Rissa tertawa pelan. "Cerita tentang burung kakatua yang bisa nyanyi, terus cerita tentang Nenek yang suka main ke hutan waktu muda. Semua itu aku dengar berulang kali, tapi aku nggak pernah bosan, Nek."
Nenek terdiam sejenak, dan mengusapkan tanganku "Mungkin Nenek nggak bisa lagi cerita seperti dulu, tapi Nenek senang kamu ingat semua itu. Nenek rindu menghabiskan waktu denganmu, Rissa. Tapi, Nenek juga mengerti dengan kehidupanmu di kota. Kamu yang sudah besar sekarang pasti memiliki kesibukan sendiri. Cucuku yang cantik, kalau kamu membutuhkan, Nenek pasti ada."
Mata Rissa berkaca- kaca mendengarkan setiap kalimat yang Nenek ucapkan, hatinya terasa hangat di dadanya. Ia memegang tangan Nenek, "Nek.. aku minta maaf, ya Nek. Aku udah lama nggak datang. Segala kesibukanku nggak seharusnya bisa jadi alasan." kata Rissa, suaranya sedikit bergetar.
Nenek mengangguk, memandang cucunya dengan tatapan penuh pengertian. "Nenek tahu.. Asal Jangan sampai lupa ya. Rumah ini selalu ada untuk kamu. Kamu pun selalu ada di hati Nenek.”
Rissa menunduk, merasa berat di dadanya. Ia menyadari bahwa meskipun hidupnya berjalan begitu cepat, ada sesuatu yang tak bisa ia tinggalkan. hubungan ia dengan nenek yang begitu dalam, yang meskipun terputus oleh waktu, tapi tetap ada.
Setelah berbincang panjang lebar, Nenek mengajak Rissa ke halaman belakang, tempat yang dulu mereka sering habiskan waktu bersama. Di sana, pohon apel yang mereka tanam bersama dulu, masih berdiri tegak. Walau beberapa cabangnya mulai rapuh.
"Aku ingat, Nek. Kita dulu sering duduk di bawah pohon ini, makan buah Apel yang baru dipetik," ucap Rissa.
Nenek tertawa kecil. "Iya, Apelnya selalu manis. Tapi lebih manis lagi kalau kita bisa duduk bersama dan bercerita."
Rissa merasa hatinya terpulihkan kembali. Ia menggali kembali kenangan indah bersama nenek, yang sempat tertutup oleh kesibukannya. Perlahan, hubungan yang renggang itu mulai tersambung kembali, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan perasaan yang tulus.
Saat matahari mulai terbenam, Rissa merasa bahwa meskipun waktu telah berjalan begitu cepat, rumah Nenek tetap menjadi tempat yang tak tergantikan. Di sana, di bawah pohon apel, di kursi rotan milik Nenek, dan dalam setiap cerita nenek, ada ikatan yang tak pernah pudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H