Mohon tunggu...
Daniella Eunike T.
Daniella Eunike T. Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - .

.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kehangatan yang Kembali

25 November 2024   21:27 Diperbarui: 25 November 2024   21:41 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rissa menarik napas panjang saat mobilnya berhenti di depan rumah Nenek. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di halaman rumah masa kecilnya dulu. Rumah itu tampak sejuk, namun memiliki halaman yang tampak sepi. Di sana, di dalam rumah itu, Nenek selalu menunggu kembali kedatangan Rissa yang dijanjikan dengan sabar.

"Kenapa aku lama banget nggak ke sini, ya?" pikir Rissa dalam hati. Ada rasa cemas dan canggung. Ia merasa bersalah sudah berjanji untuk menemui Nenek dari jauh hari, tapi selalu tertunda- tunda.

Rissa melangkah ke pintu, dan sebelum sempat mengetuk, pintu itu terbuka perlahan. Di baliknya, Nenek berdiri dengan senyum lembut yang tak pernah berubah meski usianya semakin tua. Matanya yang penuh kasih langsung menghadap Rissa, membuatnya merasa seolah baru saja kembali ke pelukan yang penuh kehangatan.

"Nek," ucap Rissa pelan, hampir terharu melihat Nenek yang masih begitu tegar.

"Cucu cantikku, kamu datang akhirnya.." kata nenek, suaranya lembut namun penuh kehangatan. "Nenek sudah lama menunggu."

Rissa merasa bersalah. Terakhir kali ia datang ke sini, rasanya seperti dunia telah berubah begitu cepat, dia terlalu sibuk dengan kehidupannya sendiri. Namun kini, di depan Nenek yang semakin menua, ia merasa perlu untuk memperbaiki jarak yang sudah terlalu lama terbentuk antara mereka.

Setelah berpelukan, mereka duduk bersama di ruang tamu, tempat yang selalu dihiasi dengan foto-foto keluarga di dinding. Nenek menyiapkan segelas teh manis, sama seperti dulu saat Rissa kecil. Rissa memandang sekeliling, dan tiba-tiba saja, kenangan masa kecilnya mulai membanjiri pikirannya.

Ia ingat bagaimana dulu ia sering bermain di halaman rumah Nenek, berlari-lari mengejar kupu-kupu, atau membantu Nenek menyiram tanaman bunga yang selalu mekar di musim semi. Di sudut ruang tamu, ada kursi rotan tua yang dulu menjadi tempat Nenek duduk sambil bercerita tentang masa kecilnya.

"Rissa, kamu ingat nggak waktu kecil dulu, kita sering duduk di sini?" tanya Nenek, seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Rissa.

Rissa menatap kursi rotan itu, lalu mengangguk. "Iya, Nek. Aku selalu duduk di sebelah Nenek, sambil diceritain cerita-cerita lucu Nenek."

Nenek tersenyum, matanya berbinar. "Waktu itu nenek cerita apa ya? Nenek lupa."

Rissa tertawa pelan. "Cerita tentang burung kakatua yang bisa nyanyi, terus cerita tentang Nenek yang suka main ke hutan waktu muda. Semua itu aku dengar berulang kali, tapi aku nggak pernah bosan, Nek."

Nenek terdiam sejenak, dan mengusapkan tanganku "Mungkin Nenek nggak bisa lagi cerita seperti dulu, tapi Nenek senang kamu ingat semua itu. Nenek rindu menghabiskan waktu denganmu, Rissa. Tapi, Nenek juga mengerti dengan kehidupanmu di kota. Kamu yang sudah besar sekarang pasti memiliki kesibukan sendiri. Cucuku yang cantik, kalau kamu membutuhkan, Nenek pasti ada."

Mata Rissa berkaca- kaca mendengarkan setiap kalimat yang Nenek ucapkan, hatinya terasa hangat di dadanya. Ia memegang tangan Nenek, "Nek.. aku minta maaf, ya Nek. Aku udah lama nggak datang. Segala kesibukanku nggak seharusnya bisa jadi alasan." kata Rissa, suaranya sedikit bergetar.

Nenek mengangguk, memandang cucunya dengan tatapan penuh pengertian. "Nenek tahu.. Asal Jangan sampai lupa ya. Rumah ini selalu ada untuk kamu. Kamu pun selalu ada di hati Nenek.”

Rissa menunduk, merasa berat di dadanya. Ia menyadari bahwa meskipun hidupnya berjalan begitu cepat, ada sesuatu yang tak bisa ia tinggalkan. hubungan ia dengan nenek yang begitu dalam, yang meskipun terputus oleh waktu, tapi tetap ada.

Setelah berbincang panjang lebar, Nenek mengajak Rissa ke halaman belakang, tempat yang dulu mereka sering habiskan waktu bersama. Di sana, pohon apel yang mereka tanam bersama dulu, masih berdiri tegak. Walau beberapa cabangnya mulai rapuh. 

"Aku ingat, Nek. Kita dulu sering duduk di bawah pohon ini, makan buah Apel yang baru dipetik," ucap Rissa.

Nenek tertawa kecil. "Iya, Apelnya selalu manis. Tapi lebih manis lagi kalau kita bisa duduk bersama dan bercerita." 

Rissa merasa hatinya terpulihkan kembali. Ia menggali kembali kenangan indah bersama nenek, yang sempat tertutup oleh kesibukannya. Perlahan, hubungan yang renggang itu mulai tersambung kembali, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan perasaan yang tulus.

Saat matahari mulai terbenam, Rissa merasa bahwa meskipun waktu telah berjalan begitu cepat, rumah Nenek tetap menjadi tempat yang tak tergantikan. Di sana, di bawah pohon apel, di kursi rotan milik Nenek, dan dalam setiap cerita nenek, ada ikatan yang tak pernah pudar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun