Mohon tunggu...
Della Anna
Della Anna Mohon Tunggu... Blogger,Photographer,Kolumnis -

Indonesia tanah air beta. Domisili Belanda. Blogger,Photographer, Kolumnis. Berbagi dalam bentuk tulisan dan foto.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cintaku dalam Diam

13 Februari 2016   15:05 Diperbarui: 13 Februari 2016   17:59 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Rose and Love /foto 2013 ©DellaAnnaPhotography-TheNetherlands"][/caption]

Masih juga kau berdiri di sana, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Dan aku, masih juga duduk di sini. Sudah berapa permen karet kukunyah untuk menghilangkan ngilu jemu, namun pikiranku untukmu mengalahkan urat-urat yang kaku dan rasa ngantuk yang mengganggu. Pikirku, kau yang berdiri di sana pastinya lebih penat dariku. Laparmu pastinya menyayat lambungmu lebih tajam dari laparku. Terbuat dari apakah dirimu, dagingkah atau besi?.

Sejenak kulihat kau mengintip jam tanganmu, "ah sudahlah, tamatkan saja cerita malam ini," harapku dalam hati. Hari ini kisah bukan dead line, esok moga Tuhan memberi satu hari lagi.

Tatapanmu tiba-tiba ke arahku, seakan-akan kau bisa membaca diriku dalam jeda. Sorot lampu mobil B&W itu begitu terang memecah kesepian, sampai serpih-serpih debu pun terkejut lari berterbangan. Aku terhenyak dan kau pun bangun dari kepenatan. Ketika lampu sorot padam aku pun kehilangan jejakmu. Pikirku, haruskah aku berlari ke tempatmu untuk melihat siapa dia?. Lagi-lagi otot kakiku membeku biru, sama seperti hatiku yang haru.

Kuhitung dengan angka yang sederhana, namun dirimu tetap menguap. B&W itu tetap elegan dengan kesetiaannya, dan tanda-tanda kehidupan seakan terhenti, semua senyap seiring suara malam. Setiap limabelas menit terdengar jeritan rel kereta api, roda kereta semana-mena memperkosanya dengan bangga.

-

"Berhenti dimana,?" sapaku berani. Jawabanmu pendek, "Zutphen!"

"O … sepertinya tak ada kereta jam ini, kita harus pakai bus,’’ sambungku, " mereka sedang sibuk memperbaiki rel-rel," lanjutmu.

Itulah kali pertama kukenal dirimu. Kulitmu putih bersih dengan bulu-bulu halus warna keemasan menyelimuti. Rambutmu berwarna coklat tiga warna, batu bata, kuning dan oranye. Hidungmu bukan milik kebanyakan perempuan Belanda, warna pupil matamu pun berasal dari utara – Polandia. Lentik bulu matamu asli dan bebas maskara. Lekuk bibirmu menyerupai kuncup bunga mawar. Hilir angin melalui jendela menerpa hidungku mengirim wangi aroma parfummu, lembut dan menggelitik pertanyaanku.

Satu jam limapuluh menit kita duduk berdampingan dalam bus jurusan Zutphen.

"Izolda," kau sebut namamu. "Raymond," balasku.

Kau cerita mengapa orang tuamu memberimu nama Izolda yang berarti "sangat cantik."

Menurutmu, ternyata nama itu menjelma menjadi balok baja memberatkan tulang langkahmu. Garis-garis halus di sekitar dahimu mencatat dengan rutin. Lipatannya menyembunyikan rahasia.

Kita bertukar nomor telepon, tetapi sampai detik ini belum satu kali pun dua atau tiga kata dalam satu kalimat melayang dalam bentuk sms. Entah mengapa.

-

Kulirik rak yang penuh dengan kartu ucapan Valentine’s Day di depan kios stasiun, salah satu kartu tertera "Love give a reason to be living."

Kudengar suara, "Hei," "Halo," secara tak sengaja kita berjumpa. Lagi-lagi stasiun kereta yang sama - Eindhoven. Kali ini aku berbohong, kuikuti saja mau hatiku sampai ke Zutphen, padahal di stasiun Zwolle aku harus turun. Tiba-tiba saja aku kangen melihat warna kulitmu, warna rambutmu dan keriting bibirmu. Dan tiba-tiba saja aku lapar aroma parfummu.

Baru kali ini aku sadar, ternyata kau memiliki satu gigi gingsul di sebelah kiri bagian depan. Tapi tidak mengapa gingsul atau tidak aku sudah cukup bahagia jumpa denganmu kembali.

"Pulang kerja!," tanyamu. "Ya, aku mesti lembur," bohongku.

Kini aku mengenalmu beberapakali. Stasiun Zwolle aku lupakan hanya karena aku masih ingin mendengar suaramu. Tak mengapa, aku harus kembali satu stasiun lagi. Mana berat kehilangan kangen suaramu atau pulang tepat waktu dan rutin jalan dengan Boyke anjingku yang setia menunggu di depan pintu.

Ada yang tersimpan dalam lubuk hatiku, tak kuasa aku berani bertanya padamu. Pikirku, ah kulalui saja waktu seperti air di sungai.

Menganga pikiranku, ingin kututup dengan gombal jawaban tetapi tak pernah kudapat. Pernah ringan aku beranikan diri bertanya padamu, namun mulutmu terkunci. Aku pun takut kehilangan dirimu. Waktu selanjutnya kubuang saja pertanyaan itu jauh-jauh dari gudang kepalaku.

-

Lamunanku pecah, sorot lampu B&W mengalahkan cerah lampu jalanan. Suara mesin menderu-deru memecahkan kehitaman malam. Tanpa aku peduli B&W melaju cepat berpindah gigi satu ketiga, lengkingnya meraung-raung memamerkan keangkuhan dan kemenangan.

Kini, ya ku lihat kau lagi di sana. Berdiri melambaikan tangan pada B&W warna hitam.

Kututup sebagian wajahku dengan tas laptopku, bersembunyi dan berharap kau tidak kembali curiga cari tahu di seberang sana. Aku gelisah, kepalaku sakit dan detam hatiku bertalu-talu.

Tergesa-gesa kulihat kau berjalan balik arah stasiun. Dalam jeda aku berdoa untukmu moga kau sampai dengan selamat di stasiun. Jangan kawatir, aku ada dalam radius di belakangmu. Sesekali ku dengar bincangmu dengan telepon genggam, entah dengan siapa?.

Kau berlari kecil dan akupun berlari kecil. Kau menyeberang akupun demikian. Enam pasang mata anak muda mendelik aneh ke arahku. Bahasa tanganku menjelaskan "alles Ok!."

Tiba-tiba kau menghilang dan hatiku pun lega ketika kau muncul kembali dari balik pintu bertuliskan "openbare toilet." Langkahmu kini tenang menuju peron 5. Aku tetap dalam jeda. Ketika matamu tiba-tiba menangkapku di belakangmu, aku berpura-pura sibuk dengan apps ku. Kutangkap hembus angin dingin ke arahku, kulirik kau menghampiriku. Lagi-lagi aroma parfummu menjebak ingatanku.

"Hei Ray, lembur lagi," sapamu. Senyumku lebar selebar kedua tanganku yang ingin sekali memelukmu. Kau dan aku duduk berdampingan, kubiarkan kau memilih tempat dekat jendela. Lampu-lampu jalanan dan lalu lintas seakan-akan menghipnotis dan memainkan harpa kisah malam. Ingin sekali aku menggenggam tanganmu, ingin sekali. Namun ruas tulang jemariku kelu membeku. Ingin aku menarikmu membuka frontal topik pembicaraan, agar jelas. Ingin aku bertanya apa yang kau buat di gelap ruang B&W warna hitam? Ingin sekali aku menelanjangi dirimu agar kulihat berapa besar balok baja di pundakmu. Sesekali pandang matamu beradu dengan mataku, kutangkap di sana riak-riak yang sama dengan mataku, pertanyaan!. Namun, mengapa akhirnya kita membisu!.

-

Kuusap kepala Boyke anjingku. O, kasihan kau. Berapa lama kau harus tahan buang air besar dan kecil, sementara aku mengembara bolak balik stasiun hanya karena Izolda. Rasa bersalahku demikian besar pada Boyke. Bisa kubayangkan kalau aku sendiri harus menahan sakit perut karena tak ada toilet. Kutumpahkan perhatianku untuk anjingku, maafkan tuanmu ini.

-

Hari ini, hari minggu. Aku berdiri jauh bersembunyi. Kulihat Izolda berdiri di sana. Kali ini bersama dua orang wanita lain. Gelak tawa mereka sampai ditelingaku. Kulihat satu taxi berhenti dan mereka bertiga ramai-ramai menghampiri. Ketika taxi melaju hilang ditelan kesibukan lalu lintas, kulihat hanya Izolda tertinggal seorang diri. Dan aku pun menghela napas, lega.

Hari ini hari minggu, hari yang tak kuat untuk beralasan lembur.

Gejolak hatiku berlomba melawan pikiranku. Kapan aku berani berlari ke sana menghampiri dia, menarik tangannya dan menyeretnya pulang ke rumahnya atau ke rumahku. Ingin sekali aku lakukan, tapi aku bukan Spiderman. Aku hanya Raymond, karyawan biro perjalanan.

Mungkin pikirku, Izolda pun merasakan hal yang sama seperti apa yang kupikirkan sekarang. Kami buntu memainkan teka-teki huruf.

Bahkan pikirku merendah, mungkin aku sendiri yang tak berani mengatakan siapa diriku. Gajiku yang pas-pasan membayar rekening setiap bulan mungkin tak bersisa untuk memanjakan diri Izolda. Atau, terpaksa aku harus lepaskan Boyke dan menyerahkannya pada tempat penitipan hewan peliharaan agar mendapat tuan adopsi yang baru. Dengan demikian ongkos memelihara Boyke bisa aku gunakan untuk ekstra menyenangkan Izolda. Pikiranku memang seribu biru.

Permen karetku sudah habis. Menggigit kuku pun akhirnya aku merana sendiri. Kulihat dari kejauhan Izolda tetap berdiri di pinggir jalan, menanti para pelanggan.

Hatiku sakit memandangnya, pilu bukan karena diriku rendah dari beberapa lembar euro seorang pelanggan yang memberi kepada Izolda. Namun sakit karena aku tak memiliki keberanian.

Mataku panas, berlinang air mata melihatnya dari kejauhan seperti ini. Aku memang pengecut, membiarkan Izolda terperosok makin dalam dengan dunianya. Ingin aku berteriak dengan suara lantang "Izolda, ik hou van je!" tapi lagi-lagi lidahku bertulang seperti besi.

Apakah aku harus tetap seperti ini mencintai Izolda dalam diam?.

Diam-diam aku berdoa, moga malam ini Izolda tak laku. Aku berdoa, moga pelanggan tak melihat Izolda berdiri di situ.  Dan aku berdoa, moga malam besok dan besok lagi, Izolda tak laku. Apakah aku kejam menghukumnya hingga Izolda melarat tanpa uang?. Tidak, aku masih percaya, mungkin besok atau besok lagi aku berani menyatakan cintaku kepadanya. Aku berharap. Pegal rasanya mencintai dalam diam. (da130216nl)

--

Ucapkan selamat untuk mereka yang merayakan "Hari Kasih Sayang" 

Cinta bukan hanya untuk satu kali setahun. Cintailah selama napas bersarang dalam jantungmu

--©DellaAnna--

catatan; openbare toilet (wc umum)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun