Mohon tunggu...
12fakhriabbiemardzakwan
12fakhriabbiemardzakwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya pria yang suka apa saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenaikan PPN 12% Apakah Ini Solusi

1 Januari 2025   19:07 Diperbarui: 1 Januari 2025   19:07 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Fakhri Abbie

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), menjadi salah satu kebijakan yang cukup kontroversial. Pemerintah menyatakan bahwa langkah ini adalah upaya memperkuat penerimaan negara untuk menekan defisit anggaran dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun, di sisi lain, masyarakat dan pelaku usaha mempertanyakan apakah kebijakan ini lebih banyak memberikan manfaat atau justru menimbulkan masalah baru. 

Apa yang Pemerintah Harapkan?

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, tarif PPN di Indonesia yang naik menjadi 12% masih berada di bawah rata-rata global yang mencapai 15%. Pemerintah berharap kebijakan ini mampu meningkatkan penerimaan negara untuk pembiayaan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan tanpa terlalu membebani masyarakat. Selain itu, PPN dianggap sebagai pajak yang lebih stabil dibandingkan pajak penghasilan, karena berbasis konsumsi. 

Namun, apakah benar kebijakan ini tidak membebani masyarakat? 

Dampak terhadap Perekonomian Makro

Menurut laporan LPEM FEB UI setiap kenaikan 1% tarif PPN bisa menambah miliaran rupiah penerimaan negara. Uang ini akan digunakan untuk mengurangi defisit anggaran dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, kenaikan tarif ini juga berpotensi mendorong inflasi. Harga barang dan jasa diperkirakan akan naik sebesar 2--3%, bahkan di beberapa sektor seperti otomotif, kenaikannya bisa mencapai 5%. Jika ini terjadi, daya beli masyarakat bisa melemah. Kondisi ini berbahaya, mengingat pada kuartal III-2024 pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91%, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya menurut (Rachman, 2024).

Bisnis Kecil dan UMKM dalam Tekanan

Bagi pelaku usaha, kenaikan PPN akan menambah beban operasional. Bagi pelaku usaha, terutama UMKM, menghadapi pilihan sulit. Apakah harus memilih antara menaikkan harga produk yang bisa mengurangi daya saing atau menyerap kenaikan biaya? Menaikkan harga bisa mengurangi daya saing produk mereka, sementara menyerap biaya tambahan bisa menggerus keuntungan. UMKM, yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, berisiko menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kelangsungan bisnis mereka. 

Sektor perhotelan dan restoran juga diprediksi terkena dampak besar. Dengan daya beli yang menurun, bisnis mereka akan sulit berkembang, bahkan berpotensi mengalami kerugian besar. Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) menyebut bahwa kebijakan ini bisa memicu pemutusan hubungan kerja jika tidak disertai langkah mitigasi.

Solusi atau Masalah Baru? 

Kebijakan ini berisiko menjadi bumerang bagi perekonomian, terutama karena sifatnya yang langsung menyentuh konsumsi masyarakat. Kenaikan PPN juga memiliki sifat regresif, yang berarti bebannya lebih berat dirasakan oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan kelompok kaya. Masyarakat dengan penghasilan rendah menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, listrik, dan transportasi. Dengan kenaikan harga barang dan jasa akibat kenaikan PPN, daya beli mereka semakin tergerus. Tidak hanya itu, masalah ini bisa menimbulkan efek domino, seperti penurunan kualitas hidup, meningkatnya angka kekurangan gizi, hingga akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang semakin sulit dijangkau. 

Pada sektor industri, seperti otomotif dan manufaktur, dampak dari kenaikan ini juga tak kalah signifikan. Biaya produksi yang meningkat sebesar 3--5% diproyeksikan akan diteruskan ke harga jual produk. Hal ini membuat produk lokal menjadi semakin sulit bersaing, baik di pasar domestik maupun internasional. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menurunkan investasi di sektor manufaktur, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi. 

Selain itu, ada risiko lain yang jarang dibahas, yaitu meningkatnya praktik penghindaran pajak. Ketika tarif pajak dinaikkan, ada potensi bagi beberapa pelaku usaha untuk mencari cara agar tidak membayar pajak sesuai kewajibannya. Praktik seperti tidak melaporkan transaksi, memalsukan laporan keuangan, atau bahkan mengalihkan transaksi ke jalur informal dapat meningkat. Hal ini tidak hanya merugikan negara dari sisi penerimaan pajak, tetapi juga menciptakan ketidakadilan di pasar, di mana pelaku usaha yang patuh pada aturan justru merasa dirugikan. 

Langkah yang Harus Ditempuh

Melihat semua tantangan ini, langkah mitigasi dari pemerintah menjadi sangat penting. Subsidi untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, bahan bakar, dan listrik, harus diprioritaskan untuk melindungi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan penerapan tarif PPN yang berbeda untuk sektor atau barang tertentu. Barang-barang kebutuhan dasar dapat dikenakan tarif pajak lebih rendah atau bahkan dibebaskan dari PPN, sementara barang-barang mewah tetap dikenakan tarif tinggi. 

Tidak kalah penting adalah transparansi dalam penggunaan hasil pajak ini. Jika masyarakat dapat melihat bahwa pendapatan tambahan dari kenaikan PPN benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan publik, seperti membangun rumah sakit, memperbaiki sekolah, atau memberikan subsidi kesehatan, maka resistensi terhadap kebijakan ini bisa diminimalisir. Tanpa transparansi, kebijakan ini hanya akan dianggap sebagai beban baru bagi masyarakat. 

Dengan mempertimbangkan dampak-dampak tersebut, kenaikan PPN menjadi 12% bisa menjadi solusi jangka panjang untuk memperbaiki struktur fiskal negara. Namun, jika langkah mitigasi tidak diterapkan dengan tepat, kebijakan ini justru berisiko menjadi masalah baru yang memperburuk kondisi ekonomi dan sosial. Karena itu, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola dampaknya dan melibatkan semua pihak dalam proses pengambilan keputusan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun