Indonesia didirikan dengan prinsip yang kuat sebagai negara hukum (rechtsstaat), sebuah prinsip yang menempatkan supremasi hukum sebagai fondasi utama dalam tata kelola negara. Ini bukanlah konsep baru bagi bangsa Indonesia, melainkan sebuah prinsip yang telah tertanam dalam semangat perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara. Sejak awal perjuangan kemerdekaan, para pemimpin bangsa telah menggarisbawahi bahwa Indonesia harus dijalankan dengan landasan yang berbasis pada hukum. Prinsip ini tidak hanya menjadi simbol keberhasilan dalam merebut kemerdekaan dari penjajah, tetapi juga menjadi pedoman bagi bangsa ini dalam membangun fondasi negara yang kokoh dan berkeadilan.
Dalam konsep negara hukum, supremasi hukum bukanlah sekadar konsep teoritis, melainkan sebuah prinsip yang harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti bahwa negara, pemerintah, lembaga publik, dan semua warga negara tunduk pada hukum yang sama, tanpa kecuali. Semua tindakan pemerintah harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku, dan pelanggarannya harus dikenai sanksi yang setimpal. Dalam sebuah negara hukum, hak-hak individu dijamin dan dilindungi oleh hukum, dan keadilan harus ditegakkan secara adil dan merata bagi semua warga negara.
Namun, dalam praktiknya, implementasi prinsip negara hukum sering kali dihadapkan pada tantangan yang kompleks. Salah satu tantangan utamanya adalah intervensi politik dalam proses pembentukan undang-undang dan kebijakan publik. Meskipun Indonesia telah menganut prinsip negara hukum yang mengutamakan supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan jaminan hak-hak manusia, namun realitas politik sering kali mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dan undang-undang. Kepentingan politik yang kuat dapat mengaburkan tujuan hukum yang seharusnya, mengarah pada pembentukan undang-undang yang tidak selalu berpihak pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Contoh konkret dari intervensi politik dalam pembentukan undang-undang adalah pembahasan UU KPK, omnibus law Cipta Kerja, dan UU Darurat Pandemi Covid-19. Meskipun tujuan dari undang-undang tersebut mungkin baik dalam teorinya, namun kontroversi dan protes yang muncul menunjukkan bahwa proses pembuatannya dipengaruhi oleh dinamika politik yang kompleks. Ini menimbulkan keraguan terhadap integritas sistem hukum dan menimbulkan kekhawatiran akan penegakan hukum yang adil dan transparan di masa depan.
Tirani Hukum: Kekuasaan yang Mendominasi
Dinamika antara hukum dan kekuasaan dalam masyarakat memang merupakan fenomena yang kompleks dan saling terkait. Hubungan ini bisa dikarakterisasi sebagai dialektis, resiprokal, dan simbiotik, di mana keduanya saling memengaruhi dan bergantung satu sama lain. Namun, penting untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak mendominasi hukum, karena hal ini dapat mengancam prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
Kekuasaan memiliki peran yang signifikan dalam semua tahapan siklus hukum, mulai dari pembentukan undang-undang hingga penegakan dan pelaksanaannya. Dalam konteks pembentukan undang-undang, kekuasaan politik sering kali memiliki pengaruh besar dalam proses legislasi. Pemangku kepentingan politik dapat memanipulasi proses pembuatan undang-undang untuk mencapai tujuan politik atau kepentingan pribadi tertentu, tanpa memperhatikan aspek keadilan atau hak asasi manusia. Contoh nyata dari ini adalah revisi UU KPK dan omnibus law Cipta Kerja di Indonesia, di mana kepentingan politik yang dominan tampak mengendalikan pembentukan kebijakan, meskipun mungkin tidak selalu sesuai dengan kebutuhan atau keinginan masyarakat.
Namun, penting juga untuk diingat bahwa hukum memiliki peran dalam melegitimasi kekuasaan. Legalitas hukum menetapkan validitas kekuasaan secara hukum, sehingga keberadaan hukum sebagai landasan bagi pemerintahan yang baik sangatlah penting. Namun, keberadaan hukum sebagai instrumen legitimasi kekuasaan juga dapat disalahgunakan. Penyalahgunaan kekuasaan sering kali terjadi di mana kekuasaan yang sah seharusnya dijalankan sesuai dengan moralitas, kebenaran, dan keadilan, namun malah digunakan untuk tujuan yang tidak bermoral atau tidak adil.
Fungsi hukum dalam hubungannya dengan kekuasaan adalah mengatur dan membatasi kekuasaan tersebut, serta meminta pertanggungjawaban atas penggunaannya. Dengan adanya aturan hukum yang jelas dan kuat, diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukan kewenangan. Namun, tantangan terbesar terletak pada implementasi dan penegakan hukum tersebut. Dalam banyak kasus, terutama di negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, penegakan hukum tidak selalu berjalan dengan baik, dan kekuasaan seringkali mendominasi hukum.
Penting untuk memahami bahwa hukum harus bertindak sebagai alat untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat, bukan hanya penguasa atau elite. Hukum harus mampu menjaga keadilan sosial dan mengatasi ketidaksetaraan, bukan memperkuatnya. Praktik hukum yang tidak adil dapat menimbulkan masalah sosial dan moral, karena tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, dalam upaya membangun masyarakat yang berkeadilan dan demokratis, penting untuk terus mengawasi hubungan antara hukum dan kekuasaan. Reformasi hukum yang menyeluruh dan peningkatan transparansi dalam proses pembuatan undang-undang dan penegakan hukum dapat menjadi langkah-langkah penting dalam memastikan bahwa kekuasaan tidak mendominasi hukum, dan bahwa hukum tetap berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi semua warga negara.
Krisis Keadilan: Tantangan dalam penegakan Hukum
Situasi di mana prinsip-prinsip keadilan dalam sistem hukum suatu negara mengalami gangguan atau terancam, seringkali disebut sebagai keterpurukan penegakan hukum. Krisis dalam penegakan hukum sering kali bermula dari penurunan moralitas aparat penegak hukum, yang cenderung lebih memperhatikan "orientasi uang" daripada "orientasi pelayanan tanpa imbalan finansial". Hal ini menandakan adanya distorsi dalam fungsi dan tujuan penegakan hukum, di mana upaya pencarian keadilan dan kebenaran seringkali tergantikan oleh motif yang lebih materiil.