Mohon tunggu...
1136_Zahra Nuraini
1136_Zahra Nuraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya suka mendengarkan musik dan menari

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tantangan Membangun Keadilan: Problematika Penegakan Hukum

14 Mei 2024   08:20 Diperbarui: 14 Mei 2024   08:20 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Problematika Penegakan Hukum?

Problematika dalam penegakan hukum di Indonesia mencerminkan tantangan yang muncul akibat ketidaksempurnaan dalam menerapkan supremasi hukum. Masalah ini telah meresap ke dalam struktur sistem hukum secara mendalam, bukan hanya sekadar masalah permukaan. 

Penegakan hukum di Indonesia seringkali tidak berjalan sejalan dengan harapan, karena hukum sering kali dimanfaatkan sebagai alat politik atau kekuasaan, bukan sebagai pemimpin yang adil. Tugas hukum seharusnya adalah menyelesaikan kasus tanpa dipengaruhi oleh kepentingan tertentu. Namun, di Indonesia, kompleksitas masalah penegakan hukum seperti menggali akar-akarnya yang sulit, seperti mencari ujung dari suatu lingkaran, sehingga kejahatan terus berkuasa di dunia hukum dan peradilan. 

Permasalahan penegakan hukum sering kali bermula dari dalam sistem peradilan itu sendiri, di mana mafia peradilan menjadi salah satu faktor utama yang menghambat penegakan hukum dengan cara yang sistematis dan meresap ke dalam struktur penegakan hukum. Dalam konteks ini, beberapa aspek perlu diperhatikan untuk memahami masalah yang lebih dalam.

  1. Ketidaksempurnaan dalam Menerapkan Supremasi Hukum: Supremasi hukum yang tidak sepenuhnya diterapkan dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum, di mana aturan hukum tidak selalu menjadi pedoman yang konsisten bagi semua pihak. Hal ini dapat menciptakan celah untuk penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi politik.

  2. Penyalahgunaan Hukum sebagai Alat Politik atau Kekuasaan: Fenomena ini sering terjadi di berbagai negara di mana hukum dimanfaatkan untuk mencapai tujuan politik atau kepentingan pribadi tertentu, bukan untuk menciptakan keadilan yang sejati. Politisasi hukum mengancam independensi sistem peradilan dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga hukum.

  3. Korupsi dalam Sistem Peradilan: Masalah mafia peradilan mencerminkan tingkat korupsi yang tinggi dalam sistem peradilan Indonesia. Ketika keadilan dapat dibeli, orang kaya dan berkuasa dapat melanggar hukum tanpa takut akan konsekuensinya, sementara rakyat biasa seringkali menjadi korban dari ketidakadilan ini.

  4. Kebutuhan akan Reformasi Sistem Hukum: Reformasi mendalam dalam sistem hukum Indonesia diperlukan untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan membangun fondasi yang kuat untuk penegakan hukum yang adil dan transparan. Hal ini meliputi peningkatan independensi lembaga peradilan, pemberantasan korupsi, penguatan mekanisme pengawasan, dan peningkatan kapasitas lembaga penegak hukum.

  5. Pendidikan Hukum dan Kesadaran Masyarakat: Pendidikan hukum yang lebih baik dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka serta pentingnya supremasi hukum dalam menjaga keadilan sangatlah penting. Masyarakat yang terdidik secara hukum akan lebih mampu memahami proses hukum dan berpartisipasi dalam menjaga integritas sistem peradilan.

Secara keseluruhan, penegakan hukum yang efektif dan adil adalah prasyarat bagi masyarakat yang demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu, upaya terus-menerus diperlukan dari semua pihak untuk menangani masalah-masalah ini secara serius dan berkelanjutan.

Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD dalam Politik Hukum di Indonesia,
mengatakan bahwa :

…Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hokum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.(Mahfud MD, 2001 :1).

Indonesia: Mengarungi Lautan Negara Hukum

Indonesia didirikan dengan prinsip yang kuat sebagai negara hukum (rechtsstaat), sebuah prinsip yang menempatkan supremasi hukum sebagai fondasi utama dalam tata kelola negara. Ini bukanlah konsep baru bagi bangsa Indonesia, melainkan sebuah prinsip yang telah tertanam dalam semangat perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara. Sejak awal perjuangan kemerdekaan, para pemimpin bangsa telah menggarisbawahi bahwa Indonesia harus dijalankan dengan landasan yang berbasis pada hukum. Prinsip ini tidak hanya menjadi simbol keberhasilan dalam merebut kemerdekaan dari penjajah, tetapi juga menjadi pedoman bagi bangsa ini dalam membangun fondasi negara yang kokoh dan berkeadilan.

Dalam konsep negara hukum, supremasi hukum bukanlah sekadar konsep teoritis, melainkan sebuah prinsip yang harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti bahwa negara, pemerintah, lembaga publik, dan semua warga negara tunduk pada hukum yang sama, tanpa kecuali. Semua tindakan pemerintah harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku, dan pelanggarannya harus dikenai sanksi yang setimpal. Dalam sebuah negara hukum, hak-hak individu dijamin dan dilindungi oleh hukum, dan keadilan harus ditegakkan secara adil dan merata bagi semua warga negara.

Namun, dalam praktiknya, implementasi prinsip negara hukum sering kali dihadapkan pada tantangan yang kompleks. Salah satu tantangan utamanya adalah intervensi politik dalam proses pembentukan undang-undang dan kebijakan publik. Meskipun Indonesia telah menganut prinsip negara hukum yang mengutamakan supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan jaminan hak-hak manusia, namun realitas politik sering kali mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dan undang-undang. Kepentingan politik yang kuat dapat mengaburkan tujuan hukum yang seharusnya, mengarah pada pembentukan undang-undang yang tidak selalu berpihak pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Contoh konkret dari intervensi politik dalam pembentukan undang-undang adalah pembahasan UU KPK, omnibus law Cipta Kerja, dan UU Darurat Pandemi Covid-19. Meskipun tujuan dari undang-undang tersebut mungkin baik dalam teorinya, namun kontroversi dan protes yang muncul menunjukkan bahwa proses pembuatannya dipengaruhi oleh dinamika politik yang kompleks. Ini menimbulkan keraguan terhadap integritas sistem hukum dan menimbulkan kekhawatiran akan penegakan hukum yang adil dan transparan di masa depan.

Tirani Hukum: Kekuasaan yang Mendominasi

Dinamika antara hukum dan kekuasaan dalam masyarakat memang merupakan fenomena yang kompleks dan saling terkait. Hubungan ini bisa dikarakterisasi sebagai dialektis, resiprokal, dan simbiotik, di mana keduanya saling memengaruhi dan bergantung satu sama lain. Namun, penting untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak mendominasi hukum, karena hal ini dapat mengancam prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia.

Kekuasaan memiliki peran yang signifikan dalam semua tahapan siklus hukum, mulai dari pembentukan undang-undang hingga penegakan dan pelaksanaannya. Dalam konteks pembentukan undang-undang, kekuasaan politik sering kali memiliki pengaruh besar dalam proses legislasi. Pemangku kepentingan politik dapat memanipulasi proses pembuatan undang-undang untuk mencapai tujuan politik atau kepentingan pribadi tertentu, tanpa memperhatikan aspek keadilan atau hak asasi manusia. Contoh nyata dari ini adalah revisi UU KPK dan omnibus law Cipta Kerja di Indonesia, di mana kepentingan politik yang dominan tampak mengendalikan pembentukan kebijakan, meskipun mungkin tidak selalu sesuai dengan kebutuhan atau keinginan masyarakat.

Namun, penting juga untuk diingat bahwa hukum memiliki peran dalam melegitimasi kekuasaan. Legalitas hukum menetapkan validitas kekuasaan secara hukum, sehingga keberadaan hukum sebagai landasan bagi pemerintahan yang baik sangatlah penting. Namun, keberadaan hukum sebagai instrumen legitimasi kekuasaan juga dapat disalahgunakan. Penyalahgunaan kekuasaan sering kali terjadi di mana kekuasaan yang sah seharusnya dijalankan sesuai dengan moralitas, kebenaran, dan keadilan, namun malah digunakan untuk tujuan yang tidak bermoral atau tidak adil.

Fungsi hukum dalam hubungannya dengan kekuasaan adalah mengatur dan membatasi kekuasaan tersebut, serta meminta pertanggungjawaban atas penggunaannya. Dengan adanya aturan hukum yang jelas dan kuat, diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukan kewenangan. Namun, tantangan terbesar terletak pada implementasi dan penegakan hukum tersebut. Dalam banyak kasus, terutama di negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, penegakan hukum tidak selalu berjalan dengan baik, dan kekuasaan seringkali mendominasi hukum.

Penting untuk memahami bahwa hukum harus bertindak sebagai alat untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat, bukan hanya penguasa atau elite. Hukum harus mampu menjaga keadilan sosial dan mengatasi ketidaksetaraan, bukan memperkuatnya. Praktik hukum yang tidak adil dapat menimbulkan masalah sosial dan moral, karena tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Oleh karena itu, dalam upaya membangun masyarakat yang berkeadilan dan demokratis, penting untuk terus mengawasi hubungan antara hukum dan kekuasaan. Reformasi hukum yang menyeluruh dan peningkatan transparansi dalam proses pembuatan undang-undang dan penegakan hukum dapat menjadi langkah-langkah penting dalam memastikan bahwa kekuasaan tidak mendominasi hukum, dan bahwa hukum tetap berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi semua warga negara.

Krisis Keadilan: Tantangan dalam penegakan Hukum

Situasi di mana prinsip-prinsip keadilan dalam sistem hukum suatu negara mengalami gangguan atau terancam, seringkali disebut sebagai keterpurukan penegakan hukum. Krisis dalam penegakan hukum sering kali bermula dari penurunan moralitas aparat penegak hukum, yang cenderung lebih memperhatikan "orientasi uang" daripada "orientasi pelayanan tanpa imbalan finansial". Hal ini menandakan adanya distorsi dalam fungsi dan tujuan penegakan hukum, di mana upaya pencarian keadilan dan kebenaran seringkali tergantikan oleh motif yang lebih materiil.

Dalam menghadapi krisis seperti ini, diperlukan reformasi hukum yang menyeluruh. Reformasi ini tidak hanya terbatas pada pembaharuan dalam substansi hukum, seperti pembentukan undang-undang baru atau revisi peraturan yang sudah ada, tetapi juga memerlukan perubahan dalam struktur hukum dan budaya hukum secara keseluruhan. Ini berarti mencakup aspek immateriil dalam hukum, seperti budaya hukum, etika/moralitas hukum, aparatur penegak hukum, dan ilmu/pendidikan hukum.

Pembaruan hukum harus melibatkan upaya untuk membangun budaya keadilan yang kokoh. Ini berarti menciptakan lingkungan di mana para penegak hukum memiliki integritas yang tinggi dan berkomitmen pada pelayanan masyarakat, bukan sekadar mencari keuntungan pribadi atau finansial. Selain itu, pembaruan hukum juga harus mengarah pada pembentukan struktur hukum yang responsif terhadap nilai-nilai Pancasila, yang merupakan landasan moral dan filosofis bagi negara Indonesia.

Salah satu teori yang relevan dalam konteks ini adalah teori pemikiran hukum responsif yang dikemukakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick. Menurut teori ini, hukum harus bersifat responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dan hal ini lebih sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang cenderung mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Dengan pendekatan responsif ini, hukum diharapkan dapat lebih efektif dalam menyelesaikan masalah sosial dan menjamin keadilan bagi semua warga negara.

Pancasila memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan hukum di Indonesia. Sebagai panduan utama, Pancasila menjadi sumber nilai dan paradigma utama untuk perubahan hukum. Dalam konteks ini, hukum harus diarahkan untuk mencerminkan nilai-nilai Pancasila, seperti keadilan sosial, demokrasi, dan kesejahteraan sosial. Melalui pendekatan yang responsif terhadap Pancasila, hukum dapat memperhatikan aspirasi masyarakat dan mengutamakan musyawarah dalam penyelesaian masalah.

Dalam menerapkan prinsip-prinsip ini, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah, lembaga hukum, masyarakat sipil, dan semua pemangku kepentingan terkait. Reformasi hukum yang sukses memerlukan keterlibatan aktif dari semua pihak untuk memastikan bahwa perubahan yang dilakukan tidak hanya sekadar kosmetik, tetapi benar-benar mengakar dan memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Dalam konteks Indonesia, di mana keadilan sosial dan keadilan dalam sistem hukum sangat dihargai, upaya untuk mengatasi keterpurukan dalam penegakan hukum adalah sebuah tuntutan moral dan politik yang mendesak. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, transparansi, dan akuntabilitas, Indonesia dapat melangkah menuju sistem hukum yang lebih adil dan berdaya, yang sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun