Mohon tunggu...
Jalaludin akbar
Jalaludin akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa ilmu komunikasi

Hobi: menulis Kepribadian: suka berbaur dan berbagi ilmu Konten favorit: masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Human Rights and International Policy

19 Mei 2022   23:11 Diperbarui: 19 Mei 2022   23:15 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Massa imigran asal Afganistan mendemo kantor UNHCR perwakilan Indonesia di Jakarta, Selasa (24/8/2021). [Suara.com/Yaumal]

AFGHANISTAN AND POLEMICS IN INDONESIA

Ketika hak seseorang dirampas dan dibatasi akan mobilitas kegiatannya apakah layak dunia tetap menggaumkan suara HAM, dimana jaminan HAM pada setiap makhluk? Dimana keadilan yang dimaksud? Apakah HAM hanya dimiliki seseorang yang mempunyai kekuatan superpower?.

Hak merupakan sebuah unsur normatif yang melekat terhadap diri setiap manusia dimana di dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan suatu interaksinya antara individu ataupun instansi.

Di dalam sejarah perkembangan HAM, memperlihatkan bahwasannya akan memunculkan konsepsi HAM dan konsepsi ini tidak terlepas dari reaksi atas kekuasaan absolut yang dimana akhirnya memunculkan sistem konstitusional serta konsep negara hukum baik itu rechtsstaat ataupun rule of law. Sebagaimana bahwasannya yang dikemukakan oleh Louis XIV dengan statementnya L etat'est Moi atau Negara adalah Saya.

Kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu tangan menimbulkan kesewenang-wenangan, demikian diindikasikan oleh Lord Acton: power tends to corrupt, Absolute power corrupt absolutely. Menurut philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip Masda El-Muhtaj, 2 konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. 

Sebaliknya konsep rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini tampak baik dari isi maupun kriteria rechtstaat dan rule of law itu sendiri. Konsep yang pertama bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental yang biasa disebut civil law. Sedang konsep yang terakhir bertumpu pada sistem hukum comman law atau Anglosakson.

Permasalahan terhadap pengungsi merupakan permasalahan yang begitu kompleks dan menjadi kepedulian bersama yang dihadapi masyarakat pada tatanan dunia saat ini. 

Selama ini masalah pengungsi menimbulkan keprihatinan untuk melindungi secara hukum baik statis maupun hak-hak para pengungsi yang merupakan korban tindak kekerasan atau persekusi (penganiayaan) yang harus dilindungi sebagai manusia seutuhnya. Indonesia sendiri merupakan salah satu dari negara yang dimana harus berhadapan dengan permasalahan orang asing pencari suaka serta pengungsi yang masuk dan tinggal di beberapa wilayah yang ada di Indonesia. 

Letak geografis strategis dimana menjadi konsekuensi Indonesia sebagai negara transit, sebelum pada akhirnya para pengungsi ditelantarkan ke negara tujuannya. Hal tersebut juga merupakan suatu konsekuensi dari adanya belum meratifikasinya Indonesia terhadap Konvensi Internasional Tahun 1951 dan Protokol Opsionalnya Tahun 1967.

Saat ini, terdapat sekitar 13,100 pengungsi terdaftar di kantor UNHCR di Indonesia, Meski begitu Indonesia sendiri belum meratifikasi Konvensi 1951 mengenai Pengungsi ini, Indonesia sendiri pun telah lama memiliki tradisi untuk menerima pengungsi dan orang -- orang yang membutuhkan perlindungan internasional. 

Dan kemudian saat ini sekiranya ada 27% dari jumlah total orang yang terdaftar di UNHCR Indonesia merupakan anak -- anak, 98 anak -- anak datang sendiri maupun mereka yang jauh sebelumnya sudah terpisahkan oleh keluarga mereka. Hingga akhir November 2021 tercatat, kebanyakan pengungsi di Indonesia datang dari Afghanistan (57%), Somalia (10%) dan Iraq (5%).

Dengan belum meratifikasinya Indonesia tentang Konvensi pada Tahun 1951 dan kemudian pada Protokolnya Opsionalnya Tahun 1967 terhadap Status Pengungsi ini, Indonesia sendiri seakan mengalami dilema. Mungkin karena suatu hal ini, yang menjadikan Indonesia tidak memiliki kewajiban dalam penanganan pengungsi serta tidak mengikat secara hukum internasional. 

Namun demikian penanganan masalah pengungsi sejauh saat ini tetaplah dilakukan terhadap Indonesia. Walaupun tidak mengikat secara hukum internasional, akan tetapi hal ini dianggap mengikat secara moral karena adanya kaitan dengan kehidupan manusia.

Ketidaksiapan Indonesia sendiri dalam proses penanganan pengungsi yang ada, tentunya menimbulkan dampak tersendiri bagi Indonesia, apalagi Indonesia sendiri juga tidak memiliki ketentuan hukum yang secara eksplisit mengatur akan permasalahan terhadap pengungsi ini. 

Sehingga membuat Indonesia untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam penanganan pengungsi internasional yang secara terus menerus berdatangan ke Indonesia. 

Dari sini tentunya sangat menyulitkan bagi Indonesia, mungkin karena penanganan seutuhnya sudah menjadi kewajiban oleh UNHCR yang berada di Indonesia termasuk dalam penentuan status seseorang disebut sebagai pengungsi ini sendiri.

Pada tahun 2013 -- 2014 mulai di transit oleh PBB yang berkantor pusatnya di Jakarta dan pada pemrosesannya sangat bagus sekali saat itu, mereka datang ke Indonesia bukan karena sebab melainkan dengan adanya kondisi buruk yang tidak memungkinkan mereka dan terpaksa datang ke Indonesia untuk sementara waktu. 

Yang dimana awal mulanya kedatangan mereka hanya untuk transit namun hingga saat ini mereka tak kunjung diberikan kepastian, mungkin standard transit 1 -10 jam paling lama dan hingga saat ini mereka disini hingga 12 tahun dan ada yang sampai 13 tahun keatasTinggal di Indonesia sebagai Imigran dan sudah mendapatkan izin dari pemerintahan imigrasi dan PBB untuk menetap di Indonesia untuk sementara waktu. 

Waktunya sendiri belum diketahui pasti kapan mereka akan diproses dan diberikan haknya mereka Kembali? Mereka tidak tidak memiliki hak untuk melakukan apa-apa, seperti fasilitas belajar untuk anak-anak di usianya dan tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. 

Sudah 10 hingga 13 tahun dan yang paling kecil 8 tahun dan selebihnya 13 tahun keatas mereka masih menunggu kepastian proses yang tak mendapatkan titik terang hingga saat ini.

Jadi katanya prosesnya itu dari 1 hingga 3 tahun untuk transitnya? Jadi ini saya pribadi sudah 12 tahun an, dan ini bukan transit lagi namanya. Disini sendiri yang berasal dari Afganistan kurang lebih 280 orang dan sudah menunggu lama sekali dan sudah 100 ribu kalinya kita tanyakan mengenai pemrosesan kita terhadap UNESCO maupun PBB tapi tidak membuahkan hasil dan tak mendapatkan respon. 

Dan sampai kapan kita disuruh menunggu? PBB sendiri kerjanya untuk manusia bukan? Kalua mereka melakukan seperti ini apa bedanya dengan yang ada di Afganistan, yang dimana menunggu mati saja. 

Disini semua pengungsi merasa Lelah untuk mendapatkan kepastian dari perlindungan internasional maupun PBB. Seakan-akan mereka sudah tak dihargai lagi dan HAM sudah tak berfungsi sebagaimana yang telah di aum-gaumkan oleh semua tokoh dan instasi terkait.

Persoalan muncul ketika pemerintah tidak tanggap akan penanganan para pengungsi ataupun pencari suaka. Mungkin karena adanya persoalan Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi itu sendiri, maka pemerintah tak bisa langsung menetapkan status para imigran ini sendiri sebagai pencari suaka ataupun pengungsi. Penentuan dari status ini dilakukan oleh UNHCR (Komisi Tinggi PBB bidang Pengungsi) yang memakan waktu yang cukup lama.

Dengan sangat kompleksnya permasalahan pengungsi ini pemerintah harus memperhatikan lebih detail lagi dalam penanganannya, mengingat pasti terdapat kekurangan ataupun kelebihan apabila Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut. 

Oleh karenanya, apabila Indonesia memilih untuk meratifikasi Konvensi tersebut, makan Indonesia sendiri harus siap dengan konsekuensi yang akan terjadi, kemudian apabila masih bertahan dengan kondisi saat ini dengan tidak meratifikasi Konvensi tersebut, haruslah memiliki jalan tengah atau Langkah-langkah dengan melakukan kerja sama yang oportunis yang dimana dapat menguntungkan Indonesia, bukannya malah merugikan Indonesia.

jalaludin akbar, Jurusan Ilmu Komunikasi UMM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun