Mohon tunggu...
Rohana Rambe
Rohana Rambe Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Tidak ada yang namanya kebetulan. Semua yang terjadi untuk sebuah alasan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wanita Pemimpi

6 Mei 2020   11:58 Diperbarui: 6 Mei 2020   11:56 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aktivitas yang itu-itu saja, terkadang membuat jenuh, ingin jalan-jalan sekadar refreshing. Itulah yang tengah aku dan kedua teman serumahku. Kami pun merencanakan sebuah perjalanan.

Rencana pertama, ingin jalan-jalan ke Yogyakarta. Berbelanja batik dan souvenir di Malioboro. Mulailah kami mengumpulkan duit. Pagi kerja, dan siang berjualan. Ya, yang jualan Kak Rahma, sedangkan aku dan Lisa menemani, demi impian itu.

Terdengarlah berita jika Ibukota akan dipindahkan. Kak Rahma pun berkata, "Pokoknya kita usahakan memijakkan kaki di Monas sebelum dipindahkan ke Kalimantan."

"Iyakan," jawab Lisa.

Kami pun berubah rute perjalanan, naik pesawat dari Kuala Namu dan turun di Soekarno-Hatta, lalu ke Monas dan setelah itu ke Yogyakarta. Pulang naik Bus supaya bisa meresakan naik Kapal dan melewati Lampung, Bengkulu, Palembang, Jambi dan Pekan Baru. Rencananya, hanya bawa baju dua, satu untuk pergi dan satu untuk pulang. Di sana nanti bisa beli baju yang murah-murah. Yang kami dengar, beli di Tanah Abang murah. Selain itu, menghindari biaya koper.

"Adakah kalian yang punya teman di Jakarta?" tanya Kak Rahma.

"Kak Rohana ada tuh. Dia kan punya teman penulis di sana," ujar Lisa.

Aku pun menghubungi seseorang. Katanya dia akan bawa kami jalan-jalan jika sampai di sana.

Impian mulai redup. Biaya ke Jawa terlalu mahal untuk ukuran orang seperti kami. Rencana pun diubah.

Kami ingin ke Malaysia. Tiket lebih murah dibanding ke Jawa. Urus pasport sekitar tiga ratus ribu. Kak Rahma berkata, "Kita urus dulu pasport-nya sembari ngumpul duit."

Kami pun membicarakan tata cara pengurusan pasport. Nama harus tiga kata.

"Namaku sudah pas. Pakai marga, jadi tiga kata, sesuai ijazah" ujar ku.

"Aku pun, pas. Siti Rahma Munthe," ujar Kak Rahma.

"Aku gak pas. Harus pakai Binti lah," ujar Lisa. Temanku yang satu ini adalah suku Jawa.

Rasanya ke Malaysia pun terlalu berat. Rencana berubah lagi, kami ingin sekali ke Aceh, naik Bus Impian, Simpati Start. Lalu memijakkan kaki ke ujung Indonesia, Nol Kilometer, supaya dapat sertifikat sabagai pengunjung ke sekian ratus ribu orang.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Gaji keluar dan dapat ongkos berangkat gratis. Keinginan kami pun jadi kenyataan. Kalian tahu, apa yang terjadi. Kami terdampar di sebuah Masjid di Berastagi, tanah Karo. Di bawah Mesjid, terdapat kebun bawang merah dan wortel.

Ya, rencana diubah lagi. Kami pergi ke Medan dan jalan-jalan ke Berastagi, melihat kebun jeruk dan strawberry. Namun, sayangnya, sampai di sana, hujan awet sepanjang hari. Kami hanya bisa naik kuda di gundaling, Berastagi. Ah, ternyata kami cukup bahagia mesti tak jadi naik pesawat.

Lalu kami bertemu seorang teman dan membawa kami makan di sebuah tempat. Di sana kami dapat wejangan.

Katanya, "Mengapa orang tak suka hari Senin? Karena dia merasa terbebani dengan pekerjaannya. Mengapa dia merasa pekerjaannya jadi beban? Bisa jadi dia salah jurusan. Itu sebabnya dari kecil, kita harus mengetahui di mana potensi anak dan asa agar dia bisa bekerja sesuai dengan hobinya. Seseorang yang senang dengan pekerjaannya, tidak akan merasa jadi beban."

Kami mendengarkan nasehatnya dengan seksama.

Lanjutnya, "Jika sudah terlanjur, tugas kalian adalah, mulailah mencintai pekerjaan itu. Buat dirimu enjoy."

Nesehat yang baik, tidak akan pernah kami lupakan.

Dan kami pun pulang naik Bus perjalanan malam. Sampai di asrama, sudah waktunya subuh. Setelah shalat, malah tertidur. Apa yang terjadi, kami kesiangan. Hari itu, aku masuk les pertama, dan les dua, tiga, kosong. Apa pun itu, kewajiban harus dilakukan. 

Kalian tahu apa yang terjadi? Aku masuk kelas tanpa mandi, hanya cuci muka dan baju tak diganti. Untung waktu pulang, aku pakai gamis. Walau tidak mandi, tetap manis kok. Ahahaa, pede gila. Sampai muridku heran ketika aku masuk les keempat. Sudah berganti pakaian.

Seorang anak bertanya, "Buk, kanapa sudah ganti pakaian, Ibu?"

Lalu kujawab, "Nak, belum saatnya kalian tahu alasannya. Suatu hari, kalian akan mengerti."

"Wis, Ibu mulai berdrama."

Aku hanya tersenyum, menertawakan kekonyolanku. Terkadang seorang guru memang harus bertingkah konyol agar siswanya tak jenuh.

Alhamdulilah, satu bulan kemudian, impian kami terwujud, bisa memiliki Souvenir dari Malioboro. Ya, seorang Kakak yang baik, pulang dari Yogyakarta, perjalanan dinas dan memberikan kami oleh-oleh. Sebuah dompet, dengan harapan dompet ini bisa terisi banyak duit agar mimpi ke Yogyakarta dan memijakkan kaki di Monas sebelum dipindahkan bisa tercapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun