Mohon tunggu...
162_AYU ZALFITRI
162_AYU ZALFITRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - kepala bidang sosial ekonomi himpunan mahasiswa perikanan

musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

PNBP Pasca-produksi: Efektif atau Kontradiktif?

30 November 2023   17:07 Diperbarui: 30 November 2023   17:15 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditetapkannya Permen KP No. 2 Tahun 2023 pada bulan Januari tahun 2023 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengenaan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang Berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam Perikanan, memiliki kesesuai dengan prinsip ekonomi biru (blue economy) yang bertujuan agar sumber daya ikan dan ekosistem laut terkelola secara berkelanjutan. 

Berdasarkan peraturan perundang-undangan PNBP, pungutan hasil perikanan pasca-produksi harus dibayar ke kas negara. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi sampai dengan jatuh tempo, maka akan dikenakan denda administrasi. 

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa urgensi perubahan PNBP yang semulanya dari pra-produksi menjadi ke pasca-produksi untuk mencegah terjadinya over fishing.

Dengan mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pemilik kapal, KKP menetapkan PNBP pasca-produksi. Pungutan hasil penangkapan ikan (PHP) sekarang dibayar berdasarkan volume produksi ikan nyata setelah pelaku usaha melakukan usaha penangkapan ikan. 

Dalam mekanisme sebelumnya, PNBP Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dipungut secara pra-produksi, yaitu membayar PHP sebelum memulai usaha penangkapan ikan untuk tahun berikutnya. Setelah ditetapkannya Permen KP 85/2021, telah terjadi perubahan mekanisme pungutan. Dalam mekanisme pasca-produksi, penarikan PNBP disesuaikan dengan volume ikan yang diberikan, dengan bonus pengurusan surat izin penangkapan ikan (SIPI) tanpa dikenakan biaya. Selain itu, Kapal dengan kapasitas lebih dari 60 gross ton (GT) harus membayar biaya pungutan pascaproduksi 10% Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 

Dilansir dari Jaring.id, koordinator FNB atau yang biasa dikenal dengan Front Nelayan Bersatu Kajidin, menyatakan bahwa akan memberikan penolakan terhadap kebijakan dari PIT. Kejadian ini dimulai dari kedatangan KKP secara langsung yang meminta klarifikasi mengenai pembayaran PNBP pasca-produksi kepada pemilik kapal dengan gertakan bahwa akses izin kapal akan dicoret. 

Hal ini menjadikan Eko, Koordinator Paguyuban Nelayan Mitra Sejahtera menjadi naik pitam dengan sikap dari KKP yang seolah-olah memaksa para nelayan memberikan dukungan secara penuh terhadap sistem kuota penangkapan ikan.

"Kami terancam tidak dapat kuota, kuota nanti akan diisi pemain baru. Siapakah pemain baru? Apakah pemain asing?" Kata Eko 

Perspektif mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan sebagai agen of change dalam sustainable development, menerapkan PNBP pasca-produksi memberikan beberapa praduga pro dan kontra. Penerapan PNBP dinilai pro dikarenakan dapat mendukung program penangkapan ikan terukur yang masuk pada SDGs ke-14 "Live Below Water" dengan misi utama untuk melestarikan serta memanfaatkan sumber daya laut secara sustainability atau berkelanjutan.

Program Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota merupakan salah satu upaya dalam mendukung kelestarian ekosistem laut serta menjaga eksploitasi penangkapan ikan berlebih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun