Pesta merupakan salah satu cara semua orang untuk berbagi kebahagiaan, meluapkan kegembiraan, dan juga menyatakan kemenangan. Kini, pesta tersebut telah usai, baliho-baliho mulai diturunkan, pamflet selebaran menghiasi tempat sampah, perdebatan antar kubu mulai kehilangan suara, berita yang isinya itu-itu saja kini mulai membuat jengah.Â
Kemarin kita semua larut dalam pesta itu, menabuh genderang, mengadu cawan, menari riang, dan makan sampai kenyang. Sekarang kita semua akan kembali pada kehidupan nyata, kehidupan yang sebelumnya tertutupi oleh janji-janji manis pemimpin baru.
Hari ini, warga desa ini, masih tetap begini. Tinggal di rumah yang masih bocor atapnya, sarapan pagi dengan menu yang masih seadanya, menyalami anak berangkat ke sekolah yang masih mahal biayanya, membeli kopi dan susu di warung yang masih banyak hutangnya, menggenggam cangkul dan arit yang sama tuanya, pergi kekebun yang masih bukan miliknya.
Berangkat dengan kaki yang masih jadi rodanya, melalui jalan yang masih banyak lubang-lubangnya, menyapa tetangga yang tidak jauh beda prihatinnya, mengurus kebun yang tak bertambah luasnya, beristirahat di gubuk yang masih tidak ada AC-nya, kembali ke rumah dengan badan yang sama letihnya, makan malam di ruangan gelap karena listrik yang tak kunjung berhenti padamnya, tidur di kasur yang sama tipisnya, bermimpi kesenangan yang masih belum tampak nyatanya, kemudian terbangun dengan segala kesulitan yang sama adanya.
Seperti itulah kenyataannya, kadang kita terlalu bergembira dengan kesenangan yang fana, terlalu asyik dengan kebahagiaan yang sebenarnya bukan milik kita, terlalu larut dalam kemengan yang sebenarnya bukan kita peraihnya, terlalu percaya pada mereka yang mungkin sudah tidak kenal siapa saja yang telah diinjak kepalanya, terlalu lupa untuk mengingat siapa dirinya, terlalu mabuk untuk menyadari seperti apa nanti jadinya.
Kamis pagi, warga desa ini biasa berkumpul di pasar yang ada hanya seminggu sekali. Mereka datang untuk belanja, berjualan, berbincang, atau sekedar berkeliling menikmati keramaian. Seperti biasa aku bertugas mengantar ibu untuk berburu sayur dan bumbu dapur. Sesampainya di pasar ibu langsung bergegas menuju lapak penjual sayur langganan dan aku segera mengarahkan motor ke tempat parkir yang disediakan, duduk di atas motor menunggu nyonya besar puas mengisi kantong belanjaan.
Di gerbang parkir yang hanya terbuat dari kayu dan tali butut, berkumpul bapak-bapak yang tampak asyik membahas hasil Pilkada dengan rokok kretek menyala di tangan masing-masing.
"Jadi, siapa yang menang?"
"Gak tau pak, infonya masih MJ (mak jelas/tidak jelas)"
"Kalau kata Pak Kepala (Kades) kemaren itu, No. 2 yang menang"
"Aanaaah..!, gimana ceritanya? Kan No. 1 udah "ngasih-ngasih banyak" kemaren?"