Mohon tunggu...
Silla Agustin
Silla Agustin Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Penulis/Juara lomba cerpen/SMA Negeri 1 Pandaan

Aku tidak sebaik kamu, pun dengan tulisanku. "Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu." _Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Balutan Cinta Rasulullah

27 Januari 2024   06:43 Diperbarui: 18 Mei 2024   11:59 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aroma pagi begitu terasa, menemani perjalanan panjang yang akan membawa aku pada suatu tempat. Gumpalan-gumpalan putih selembut sutera kini memenuhi tubuh langit, membuat bentangan luas menjadi polos dan bersih. Sementara mentari yang tertutup oleh awan hanya bisa memancarkan cahaya. Namun, tidak dengan panasnya. Jauh di sana, kegiatan halaqah akan segera bermula.

Aku mendudukkan diri di teras masjid sembari mengendurkan tali sepatu. Masih tersisa satu jam lagi sebelum kegiatan halaqah dimulai, aku memilih untuk salat duha terlebih dahulu. Salat sunah yang jika Rasulullah kerjakan akan menjadi sebuah kewajiban. Ya, aku sedang belajar istiqamah untuk tetap mengerjakannya. Bukan karena fadilah, tapi semata Lillahita'ala. Selain sebagai pintu rezeki, salat duha juga menjadi salah satu pintu surga, siapa pun yang mengerjakan salat duha setiap hari bukankah Allah akan mengampuni dosanya sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan?

"Barang siapa yang menjaga salat duha, maka dosa-dosanya diampuni walaupun dosanya itu sebanyak buih di lautan." (HR. Tirmidzi).

"Siapa saja yang salat duha sebanyak 12 rakaat, Allah akan membuat untuknya sebuah istana yang terbuat dari emas di surga." (HR. Ibnu Majah).

Setelah kewajibanku sebagai seorang muslim telah terlaksana, aku melangkah, menapakkan kaki menuju perpustakaan. Aku berhenti di ambang pintu sebuah bangunan besar berwarna putih. Di perpustakaan, aku dan Maziyah masih saling berdiskusi mengenai halaqah yang akan berlangsung. Sesekali tawa kecil keluar walau tertahan, mengingat saat ini aku berada di ruangan yang mengharuskan untuk diam seribu bahasa.

"Assalamualaikum." Suara bariton itu memecah keheningan, membuatku tersentak. Dengan cepat aku membalikkan badan.

"Waalaikumus salam." Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Dengan cepat aku memutuskan pandangan secara sepihak dan memilih untuk menunduk dalam. Namun, atensiku menangkap sesosok gadis yang berdiri tidak jauh dari Bima.

Bukan tanpa alasan, namun cara berpakaiannyalah yang membuat manikku ini tidak bisa memalingkan wajah.

"Afwan jiddan, kami bertiga terlambat. Perkenalkan ini Fathia, dia di sini sebagai panitia, menggantikan salah satu akhwat yang mengundurkan diri." 

"Melihat waktu akan memasuki ba'da zuhur, alangkah baiknya jika kita mempercepat rapat kali ini." Pria bermata elang itu menyahut perkataan Bima secepat kilat.

"Kemarin setelah berkonsultasi dengan Ustaz Arifin. Ada baiknya jika waktu untuk pelaksanaan halaqah dua hari satu malam, dan transportasinya satu bus saja, tujuannya agar lebih berhemat." Pria itu mengambil kesimpulan sekaligus saran.

"Selain itu, sesuai anjuran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk tidak berlebihan dalam melakukan sesuatu karena itu adalah perbuatan setan," imbuhnya setelah mendapat anggukan dari Bima.

"Afwan, Mas. Jika waktunya menjadi dua hari satu malam, apakah kegiatannya juga akan dikurangi?" Maziyah bertanya sembari mencatat kembali perubahan agenda.

"Tidak. Kegiatan tetap sama. Daurah, mabit, rihlah." Dimas menjawabnya dengan sangat cepat dan tegas.

"Mas Dimas maaf, apakah transportasinya tidak menimbulkan fitnah?" Kini giliran aku yang mengeluarkan unek-unek.

"In syaa Allah tidak. Selain ada murabbi sebagai penanggung jawab, posisi duduk ikhwan di depan dan akhwat di belakang." Keheningan kembali tercipta. Semuanya membisu. Atensiku melirik Maziyah yang masih sibuk dengan pena dan juga selembar putihnya. 

"Baiklah jika dirasa cukup dan waktu sudah memasuki waktu zuhur, pembahasan ini akan didiskusikan kembali nanti bersama panitia lain, Ustaz Arifin, dan Ustazah Maryam. Sebelum mengakhiri rapat kali ini alangkah baiknya jika kita akhiri dengan mengucap hamdalah dan doa kafaratul majelis. Semoga Allah ridho dengan apa yang kita lakukan."

Setelah mengucap salam, kedua pria itu berlalu pergi setelahnya disusul oleh Fathia yang berjalan di belakangnya. Aku menghela napas berat lalu tersenyum singkat. Entah mengapa, segumpal sesak bersarang di dadaku. Aku memejamkan mata, merapalkan istigfar seraya meremas gamisku dengan kuat. Entah mengapa, perasaan ini sulit dijelaskan. Seperti ada virus merah jambu yang berhasil bertahta di hatiku.

Seharusnya aku sadar diri, bukan malah memantaskan diri. Dia yang paham agama tak pantas denganku yang fakir ilmu. 

Terik. Baskara kini berada tepat di atas ubun-ubun. Langkahku kini beralih ke pojok masjid untuk mengambil air wudu. Tidak berselang lama, kini aku duduk dengan memakai kain putih berbordir di tempat khusus wanita. Sembari menunggu azan, aku memilih untuk berzikir dengan beberapa kalimat tasbih, tahmid, dan tahlil. Zikir merupakan obat penenang hati dikala resah dan gundah. Dengan berzikir mengajarkan arti syukur, sabar, dan mendekatkan diri kepada Allah. Ada pun zikir yang apabila kita membacanya akan memperberat timbangan di akhirat kelak, yaitu subhanallah wabihamdihi, subhanallahiladzim.

Sayup-sayup naungan azan terdengar berkumandang. Aku terhanyut, kalam Allah seakan-akan berhasil menghipnotis pendengaranku. Aku mengikuti bait demi bait suci dari bibir manisku. Hatiku tidak berhenti bergetar, mengalirkan sensasi ketenangan dalam jiwa. Sungguh, rasanya seperti memang Allah sedang memeluk hambanya. Aku tersadar ketika suara itu telah menghilang tanda berakhirnya azan. Aku membaca doa sesudah azan dan doa-doa yang lain. Bukankah meminta kepada Sang Pemberi di waktu yang mustajab itu lebih baik?

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh berdoa antara adzan dan iqomah tidak tertolak, maka pergunakanlah untuk berdoa." (HR. Ahmad).

Sembari menunggu iqamah, aku bangkit untuk melaksanakan salat sunah empat rakaat sebelum zuhur. Salat sunah rawatib juga merupakan amalan lain yang waktu pelaksanaannya antara azan dan iqamah. Para jamaah mulai berdatangan, iqamah sudah dikumandangkan, barisan shaf diluruskan, dan imam mulai menjadi komando. Salat jamaah sungguh besar pahalanya jika dibandingkan dengan salat munfarid. Semua berjalan khitmad, setelahnya aku melepaskan mukena, melipat dan memasukkannya ke dalam tas. Disaat aku sedang membenarkan hijabku, sesosok perempuan bercadar mengucapkan salam yang membuat aku terkejut bukan main.

"Waalaikumus salam, Ustazah Maryam." 

"Salatnya sudah selesai, Nak? Mari, halaqahnya akan segera dimulai." Aku bangkit dan berjalan beriringan di belakang perempuan dengan gamis hitam. 

Derap langkah terdengar ganjil beradu menyapu jalan. Kini aku dan Ustazah Maryam terhenti di sebuah ruangan tempat pertemuan. Terlihat bahwa rapat halaqah telah dimulai. Aku duduk di kursi putih sebelah Maziyah pastinya.

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. menganjurkan umatnya dan beliau selalu berpesan pada putrinya, Sayyidatina Fatimah r.a agar tidur dalam keadaan suci atau mempunyai wudu, membaca surat-surat pendek, salawat, istigfar, zikir, dan membaca doa."

"Sebagai generasi muda tidak hanya harus cerdas saja, tetapi juga harus beriman. Dalam bentuk apa? Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah shallallahu' 'alaihi wa sallam, beliau bersabda. Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan, hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim."

"Iman diibaratkan sebagai akar pohon kelapa. Dari akar maka tumbuhlah seribu manfaat. Dengan iman maka tumbuhlah shahabiyah sesetia Thalhah bin Ubaidillah, sahabat Nabi yang memiliki banyak julukan, salah satunya adalah burung elang, serta Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab yang mendapat julukan singa Allah."

"Bagaimana dengan perempuan Ustaz?" Suara Maziyah memangkas ucapan Ustaz Arifin.

"Dengan adanya iman, lahirlah wanita pemberani yang bernama Ummu Umarah yang mendapatkan julukan singa merah, Gazalah Al-Hurairah wanita yang ikut bertempur sebagaimana pejuang Islam lainnya, Laila Al-Ghifariyah juru rawat di saat Perang Uhud, secerdas Aisyah binti Abu Bakar, dan Atikah binti Zaid istri para syuhada dan perempuan penderma yang ahli hadits." Suara pria bersorban itu menyulut semangat. Memang, generasi muda harus memiliki yang namanya iman.

"Ustaz, apakah perempuan boleh ikut perang?" Suara perempuan dengan baju yang mengikuti trend masa kini itu membuat atensiku teralihkan.

"Boleh, bahkan perempuan tidak dilarang untuk ikut maju ke medan perang. Hal itu didasarkan pada penilaian derajat yang sama atas laki-laki dan perempuan dalam ajaran Islam." 

"Ustazah maaf jika pertanyaan Fatimah menyimpang dari pembahasan kali ini. Saya cuma mau tahu, bagaimana adab berpakaian seorang muslimah menurut Islam?" Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengeluarkan unek-unek ketika melihat cara berpakaian Fathia yang membuat aku risih.

"Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Seorang wanita harus bisa menjaga kehormatan, pandangan dan hati dari segala macam zina. Ada pun adab mengenakan hijab menurut syari'at Islam. Hijab yang dikenakan harus menutup dada dan seluruh tubuh, menggunakan jilbab yang longgar, bahannya tidak terawang dan tidak terlalu banyak model--"

"Tapi Ustazah, kita akan terlihat seperti ibu-ibu, dan kita akan ketinggalan trend hijab kekinian." Sanggah Fathia ketika ia mulai sadar pertanyaan serta jawaban itu mengarah padanya.

"Saya paham, Nak Fathia. Namun, kecantikan bukan terletak pada pakaian yang dipakai, tetapi ia bergantung pada keelokan akhlak dan budi pekerti. Tutuplah auratmu wahai muslimah sebelum Allah menutupnya dalam timbunan tanah." 

"Ustazah, apakah dengan bertaaruf bisa menghindari zina?" Kini giliran pria bermata elang yang bertanya kepada Ustazah Maryam.

"Bisa. Seorang laki-laki yang baik agamanya, ia akan menjunjung kehormatan wanita. Ia akan menjaga pandangan dan menjauhi zina dengan cara bertaaruf," lanjut Ustazah Maryam yang entah mengapa membuat Maziyah berdeham seketika.

"Sudah dikode, Fat." Tawa kecil terdengar dengan kedua alisnya yang dinaik turunkan. Ah, gadis ini suka sekali menggodaku. 

"Ustaz, jika membahas sunah Nabi, apakah berdosa bagi seorang suami yang berpoligami tanpa sepengetahuan istri sebelumnya?" 

"Si suami tidak berdosa dan dia tidak perlu meminta izin istri pertamanya. Dalam Al-quran surat An-Nisa ayat 3 dijelaskan, nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniayah."

"Kenapa harus poligami sedangkan sunah Nabi itu banyak. Semisal ada salat tahajud, puasa Senin Kamis, salat duha--" Kalimatku terpangkas.

"Poligami itu sunah, tapi menjaga kerukunan rumah tangga itu hukumnya wajib. Bukankah di surat An-Nisa telah dikatakan jika kamu takut tidak bisa berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki." Hening kembali tercipta. Bungkam, seolah semua kamus kata dalam otak ini hirap seketika. Apalah dayaku, hanya mampu menundukkan pandangan. Ah, aku harus bisa menjaga hati. Seperti Sayyidatina Fatimah dan Sayyid Ali bin Abi Thalib, saling mencintai dalam diam bahkan setan pun tidak mengetahuinya.

Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. Namun, aku kembali diyakinkan oleh surat yang sama, tetapi dengan ayat yang berbeda. Jadilah, maka jadilah sesuatu itu. Dan ayat 82 tersebut benar adanya. Mengapa? Karena lewat gerhana keduanya bertemu di waktu yang tepat. Langitkanlah cintamu pada-Nya dan bumikanlah cintamu padanya. Dengan begitu kamu tidak akan takut kecewa, terluka maupun kehilangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun