Sebelum ibunya bisa menyadari apa maksud perkataanya, mata pisau telah menusuk hati ibunya.
Nirma berdiri di lorong gelap, angin dingin memukul tubuhnya. Tapi itu tidak seberapa, dibandingkan dengan rasa sakit pada jantungnya yang abadi, rasa sakit dari memori tentang ibunya, rasa sakit yang terus mengawasinya. Dia melarikan diri dari ibunya. Dan di tanah tandus yang asing ini, dia sendirian.
Di gang gelap, ia berdiri, hampir sekarat karena kelaparan, ia ingat ibunya. Tidak nampak ada air mata di matanya, tapi jiwa rusaknya direndam dalam air mata. Dia telah melarikan diri, tapi dia tidak pernah berpikir mengantisipasi perjuangan, susahnya perjuangan untuk bertahan hidup. Tempat yang tidak diketahui ini, di mana ia bermimpi tentang kebebasannya, tetapi tidak ada makanan. Seolah ia ditinggalkan sendirian untuk berperang, dan di sanalah dia, di gang dingin, memegang hidupnya, bahkan ketika dia tahu bahwa dia kehilangan pertempuran itu.
Dia sekarang mengerti posisi ibunya, perdagangan yang ibunya lakukan untuk bertahan hidup, pengorbanan untuk menjaga putrinya.
Saat harapannya mulai memudar, Nirma melihat cahaya mobil dari kejauhan menuju ke arahnya. Mobil makin mendekat, Nirma melambaikan tangannya, menandakan pada pengemudi untuk berhenti. Mobil berdecit dan berhenti, Nirma mendekati sopir, menatapnya dan senyuman palsu melintasi bibirnya.
"Berapa untuk semalam?" Tanya pengemudi itu agak ragu.
"Lima ratus." Nirma menjawab singkat, dan setelah berpikir sejenak, ia menambahkan, "Dan makan malam."
Pria itu tersenyum mendengar perkataan polos itu dan membuka pintu mobil untuk Nirma. Dia masuk ke dalam mobil, dan mobil melaju ke arah tempat yang ia tidak tahu, dan ia tidak peduli.
"Namamu siapa?" Tanya pria itu.
Nirma menatap pria itu, menarik napas dalam, dan menyandarkan kepalanya di kursi. Setelah beberapa saat, dia menjawab, "Aku seorang pelacur."
Pria itu tidak bertanya lebih lanjut. Tangannya sudah mulai kurang ajar.