Dijual
Diwariskan
Ditukar, atau
Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya
Adapun pidana dan sanksi bagi yang dengan sengaja menjaminkan, disita, dijual, dihibahkan, ditukar, diwariskan dan dialihkan peruntukannya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Di dalam UU Wakaf ketentuan pidana mengenai larangan untuk menjual atau mengalihkan hak harta benda wakaf terdapat di dalam Pasal 67 ayat (1) UU Wakaf sebagai berikut: “Setiap orang yang menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 atau tanpa izin menukar benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500 juta” . Pada Pasal 67 sanksi atas Tindakan tersebut juga sangatlah berat yang bertujuan agar masyarakat enggan untuk melawan hukum.
Sungguh disayangkan jika tanah yang telah diwakafkan dijadikan agunan, karena hanya menghilangkan kebaikan yang sudah diperoleh. Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda : “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya, kecuali dalam tiga hal, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakan” (HR Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Abu Daud).
Apabila seorang nadzhir kehabisan uang dalam mengelola harta benda wakaf sehingga nadzhir berupaya menjaminkan tanah wakaf tersebut untuk mendapatkan pinjaman uang untuk mengelola harta wakaf tersebut. Hal ini sebenarnya tidak diperbolehkan, karena apabila tanah wakaf dijadikan jaminan untuk utang, dikhawatirkan tanah wakaf disita karena tidak bisa melunai hutang yang mengatas namakan wakaf. Dengan demikian berhentilah amalan wakaf serta tidak sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Jadi sudah jelas, bahwa harta wakaf yang dikelola oleh nazhir tidak diperbolehkan dijadikan agunan. Sebab harta wakaf adalah harta milik Allah SWT. Dalam arti, ketika seseorang mewakafkan hartanya, berarti ia telah menyerahkan kepemilikan barang atau aset secara absolut kepada Allah SWT, sehingga nilai tersebut tidak dapat berkurang.
Oleh: Syara Sabilla Fauziani, Mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Siliwangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H