Karena kasihan, akhirnya ibunya memutuskan untuk menitipkan ke rumah neneknya yang tinggal di desa lain sekaligus pindah sekolah. Ahmad tak punya pilihan.
Sebelum pergi, Ahmad meminta kepada ibunya mengantarkan ke rumah Abah Ibrahim untuk berpamitan sekaligus meminta maaf. Abah Ibrahim banyak menasehatinya, agar tidak pernah mengulangi perbuatannya, dan selalu berusaha untuk berbuat baik di mana pun ia berada. Ahmad menangis sambil mencium tangan Abah Ibrahim.
Ahmad sangat disayangi oleh neneknya karena ia cucu laki-laki satu-satunya, dari anak semata wayangnya yaitu ibunya Ahmad.
Di sekolah barunya, Ahmad tak punya banyak teman, ia tertutup dan suka menyendiri. Apalagi dengan kondisinya yang sekarang. Ahmad tak dapat berjalan normal, karena kakinya pincang. Ia menjadi minder dan mudah tersinggung. Ia sering terlibat perkelahian hanya karena kesalahpahaman.
Setelah neneknya meninggal, Ahmad memutuskan tidak akan kembali ke kampung halaman yang telah menggoreskan kisah pilu dalam hidupnya.
Ayah dan ibunya pun menyuruhnya merawat rumah dan kebun peninggalan neneknya.
Karena kurang perhatian dan tak ada pengawasan serta kurang kasih sayang, akhirnya Ahmad salah dalam bergaul. Dia lebih suka nongkrong-nongkrong di terminal pasar. Dia menjadi bosnya tukang parkir di terminal tersebut. Namun ia cukup bijaksana, semua anak buahnya diperlakukan dengan adil. Bahkan tak jarang, Ahmad mengalah demi anak buahnya.
Rumah peninggalan neneknya dijadikan markas untuk anak buahnya. Mereka bebas keluar masuk di rumah tersebut. Bahkan dia mengajak dua anak gelandangan yang tidak punya kerabat tinggal bersamanya. Mereka disekolahkan dan dibiayai kebutuhan hidupnya. Sebagai imbalannya mereka harus mengurus rumah dan menyiapkan kebutuhan Ahmad. Mereka berdua sangat hormat pada Ahmad.
Suatu hari, terjadi perkelahian di terminal pasar tersebut, antara tukang parkir dan pemilik mobil yang menyenggol mobil lain karena salah mundur. Ahmad berusaha melerai namun justru terlibat dalam perkelahian tersebut. Naas baginya, karena ketika Ahmad mendorong pemilik mobil, orang tersebut terjatuh, kepala bagian belakangnya membentur pagar pembatas taman dan meninggal.
Sebagai akibatnya Ahmad dipenjara 15 tahun penjara. Di tahanan dia menempati satu ruangan bersama dengan penjahat-penjahat yang rata-rata karena kasus-kasus pembunuhan dan pemerkosaan.
Awalnya Ahmad merasa ciut dan selalu menjadi bulan-bulanan penghuni sel tersebut. Ahmad dijuluki si Deglok, karena jalannya pincang. Mulanya dia tidak terima dan sakit hati, namun lama-lama dia dapat juga menyesuaikan.