarana kesehatan, MICE, dan science-technopark, shopping mall sumber pembiayaannya berasal dari swasta.

Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam pembiayaan pemindahan ibukota baru, Indonesia tidak menggunakan hutang. Melainkan bersumber dari APBN, BUMN, KPBU, dan swasta. 

Banyaknya sumber pembiayaan ini dimaksudkan agar pemindahan ibukota tidak memberatkan anggaran APBN. Pemerintah meyakinkan masyarakat, biaya pemindahan ibukota yang bersumber dari APBN tidak akan mengganggu program prioritas nasional lainnya karena pembiayaan dari APBN dilaksanakan secara multi years. Selain itu untuk pemanfaatan dan  optimalisasi  aset, pemerintah bekerjasama dengan swasta.

Lalu bagaimana dampak pemindahan ibukota terhadap perekonomian di Indonesia? Hal ini juga telah dikaji oleh Bappenas RI. Menurut hasil kajian dari Bappenas RI,pemindahan ibukota memiliki dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang dapat dirumuskan sebagai berikut : real GDP nasional + 0,1%. 

Dampak positif ini terjadi karena adanya penggunaan potensi yang belum sempat dimanfaatkan. Dengan berpindahnya ibukota yang berlokasi tepat di tengah wilayah Indonesia, akan membangkitkan aktivitas ekonomi di wilayah sekitarnya. Sehingga terjadi pemerataan ekonomi serta pembangunan. Seluruh wilayah Indonesia dapat dengan mudah mengakses ibukota karena letaknya yang strategis di tengah wilayah Indonesia. Hal ini menimbulkan kesan keadilan. Selain itu pemindahan ibukota ke luar pulau jawa juga akan menurunkan tingkat kesenjangan antar wilayah, karena :

-Mendorong perdagangan antar wilayah, terutama perdagangan antara Pulau Jawa dengan wilayah di luar Pulau Jawa serta antar wilayah di luar Pulau Jawa

-Mendorong investasi terutama di provinsi ibukota negara baru dan provinsi sekitarnya.

-Mendorong diversifikasi ekonomi, sehingga tercipta dorongan nilai tambah ekonomi pada sektor non tradisional di provinsi tersebut.

Dengan demikian, fokus pembangunan Jawa Sentris berubah menjadi Indonesia Sentris karena pembagunan mulai merata ke seluruh Indonesia, tidak hanya terfokus di Pulau Jawa saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun