Kasus :
Yasonna Laoly, Sosok yang Kini Jadi Kontroversi di Panggung Politik Indonesia
Kalau kita bahas soal politik, hukum, dan demokrasi di Indonesia, sebenarnya kayak ngomongin satu koin yang punya tiga sisi. Meskipun beda fungsi, mereka saling nyambung dan memengaruhi satu sama lain. Sayangnya, hubungan ini sering nggak harmonis. Kadang politik menekan hukum, hukum justru membatasi demokrasi, atau malah sebaliknya.
Salah satu nama yang sering muncul dalam perdebatan soal ini adalah Yasonna Laoly. Dia politisi senior dari PDI-P yang juga seorang akademisi hukum. Yasonna ini jadi figur penting dalam hubungan rumit antara hukum dan politik di Indonesia. Tapi, nggak jarang keputusan-keputusannya mengundang kontroversi, terutama yang dianggap bertentangan dengan keadilan dan demokrasi.
Yasonna pernah menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM di beberapa periode pemerintahan. Dengan latar belakang hukum yang kuat, dia dianggap paham banget soal sistem hukum di Indonesia. Tapi, keputusan-keputusannya sering bikin publik bertanya-tanya. Salah satu yang paling ramai dibahas adalah waktu dia mendukung revisi Undang-Undang KPK (UU KPK) tahun 2019.
Buat kebanyakan orang Indonesia, KPK adalah simbol perang melawan korupsi. Lembaga ini sering berhasil bongkar kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi. Tapi, pas UU KPK direvisi, banyak yang merasa KPK jadi lemah. Salah satu perubahan besarnya adalah adanya Dewan Pengawas yang dianggap bikin KPK rentan diintervensi pemerintah. Sebelum revisi, KPK itu lembaga independen yang nggak bisa dicampuri eksekutif.
Waktu revisi ini, Yasonna yang jadi Menteri Hukum dan HAM terang-terangan mendukung. Dampaknya, kritik tajam datang dari berbagai pihak, mulai dari aktivis antikorupsi sampai masyarakat umum. Banyak yang bilang dukungan Yasonna lebih demi agenda politik daripada kepentingan rakyat.
Revisi UU KPK ini memicu gelombang demo besar-besaran di berbagai kota. Ribuan mahasiswa, aktivis, dan masyarakat umum turun ke jalan buat menolak kebijakan ini. Mereka merasa pemerintah, termasuk Yasonna, melanggar prinsip demokrasi dengan melemahkan KPK.
Sebenarnya, hukum itu seharusnya alat netral buat menjaga keadilan. Tapi di Indonesia, sering banget hukum dimanfaatkan buat memperkuat kekuasaan. Dalam kasus ini, banyak yang merasa hukum kehilangan independensinya. Akibatnya, masyarakat jadi nggak percaya lagi sama sistem hukum yang ada.Ketika kepercayaan publik terhadap hukum menurun, demokrasi juga ikut terancam. Soalnya, hukum yang nggak adil bikin rakyat kehilangan harapan bahwa sistem ini bisa melindungi mereka.
Dalam demokrasi, ada tiga pilar penting: eksekutif (pemerintah), legislatif (parlemen), dan yudikatif (lembaga hukum). Idealnya, mereka ini harus berjalan sendiri-sendiri tanpa saling campur. Tapi di Indonesia, batas antara ketiganya sering nggak jelas.
Contohnya, pas pejabat eksekutif kayak Yasonna ikut campur dalam urusan hukum, independensi yudikatif jadi diragukan. Publik merasa hukum udah dipolitisasi dan cuma dipakai buat memperkuat kekuasaan. Ini nambah panjang daftar masalah kepercayaan masyarakat terhadap sistem.
Selain soal hukum, kasus ini juga nunjukin lemahnya etika politik di Indonesia. Sebagai akademisi hukum, Yasonna mestinya ngerti banget pentingnya integritas hukum. Tapi beberapa kebijakan yang dia dukung malah bikin orang mikir dia lebih utamakan kepentingan politik dibanding prinsip keadilan.
Masalah ini bukan cuma soal Yasonna aja, tapi fenomena umum di politik Indonesia. Banyak pejabat publik yang nggak bertanggung jawab atas keputusan mereka. Akuntabilitas, yang seharusnya jadi mekanisme kontrol, sering nggak berjalan dengan baik.
Hubungan yang terlalu erat antara pejabat publik dan pusat kekuasaan juga memperburuk situasi. Kalau seorang pejabat punya "backing politik" yang kuat, dia cenderung kebal dari kritik dan konsekuensi. Ini menciptakan budaya impunitas, di mana pejabat bisa bertindak seenaknya tanpa memikirkan dampaknya buat rakyat.
Kasus ini sebenarnya bisa jadi pelajaran penting buat memperbaiki sistem hukum dan politik di Indonesia. Ada beberapa langkah yang bisa diambil:
1.Reformasi Hukum yang Serius
Hukum di Indonesia butuh reformasi besar-besaran. Bukan cuma soal revisi UU, tapi juga membangun budaya hukum yang benar-benar independen dari pengaruh politik. Lembaga seperti KPK harus diperkuat biar nggak gampang diintervensi.
2.Penguatan Masyarakat Sipil
Demo besar-besaran waktu revisi UU KPK nunjukin kalau kesadaran masyarakat soal hak-hak mereka semakin meningkat. Ini modal penting buat terus menekan pemerintah supaya lebih transparan dan akuntabel.
3.Pendidikan Politik untuk Generasi Muda
Generasi muda perlu diajarin soal pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam politik. Pendidikan politik harus dimasukkan ke kurikulum biar anak-anak muda bisa jadi agen perubahan di masa depan.
4.Meningkatkan Etika Politik
Pejabat publik harus punya komitmen buat menjunjung prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Kalau etika politik terus diabaikan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bakal makin tergerus.
Kasus Yasonna Laoly nunjukin kalau hubungan antara politik, hukum, dan demokrasi di Indonesia masih jauh dari ideal. Tapi, ini juga jadi momen penting buat refleksi dan perubahan. Kalau kita bisa belajar dari kesalahan, demokrasi Indonesia masih punya harapan buat tumbuh lebih baik.
Perubahan ini nggak akan langsung terjadi dalam semalam. Tapi, selama rakyat dan pemimpin mau kerja sama, nggak ada yang nggak mungkin. Yang penting, kita tetap pegang teguh prinsip keadilan dan demokrasi.
Akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia ada di tangan kita semua. Tantangannya besar, tapi peluang untuk perbaikan juga selalu ada. Dengan kerja keras dan komitmen, kita bisa berharap suatu hari nanti politik, hukum, dan demokrasi di Indonesia bisa berjalan bareng tanpa saling menjatuhkan. Semuanya demi menciptakan Indonesia yang lebih adil dan demokratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H