"Anak-anak malam ini ngajinya libur, Abah akan mengadakan musyawarah dengan Bapak-Bapak kalian dan seluruh tokoh masyarakat di Kampung Berbah ini, untuk membahas persiapan Maulid Nabi, kalian boleh pulang atau menunggu Isya, tapi jangan mengganggu dan jangan bermain di kegelapan, paham?" kata Abah Ibrahim, guru mengaji sekaligus pemilik surau.
"Mengerti Bah, horeee..." sorak anak-anak berebut menyalami sang guru dan berlarian keluar.
Libur mengaji berarti kebebasan buat mereka. Bebas dari sabetan lidi bila tak lancar membaca ayat yang harus dihafalkan, bebas dari gebrakan di meja bila membacanya salah, dan bebas bermain tanpa dimarah orangtua mereka.
Sebagian anak menunggu Isya di halaman surau, sambil bermain tekongan, dingklek ongklak-angklek dan jenis permainan anak-anak desa lainnya. Kegembiraan terdengar dari celotehan mereka.
Dua anak tampak memilih pulang. Mereka adalah dua sahabat karib, Ahmad dan Zainudin. Kemana pun mereka selalu bersama, baik di madrasah tempat mereka menuntut ilmu maupun bermain sehari-harinya. Bisa dikatakan di mana ada Ahmad di situ ada Zainudin. Mereka berdua murid kesa-yangan Abah Ibrahim.
Ketika melewati kebun rambutan milik Abah Ibrahim, tampak buah-buah itu mulai memerah, walau di keremangan malam yang masih menyiratkan jingga di langit.
"Mad, lihat rambutan itu!"
"Iya..," kata Ahmad acuh.
"Ehh, lihat itu, pasti manis!" kata Udin sambil menyenggol Ahmad.
"Heem," Ahmad masih acuh, bahkan mempercepat langkahnya.
"Mad, tunggu dong!" Udin menarik tangan Ahmad, "Kamu ini kenapa, diajak ngomong kok acuh, sakit gigi ya?"