Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), menjadi salah satu kebijakan yang cukup kontroversial. Pemerintah menyatakan bahwa langkah ini adalah upaya memperkuat penerimaan negara untuk menekan defisit anggaran dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun, di sisi lain, masyarakat dan pelaku usaha mempertanyakan apakah kebijakan ini lebih banyak memberikan manfaat atau justru menimbulkan masalah baru.Â
Apa yang Pemerintah Harapkan?
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, tarif PPN di Indonesia yang naik menjadi 12% masih berada di bawah rata-rata global yang mencapai 15%. Pemerintah berharap kebijakan ini mampu meningkatkan penerimaan negara untuk pembiayaan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan tanpa terlalu membebani masyarakat. Selain itu, PPN dianggap sebagai pajak yang lebih stabil dibandingkan pajak penghasilan, karena berbasis konsumsi.Â
Namun, apakah benar kebijakan ini tidak membebani masyarakat?Â
Dampak terhadap Perekonomian Makro
Menurut laporan LPEM FEB UI setiap kenaikan 1% tarif PPN bisa menambah miliaran rupiah penerimaan negara. Uang ini akan digunakan untuk mengurangi defisit anggaran dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, kenaikan tarif ini juga berpotensi mendorong inflasi. Harga barang dan jasa diperkirakan akan naik sebesar 2--3%, bahkan di beberapa sektor seperti otomotif, kenaikannya bisa mencapai 5%. Jika ini terjadi, daya beli masyarakat bisa melemah. Kondisi ini berbahaya, mengingat pada kuartal III-2024 pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91%, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya menurut (Rachman, 2024).
Bisnis Kecil dan UMKM dalam Tekanan
Bagi pelaku usaha, kenaikan PPN akan menambah beban operasional. Bagi pelaku usaha, terutama UMKM, menghadapi pilihan sulit. Apakah harus memilih antara menaikkan harga produk yang bisa mengurangi daya saing atau menyerap kenaikan biaya? Menaikkan harga bisa mengurangi daya saing produk mereka, sementara menyerap biaya tambahan bisa menggerus keuntungan. UMKM, yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, berisiko menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kelangsungan bisnis mereka.Â
Sektor perhotelan dan restoran juga diprediksi terkena dampak besar. Dengan daya beli yang menurun, bisnis mereka akan sulit berkembang, bahkan berpotensi mengalami kerugian besar. Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) menyebut bahwa kebijakan ini bisa memicu pemutusan hubungan kerja jika tidak disertai langkah mitigasi.
Solusi atau Masalah Baru?Â
Kebijakan ini berisiko menjadi bumerang bagi perekonomian, terutama karena sifatnya yang langsung menyentuh konsumsi masyarakat. Kenaikan PPN juga memiliki sifat regresif, yang berarti bebannya lebih berat dirasakan oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan kelompok kaya. Masyarakat dengan penghasilan rendah menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, listrik, dan transportasi. Dengan kenaikan harga barang dan jasa akibat kenaikan PPN, daya beli mereka semakin tergerus. Tidak hanya itu, masalah ini bisa menimbulkan efek domino, seperti penurunan kualitas hidup, meningkatnya angka kekurangan gizi, hingga akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang semakin sulit dijangkau.Â