Mohon tunggu...
Kadek Indah Ari Artini
Kadek Indah Ari Artini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa, program studi Ilmu Hukum

hallo saya Indah Ari

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Banten: Simbol Harmoni Antara Manusia dan Alam Dalam Tradisi Umat Hindu

10 Juli 2024   08:25 Diperbarui: 10 Juli 2024   08:29 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Pribadi (Di poto pada saat ada upacara di pura)

BANTEN: SIMBOL HARMONI ANTARA MANUSIA DAN ALAM DALAM TRADISI UMAH HINDU

Oleh : Kadek Indah Ari Artini/2314101017

            Banten, dalam agama Hindu khususnya di Bali, merupakan persembahan yang memiliki makna dan fungsi yang sangat penting dalam praktik keagamaan. Kata "banten" sendiri berasal dari kata "bantena" yang berarti "persembahan" atau "hadiah". Banten adalah suatu bentuk ritual yang berfungsi sebagai sarana komunikasi antara manusia dan dewa-dewi, leluhur, serta roh-roh alam. 

Melalui banten, umat Hindu mengekspresikan rasa syukur, doa, permohonan, dan pengabdian mereka kepada kekuatan ilahi. Banten dibuat dengan penuh perhatian dan keterampilan, menggunakan berbagai bahan alami seperti bunga, daun, buah-buahan, beras, dan kadang-kadang disertai dengan makanan atau minuman tertentu. Setiap elemen dalam banten memiliki makna simbolis yang dalam, mewakili berbagai aspek kehidupan dan alam semesta.

            Simbolisme dalam banten mencerminkan hubungan yang erat antara manusia, alam, dan Tuhan dalam tradisi Hindu Bali. Setiap elemen dalam banten dipilih dengan cermat dan memiliki makna spiritual yang mendalam, mencerminkan berbagai aspek kehidupan dan alam semesta. 

Melalui banten, umat Hindu mengekspresikan rasa syukur, doa, dan pengabdian mereka, serta menjaga harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan mereka. Banten bukan hanya sebuah persembahan, tetapi juga sebuah sarana komunikasi dan penghubung antara manusia dan Tuhan. 

Banten, dalam tradisi Hindu Bali, adalah persembahan yang sarat dengan simbolisme mendalam, mewakili berbagai aspek kehidupan dan spiritualitas. Setiap elemen dalam banten dipilih dengan cermat dan memiliki makna khusus. Bunga, misalnya, melambangkan keindahan, kesucian, dan ketulusan hati, serta digunakan untuk menyampaikan rasa hormat dan pengabdian kepada dewa-dewi. 

Daun janur, terutama dari kelapa muda, melambangkan kesucian dan niat yang tulus, sering digunakan untuk menghias banten dan mencerminkan kesuburan serta kehidupan yang berkelanjutan. Buah-buahan, nasi, dan beras melambangkan hasil bumi, kemakmuran, dan kelangsungan hidup, menunjukkan rasa syukur atas berkah Tuhan dan harapan untuk rezeki yang terus berlanjut. 

Dupa, dengan asap yang naik ke atas, melambangkan doa dan permohonan yang mencapai surga, serta berfungsi sebagai pembersih dan penyuci. Kue tradisional dalam banten melambangkan keceriaan dan kebahagiaan, sedangkan air suci atau tirtha digunakan untuk memercikkan banten dan umat sebagai simbol penyucian dari dosa dan kotoran batin. 

Telur melambangkan potensi kehidupan dan kesuburan, sementara uang dalam banten mencerminkan hasil kerja keras dan ungkapan syukur atas rezeki yang diterima. Kain kuning dan putih, yang sering digunakan untuk membungkus atau menghias banten, melambangkan kebijaksanaan dan kesucian, memberikan perlindungan dan makna spiritual tambahan. 

Melalui simbolisme yang kaya ini, banten tidak hanya berfungsi sebagai persembahan ritual tetapi juga sebagai sarana komunikasi dan penghubung antara manusia dengan kekuatan ilahi, menjaga harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari.

            Ritual pembuatan dan penyajian banten bukan hanya sekadar tindakan formal, tetapi juga merupakan bentuk seni yang mencerminkan keindahan dan keteraturan kosmos. Banten disusun dengan harmoni dan keseimbangan, mencerminkan prinsip Tri Hita Karana yang menekankan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam. 

Dalam konteks ini, banten tidak hanya berfungsi sebagai alat pemujaan, tetapi juga sebagai medium untuk menjaga keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, banten memiliki dimensi edukatif dan sosial. Pembuatan banten sering melibatkan seluruh anggota keluarga atau komunitas, yang memperkuat ikatan sosial dan mengajarkan nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, dan penghormatan terhadap tradisi. 

Melalui banten, generasi muda belajar tentang pentingnya tradisi, spiritualitas, dan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh leluhur mereka. Banten juga mengajarkan tentang siklus kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali, yang merupakan konsep sentral dalam agama Hindu. 

Dalam upacara keagamaan, banten disajikan pada berbagai kesempatan, mulai dari upacara harian di rumah hingga perayaan besar seperti Galungan, Kuningan, dan Nyepi. Setiap upacara memiliki jenis dan bentuk banten yang berbeda, disesuaikan dengan tujuan dan makna dari upacara tersebut.

Misalnya, banten yang disajikan pada upacara Galungan lebih kompleks dan melibatkan lebih banyak elemen, sebagai simbol dari kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan). Secara keseluruhan, banten merupakan manifestasi dari hubungan yang harmonis dan penuh makna antara manusia, alam, dan Tuhan dalam tradisi Hindu Bali. 

Banten bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga sebuah ekspresi dari keyakinan, seni, dan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Melalui banten, umat Hindu Bali menjaga dan melestarikan nilai-nilai spiritual dan moral, serta memastikan keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan mereka.

            Makna banten dalam upacara keagamaan masyarakat Hindu sangatlah mendalam dan integral. Banten, sebagai persembahan suci, berfungsi sebagai media komunikasi antara manusia dengan dewa-dewi, leluhur, dan roh-roh alam. Dalam setiap upacara, banten mencerminkan rasa syukur, doa, permohonan, dan pengabdian umat kepada kekuatan ilahi. Banten juga melambangkan harmoni dan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan, yang merupakan inti dari ajaran Hindu.

Setiap elemen dalam banten---seperti bunga, buah, nasi, dan dupa---memiliki simbolisme khusus yang mencerminkan berbagai aspek kehidupan dan spiritualitas, serta menggambarkan hubungan manusia dengan alam semesta. Selain itu, banten berfungsi sebagai sarana untuk menyucikan diri dan lingkungan, menjaga keseimbangan energi positif dan negatif. 

Melalui banten, umat Hindu tidak hanya memenuhi kewajiban spiritual mereka tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan tradisi budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Upacara yang diiringi dengan banten, seperti Galungan, Kuningan, dan Nyepi, menekankan pentingnya harmoni, kedamaian, dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. 

Dengan demikian, banten bukan sekadar persembahan fisik, tetapi juga simbol spiritual yang mendalam, mencerminkan keyakinan, budaya, dan nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakat Hindu. Salah satu contoh upacara Hindu yang memerlukan banten dengan prosesi yang panjang adalah upacara Galungan di Bali. 

Galungan merupakan salah satu hari raya paling penting dalam kalender Hindu Bali yang dirayakan setiap 210 hari sekali. Upacara ini menandai kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan) dan juga peringatan atas kedatangan leluhur yang telah meninggal kembali ke bumi. 

Persiapan untuk Galungan dimulai jauh sebelum hari H, dengan persiapan banten yang disiapkan dengan penuh kehati-hatian dan kecermatan. Pada pagi hari Galungan, keluarga Hindu Bali mempersiapkan banten yang terdiri dari berbagai jenis persembahan seperti buah-buahan, bunga, nasi kuning, jajanan tradisional, dan dupa. 

Banten-banten ini disusun dengan rapi dan diletakkan di tempat-tempat suci di rumah atau di pura (kuil). Setiap banten memiliki makna simbolis yang mendalam, mencerminkan rasa syukur, permohonan doa, dan penghormatan kepada leluhur serta dewa-dewi yang dipuja.

Prosesi penyembahan dimulai dengan membawa banten dari rumah ke pura atau tempat peribadatan lainnya. Di pura, upacara pemujaan dilakukan oleh pendeta atau pemangku adat, dengan mantra-mantra suci dan prosesi yang diikuti dengan khidmat oleh para hadirin. 

Selama upacara, banten dihaturkan sebagai tanda pengabdian kepada Tuhan dan leluhur, serta sebagai sarana untuk memohon berkah, keselamatan, dan kelancaran hidup bagi seluruh umat Hindu Bali. Galungan juga diikuti oleh Kuningan, yang merupakan penutup dari rangkaian upacara ini. 

Pada Kuningan, banten kembali disiapkan untuk dipersembahkan sebagai ungkapan terima kasih atas berkah yang telah diterima dan permohonan agar berkah tersebut tetap terjaga. Upacara Galungan dan Kuningan tidak hanya menjadi momen keagamaan, tetapi juga menjadi ajang untuk mempererat ikatan keluarga, komunitas, dan memupuk nilai-nilai kehidupan yang luhur dalam masyarakat Hindu Bali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun