Mohon tunggu...
Politik

Dua Sisi Koin KPK

28 Mei 2017   00:22 Diperbarui: 28 Mei 2017   01:18 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“DUA SISI KOIN KPK”

 

Dewasa ini beredar anggapan yang sering kali didengar, bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya. Banyak fakta-fakta yang disajikan oleh media baik dari elektronik maupun cetak walaupun tidak secara eksplisit mendukung anggapan ini. jika ditelusuri sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia sebenarnya korupsi mempunyai tempat tersendiri dalam kerangka sejarah Indonesia, dimulai dari zaman penjajahan yang mana materi sejarah perkembangan Indonesia menjadi bahan yang disajikan sebagai mata pelajaran bagiu setiap siswa sekolah dasar, menengah hingga atas. Tentunya sejarah perkembangan korupsi tidak akan dapat ditemui di setiap buku-buku pelajaran itu, berbeda halnya jika para Guru yang memberikan sedikit materi yang kemudian sering menjadi bahan diskusi antar Guru dan murid, hal ini pun biasanya banyak terjadi pada tingkat sekolah menengah. Sehingga para pemuda yang lahir dari generasi demikian ini mendapatkan informasi dari berbagai media lain selain yang bisa didapatkan selama menempuh pendidikan.

 

Zaman kolonialisme Belanda yang sangat lama di Indonesia yang diwadahi oleh VOC yang mengeruk segala kekayaan di Indonesia diwarnai dengan korupsi di tubuh VOC itu sendiri, faktor utama yang menyebabkan VOC itu bangkrut. Setelah itu bangsa Indonesia berusaha keras merebut kemerdekaan dari Belanda agar dapat menjadi bangsa yang merdeka dan dapat berdiri sendiri. Setelah kemerdekaan Indonesia, korupsi masih terjadi yang pada saat itu Negara Indonesia diperintah oleh pemerintahan Soekarno yang dikenal dengan Orde lama. Praktek korupsi di Indonesia menjadi perhatian besar pada masa pemerintahan Soeharto sebagai Presiden, yang tidak bisa dipungkiri menyajikan banyak sekali bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sampailah pada masa sekarang ini, setelah digodok cukup lama sekarang Indonesia mempunyai sebuah lembaga yang bertugas menangani pemberantasan korupsi di Indonesia yaitu KPK.

 

KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi berdiri independen, dan tidak dapat di intervensi pihak manapun. Alasan dibentuknya KPK adalah karena POLRI dan Kejaksaan tidak dapat bekerja secara efektif dan efisien terkhusus dalam masalah pemberantasan korupsi. Banyak sekali kasus-kasus korupsi yang sudah ditangani oleh KPK, yang dihiasi dengan berbagai intrik politikdan hukum  tingkat tinggi bak drama atau serial televise bahkan film-film Holllywood dari Amerika. Mulai dari kepemimpinan Taufiqurrrahman Ruki, Antasari Azhar, Abraham Samad, kemudian diisi kembali oleh Taufiqurrahman Ruki kemudian diduduki oleh Agus Rahardjo sampai dengan hari ini. Intrik-intrik politik dan hukum tingkat tinggi yang terjadi dalam kisah perjalanan KPK masih membekas dalam benak masyarakat Indonesia, sebut saja saat Antasari Azhar membuka perseteruan terbuka dengan istana setelah menetapkan besan Presiden Indonesia kala itu Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tersangka, berikutnya wakil ketua KPK Chandra dan Bibit ditahan tak lama setelah Presiden SBY bertemu dengan petinggi POLRI dalam acara buka puasa bersama, September 2009 (berkaitan dengan perseteruan ini dalam memori masyarakat luas lebih dikenal dengan “cicak vs buaya” dari ucapan Kabareskrim saat itu Susno Duadji, sampai dengan kriminalisasi Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, kemudian akhir-akhir ini kembali dengan berita lain yang tak kalah heboh yaitu penyiraman air keras terhadap salah satu pentidik KPK Novel Baswedan.  

 

Dengan berbagai macam intrik yang menyudutkan KPK jika tak bisa dibilang mendzolimi KPK sehingga KPK memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat, tak dapat dipungkiri menjadikan KPK sebagai lembaga harapan bangsa, lembaga yang dianggap paling suci dari semua lembaga, bahkan Mahkamah Konstitusi sekalipun yang merupakan lembaga tempat berperkaranya para pihak yang menguji Undang-Undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebuah perangkat peraturan tertinggi dalam hierarrki peraturan perundang-undangan di Indonesia. 

 

Penangkapan Akil Mochtar dengan kapasitasnya sebagai seorang Ketua Mahkamah Konstitusi menampar keras sekaligus menodai Lembaga peradilan di Indonesia disamping juga semakin meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Hal ini menjadikan posisi KPK semakin kuat sebagai satu-satunya lembaga yang dipercaya oleh masyarakat, ditambah lagi dengan fenomena “penyerangan” terhadap KPK yang di blow up luar biasa besar oleh media dan terus menjadi topik perbincangan hangat oleh masyarakat. Kasus Antasari Azhar, Bibit-Chandra, kriminalisasi Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dan belum lama ini penyiraman air keras terhadap Penyidik senior KPK Novel Baswedan. Peristiwa-peristiwa ini semakin mengukuhkan KPK sebagai Last Man Standing lembaga yang dapat dipercaya masyarakat Indonesia. Namun apakah hal ini benar? Apakah hal ini absolut sehingga tidak dapat dibantah sedikitpun?. 

 

Dogma-dogma yang berkembang dalam masyarakat ini sebenarnya menjadi landasan agar memunculkan setiap pribadi-pribadi kritis yang bisa memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang konstruktif, bukan hanya sekedar menerima mentah-mentah anggapan ini. 15 tahun KPK hadir di Republik ini, jujur saja tidak ada perubahan yang siginifikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Seorang Margarito Kamis bahkan mengatakan sejarah korupsi di Indonesia ini adalah sejarah pilih-pilih, yang menjadi sasaran adalah para sosok-sosok pribadi berdasi, berstelan mahal, dan parfum semerbak. Padahal kasus-kasus korupsi sangat banyak yang terjadi pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, mulai dari Provinsi, Kabupaten/kota sampai ke tingkat desa-desa. Pendapat Margarito Kamis tentu tidak bisa diterima mentah-mentah, hal ini bisa saja ditampik dengan peraturan dimana KPK hanya memegang kasus yang minimal menimbulkan kerugian Negara sebesar satu miliar rupiah. Tapi sebenarnya ada hal penting dibalik pendapat beliau, fenomena pemberantasan korupsi di Indonesia sudah berpindah haluan, yang terjadi sekarang ini bukanlah pemberantasan korupsi tapi memenjarakan para koruptor. 

 

Hal ini tentu jika tidak ditelaah secara seksama akan menimbulkan tafsiran yang kurang lebih mengatakan “bukankah pemberantasan korupsi dan memenjarakan para koruptor sama saja? Toh yang melakukan korupsilah yang dinamakan koruptor”. Pemberantasan korupsi dan memenjarakan koruptor jelas dua hal yang berbeda jauh baik dari segi terminologi maupun ranah nya, yang dimaksud pemberantasan adalah menghilangkan sesuatu itu sampai ke akar-akarnya, sehingga peluang sesuatu itu muncul kembali otomatis sangat kecil kalau tidak bisa dibilang hilang sama sekali. Memenjarakan koruptor hanyalah sekedar proses hukum untuk menegakkan hukum di Indonesia disamping tentunya membuat jera pelaku korupsi. Namun apakah pelaku korupsi itu jera atau dapat menebar rasa takut kepada calon pelaku korupsi lainnya hal ini tentu masih sangat layak dan pantas untuk dipertanyakan.

 

Logika sederhananya KPK selalu sukses mengungkap kasus korupsi, kasus yang dipegang oleh KPK dapat dibilang mencetak rekor 100% sukses karena selalu dapat menjebloskan koruptor ke hotel prodeo, sebelum dipecahkan oleh kasus mantan calon Kapolri Budi Gunawan yang memenangkan Praperadilan. Tapi ibarat dua sisi koin, hal-hal luar biasa dapat pula dilihat pada sisi lain koin, jika koruptor yang ditangkap KPK semakin banyak dan kasus-kasus di KPK semakin menumpuk setiap harinya berarti korupsi yang terjadi di Negeri tercinta ini semakin merajalela bukan semakin menurun, tentu harus berpikir dua kali untuk sekedar bilang “diberantas”. Mungkin jika ada orang yang mengatakan semenjak ada KPK korupsi di Indonesia sudah hilang, orang tersebut jelas harus segera diperiksa kondisi nya, atau bahkan sedang mabuk kepayang sehingga tidak mampu berpikir jernih. Masyarakat sekarang dihipnotis dengan gebrakan KPK yang luar biasa dalam kasus-kasu korupsi, namun kembali kepada pernyataan awal. KPK bukanlah sebuah lembaga yang dibentuk untuk memenjarakan koruptor, KPK dibentuk untuk memberantas korupsi bukan hanya sekedar memenjarakan koruptor dan menurunkan tingkat korupsi di Indonesia. Sebagai lembaga adhoc KPK adalah lembaga yang bersifat sementara, dengan kata lain jika korupsi telah tiada KPK dapat dibubarkan. 

 

Kondisi sekarang ini menggambarkan bahwa hampir mustahil korupsi itu menghilang terlebih lagi di Indonesia yang sudah berkembang slogan korupsi sudah menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia. Hal ini tentu saja tidak dapat dipungkiri, sejarah korupsi di blantika sejarah perkembangan Indonesia hingga kini mendukung bahwa korupsi hampir mustahil dihilangkan dari bumi pertiwi. Namun, setidak-tidaknya, semiminal mungkin ada target yang harus dibuat, bukan sekedar menjalankan saja apa yang sudah terjadi dan meyakini sebagai hal yang benar. Target itu menjadikan setiap elemen penegak hukum berpacu dengan waktu dan hal ini otomatis akan menjadikan para penegak hukum mendapatkan nama baik dan ritme nya kembali, kenapa penegak hukum? Bukan KPK? Maksudnya adalah bagaimanapun Indonesia masih memiliki POLRI dan Kejaksaan yang sudah terlanjur di cap buruk oleh mayarakat begitupun dengan peradilannya yang sering dikatakan oleh Prof.J.E.Sahetapy sebagai peradilan sesat. KPK harus mampu menjalin benang koordinasi yang baik dengan elemen penegak hukum yang lain dalam upaya pemberantasan korupsi. 

 

Mengapa target ini penting? Disamping memacu semangat dan kerja para penegak hukum juga untuk meminimalkan pengeluaran anggaran. Hal ini cukup essensial, sepanjang tahun 2016 KPK telah menagani 96 penyelidikan, 99 penyidikan, dan 77 penuntutan perkara serta mampu menyelematkan 497,6 miliar rupiah dalam medio itu namun anggaran yang dikeluarkan untuk KPK adalah 991,8 miliar rupiah mencapai hampir satu triliun, ini jelas-jelas sesuatu yang keliru. Bukannya malah memberantas korupsi itu, yang terjadi adalah menangkap koruptor, menyelamatkan uang Negara yang masih bisa diselamatkan, dan menghabiskan anggaran. Jika seperti ini terus yang terjadi, akan semakin banyak media yang memunculkan koruptor sebagai headline beritanya yang menandakan bahwa korupsi kian hari semakin menggerogoti Negeri ini.

 

Target yang dibuat juga harus dibarengi dengan manuver-manuver pemberantasan korupsi yang baru dari KPK, yang memang harus bertujuan memberantas korupsi. Rakyat Indonesia sekarang sudah kadung terlena dengan keistimewaan KPK, lembaga yang dianggap paling transparan sehingga saat bergulir hak angket yang dianggap upaya melemahkan KPK langsung ditentang sedemikian rupa dengan mengabaikan apakah hal itu benar-benar melemahkan KPK atau tidak. Seorang Prof.Romli Atmasasmita yang memiliki peran sebagai ketua Pansel KPK pertama saja tidak serta merta setuju dengan pendapat itu, beliau menyarankan agar KPK di evalusi, sehingga kekurangan serta kendala KPK selama ini bisa dicacri jalan keluarnya. KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi sudah diisi oleh pemimpin-pemimpin yang berkapasitas, sebut saja seorang Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Saut Situmorang yang jelas sudah melalui beragam ujian yang berat oleh Pansel KPK. Tentunya pemimpin KPK adalah orang-orang dengan kapasitas baik yang memiliki track record yang baik pula, sehingga hukum pidana yang jelek itu (berdasarkan pendapat dari Leo Polak dan Herman Bianci) jika ditegakkan oleh orang yang baik, memiliki kemungkinan untuk hasil yang baik pula.  

 

Harapan kedepannya adalah KPK dapat kembali kepada tujuan dasar dibentukknya KPK yaitu pemberantasan korupsi, yang jelas saja terdengar hampir mustahil dan sulit sekali. Namun, bagaimanapun itulah yang menjadi tugas KPK bukan hanya sekedar memenjarakan para koruptor. Kedepannya jika KPK dapat menciptakan harmoni yang baik dengan POLRI maupun Kejaksaan akan tercipta hegemoni pemberantasan korupsi yang luar biasa kuat, tentunya KPK tidak lagi bergerak sendiri-sendiri begitupun dengan instansi POLRI dan Kejaksaan. Semoga KPK sebagai lembaga yang dicinta oleh masyarakat Indonesia dapat terus menjadi harapan dan bukan hanya ujung tombak namun juga tembok terakhir, dalam hal ini evaluasi dapat menjadi salah satu alternative untuk memperkuat KPK. 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun