Gelap, saya benar-benar tidak tahu tour kali ini dan pasrah mau dibawa kemana. Bekal saya hanya artikel pengumuman dari Komunitas Komposono ini, kata kuncinya sepeda, menyeberang Bengawan Solo, kerupuk karak, gamelan, dan alkohol. Siap-siap saja makan kerupuk hingga kekenyangan.
Kamis pagi 6 April 2016 peserta bike tour berkumpul di Gedung Tourism Center Gladag Solo, kala itu ada demonstrasi salah satu ormas di perempatan Gladag, sehingga pengiriman sepeda dengan mobil pick up agak tersendat. Sepuluh sepeda diturunkan dari mobil, tidak ada sepeda jengki dan sepeda unta di bike tour kali ini.
Menuju penyeberangan Bengawan Solo
Matahari tidak bersinar terik tapi cuaca cukup gerah (lembab) ketika kami mulai berkonvoi jam 08.45 WIB. Mungkin siang hari akan turun hujan, mengingat sehari sebelumnya hujan sudah mengguyur Solo dari siang hingga malam. Saya lihat peserta pengguna MTB agak kebingungan, ketahuan jarang naik sepeda bertransmisi (rear deraileur). Saat beristirahat di pintu air Kali Pepe Sangkrah, pemandu bike tour, Mas Ajib Bond menjelaskan cara memindah transmisi dan waktu penggunaannya.
Setelah menikmati keindahan warna air Kali Pepe yang tercemar, kami bersepeda di atas tanggul menuju satu-satunya penyeberangan Bengawan Solo di Beton, Sewu, Jebres Kota Solo. Jalan di atas tanggul cor semen, hingga turun ke dermaga penyeberangan.
Awalnya saya tidak memperhatikan ada anyaman bambu di sisi kanan foto, anyaman bambu tersebut digunakan sebagai dermaga dan lantai gethek, dan kenapa tidak digunakan karena yang ditaruh di situ sebagai cadangan saat rusak atau Bengawan Solo meluap.
Kami menunggu beberapa saat karena gethek dalam perjalanan ke Solo, setelah sampai di dermaga kami menaikkan sepeda satu persatu. Penumpang menyesuaikan, duduk atau berdiri menyebar atau di tengah gethek supaya tidak oleng berat sebelah yang beresiko jatuh ke sungai.
Sekali menyeberang cukup murah, hanya Rp. 1.000 per orang. Atau jika membawa kendaraan (sepeda atau motor) dikenakan ongkos Rp. 2.000.
Bike tour yang sesungguhnya dimulai
Jalan dari dermaga di Sukoharjo ini ke tanggul Bengawan Solo masih berupa tanah, karena semalam hujan maka keadaannya cukup memprihatinkan. Alas kaki kami dekil berlepotan tanah becek, setelah melewati tanggul jalanan aspal menanti. Tujuan pertama kali adalah ke Desa Gadingan, Mojolaban Sukoharjo yang dikenal sebagai sentra produksi kerupuk karak.
10 menit bersepeda, sampailah ke sebuah gubug gedhek di tepi tanggul Bengawan Solo. Gubug itu hanya untuk produksi kerupuk, tidak untuk dihuni. Kerupuk karak dibuat secara tradisional dan masih menggunakan bahan kimia bleng; bentuk tidak murni dari boraks. Kerupuk karak dari sini hanya dijual matang per bal.
Capek dan haus, sebotol air mineral kuhabiskan. Mas Ajib menjelaskan kenapa kami beristirahat sebelum sampai ke pengrajin gamelan. Jadi, pembuatan gamelan baru dimulai sekitar jam 10.30 WIB, saat itu pekerja memukul dan memanaskannya dalam bara api.
Jam 11.10 WIB kami keluar dari pengrajin gamelan Palu Gongso menuju UKM pembuat alkohol (pemandu menyebutnya ciu) di desa Bekonang, Mojolaban Sukoharjo. Matahari bersinar terik, Mas Ajib memutuskan untuk melewati jalan lebih dekat.
Jalan yang dilewati kali ini tidak semuanya mulus, jalan tanah di antara sawah kami lewati ratusan meter sebelum bertemu lagi jalanan aspal. Perjalanan hanya 10 menit tapi terasa lama, selain panas, kami juga sudah mulai kecapaian. Sebelum sampai di tempat pembuatan alkohol, kami mampir dulu minum es kelapa muda.... padahal jaraknya tinggal 200 meter.
Tidak banyak yang bisa saya korek dari UKM ini, usaha pembuatan alkohol memiliki izin pemerintah. Hasil fermentasi dari tebu ini katanya dikirim ke Jawa Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H