Mohon tunggu...
12013Y
12013Y Mohon Tunggu... Seniman - Fresh Graduate

Real person trying to be more real by seeing reality as real as possible.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pemimpin Baru, Lalu?

28 Juni 2018   13:50 Diperbarui: 28 Juni 2018   14:07 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Nah!, entah pula uy, namanya hati orang ya gak bisa maksa dia harus milih yang mana, walaupun di kasih uang, masih tetap itulah"

"Iiyaaa, betul itu!" bapak-bapak yang lain menimpali sambil angguk-angguk kepala.

Seorang bapak yang memakai topi hitam kemudian menyeletuk, "Udah lagi kamorang bahas-bahas ini! mau siapa yang menang juga, kita ini masih tetap gini-ginilah, orang itulah yang ngerasa enaknya, pusing-pusing amat! pikirin aja besok kita ini mau makan apa".

Semua tertawa.

Penulis yang mendengar percakapan tersebut ikut tertawa lirih, ternyata masyarakat desa ini tidak seudik itu menyikapi kemenangan orang lain. Pengalaman hidup mereka yang telah berkali-kali mengikuti dan melewati banyak periode kepemimpinan membuat mereka sadar dengan sendirinya. Siapapun yang duduk di singgasana itu, tidak pernah membuat mereka gila, karena semuanya akan tetap sama.

Jujur saja, tulisan ini bukanlah tulisan yang mengajak pembacanya untuk meragukan perubahan, meragukan bahwa banyak dari putra bangsa ini yang baik, jujur, adil, dan mampu menyejahterakan warga, serta mengajak pembaca untuk pesimis dan bersikap "nyinyir" kepada para pemenang Pilkada. 

Namun ayo kita sama-sama saksikan, justru mereka sendiri yang menciptakan keraguan, begitu inginnya meraih kekuasaan, membeli suara dengan uang, kemudian tanpa malu merayakan kemenangan. Sebagai warga negara yang merindukan pemimpin adil, tentu tidak berlebihan untuk meluapkan sedikit keraguan karena sosok penguasanya demikian.

Hal tersebut kemudian memicu kesadaran, bahkan di tengah-tengah kegemerlapan kita begitu merindukan kesahajaan. Penulis teringat di kala masih "nyantri" di Pesantren, seorang Ustadz pernah bercerita betapa "tidak inginnya" para sahabat dekat Rasul untuk menjadi Khalifah selepas Beliau tiada. Abu Bakar RA yang saat itu terpilih bahkan langsung beristighfar, memohon ampun, dan bersedih atas tanggung jawab berat yang akan dipikulnya. 

Sekarang mari kita lihat tingkah polah pemimpin-pemimpin baru ini, begitu bersemangatnya mereka menyuarakan pidato kemenangan, konvoi keliling kota menunjukkan kekuasaan, bahkan menggelar konser besar-besaran merayakan tanggung jawab berat dan peluang dosa di hadapannya. Luar biasa!!, sombongnya.

Sebagai akhir, penulis mengutip sebagian puisi  "Air Mata Umara"* karya  Radhar Panca Dahana yang sangat indah dan penuh makna, berisi sindiran dan ajakan untuk menyadari arti sebuah kemenangan. Setidaknya dengan membaca/mendengarkannya kita dapat melepaskan diri dari bisikan-bisikan setan yang menjerat manusia dengan kekuasaan, biarpun sejenak, itu sudah lebih dari cukup, untuk saat ini.

Bagaimanapun, pesta akhirnya usai
Kegembiraan, harus selesai
Jangan biarkan, hatimu lunglai
Sementara di luar, mengganas badai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun