Mohon tunggu...
Silla Agustin
Silla Agustin Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Penulis/Juara lomba cerpen/SMA Negeri 1 Pandaan

Aku tidak sebaik kamu, pun dengan tulisanku. "Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu." _Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengukir yang Hilang

19 Mei 2024   22:00 Diperbarui: 19 Mei 2024   23:02 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Riuh murka diserta ketukan keras yang berasal dari daun pintu terdengar kentara memekakkan telinga, memecahkan keheningan. Belasan obor yang menyala pada bambu-bambu kuning menambah kegaduhan malam. Belum lagi dengan kentungan yang dipukul begitu nyaring. Para warga yang berkumpul pada gubuk rumah tua merasa geram terus-menerus berteriak, tanpa kenal waktu. Urat-urat leher terlihat kentara dan juga bola mata yang melotot seperti akan loncat keluar ketika wajah mereka mengeras. Namun, bagai di ujung tanduk. Kobaran amarah membabi buta, membutakan mata di antara peluh yang mengucur tiada habisnya.

"Abah!" Mata bening membelalak tak percaya melihat pemandangan di depannya. Wajah yang dipenuhi oleh luka dan juga lebam membuat isak tangis terdengar dari bibir manisnya. Namun, umpatan demi umpatan memenuhi gendang telinganya. Gadis kecil itu berusaha memberontak melepaskan genggaman tangan sang ibu. Penglihatannya yang buram dipenuhi cairan bening itu melihat senyum manis yang terbit dari bibir ayahnya. Ya, sunggingan senyum untuk yang terakhir kalinya.

"Hentikan! Jangan sakiti abah, Bayyinah mohon." Bayyinah berteriak di sisa tenaga yang ada, berharap bahwa semuanya akan kembali normal. Namun, nihil. Tangan yang mengepal kuat berulang kali mendarat di wajah dan sebagian tubuh pria yang meringkuk tak berdaya. Tiada perlawanan yang diberikan. Ia hanya meringis kesakitan seraya melindungi wajahnya dengan lengan tangan dari pukulan yang bertubi-tubi mendarat. Cairan merah mengalir deras sama seperti hujan yang mengguyur tubuhnya.

Tiba-tiba, semuanya mendadak berubah menjadi gelap. Telinganya berdengung kencang memekakkan pendengaran. Seakan tersesat dalam lorong yang berporos tanpa kenal batas. Tangannya ditarik paksa bersamaan dengan langkah yang terseret menuju jalanan lenggang di perbatasan. Segumpalan kabut tebal mempertipis jarak pandang penglihatan, hanya lampu kecil remang-remang di ujung jalan yang menjadi penerangan. Sosok itu menatap rahim kehidupannya dengan segudang kerapuhan. Entah ke mana wanita itu akan membawanya pergi.

"Bayyinah maunya sama Abah. Umi jahat!" Bocah kecil itu menarik lengannya, berusaha memberontak. Setelah itu ia berlari membelah jalanan. Tangisannya semakin kencang, tapi beningnya seolah tersamarkan dengan derasnya air hujan. Ia benar-benar tidak ingin berpisah dengan perisai pelindungnya.

"Tunggu, Bayyinah. Dia bukan ayahmu lagi. Ayahmu sudah mati, Nak!" Teriakan penuh murka dari sang ibu, wanita itu mengejar putri sulungnya. Bersamaan dengan tangis yang mengabur dari bayi di gendongannya, ia berlari tanpa memperhatikan kondisi sekitar. Hingga kejadian tidak terduga tertangkap oleh sepasang netranya, di antara alas jalanan yang berubah memerah.

"Umi!" Teriakan itu kembali terdengar bersamaan dengan gemuruh petir yang saling bersahutan. Gadis dengan baju sebahu dan celana jeans sepaha itu terbangun dari tidurnya. Berulang kali tiada henti ia menjambak keras rambutnya bersamaan dengan desisan yang keluar dari bibirnya. Deru napasnya tidak beraturan di antara keringat dingin yang mengucur deras. Jauh di dalam sana, salah satu organnya berdetak melebihi batas normalnya.

Selalu saja sama seperti itu. Dua belas tahun sudah terlewati, tapi mimpi buruk itu tidak pernah hirap dalam dunianya. Dulu di usianya yang baru menginjak sembilan tahun, ia tak pernah tahu apa-apa. Namun, sekarang semua seakan sudah jelas dalam bayangannya. Di tengah temarahnya baskara yang hanya menyisakan sepintas cahaya dan gemuruh. Gadis itu bangkit, mencari sesuatu dalam lemari cokelat tuanya. Diobrak-abrik dengan kasar, tapi benda itu tak kunjung ditemukan. Waktu bergulir semakin membuatnya kelimpungan, hingga benda itu ditemukan dekat guci di pojok ruangan.

Dengan cepat, ia mengambilnya. Manik matanya berbinar, seperti menemukan harta karun. Setengah botol wine diteguknya sampai tandas. Meskipun kadar alkohol dalam minuman itu terbilang lumayan besar, sekitar 9-16% ABV. Namun, tenggorokannya masih merasakan haus dan pusing belum juga membuatnya kehilangan kesadaran. Rasanya masih saja kurang.

Gadis itu beranjak, menutup pintu dengan kasar. Pergi ke tempat dimana ia bisa menghilangkan trauma. Mimpi buruk harus lenyap dari tidurnya karena jika tidak, ia bisa gila. Tesla abu-abu dikendarainya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan lenggang kota yang dijuluki Jerusalem van Java. Malam ini, bayangan tentang masa lalunya muncul di permukaan. Bersamaan dengan kilat yang berpendar di antara langit-langit hitam. Cakrawala dibuat gaduh dan juga seperti bercahaya.

Di tengah kesadaran yang mulai terkikis, manik tajam itu menatap tidak percaya. Hingga hantaman keras menyentuh mobil depannya membuat detik seketika terhenti. Cairan merah perlahan mengalir dari hidung dan juga pelipisnya. Kepalanya berdenyut nyeri, penglihatannya mulai buram. Hanya kepulan asap tebal yang dengan jelas dilihat olehnya. Setelah itu ia benar-benar kehilangan kesadaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun