Dia masih bersikeras.
"Tapi aku ingin pergi ke sana!"
"Ketika kamu sudah besar nanti, maka kamu akan menikah juga dengan pria tampan, dan kita tidak perlu mengundang mereka juga!" Ibunya menjawab.
Meskipun dia masih tidak mendapatkan jawaban, kata-kata ibunya membuatnya sedikit berpikir tentang pernikahan. Dia membayangkan seorang pemuda tampan yang akan menjadi suaminya. Dia bermimpi tentang kehidupan yang akan dia miliki dengan suaminya. Yah, meskipun ia benar-benar tidak mengerti apa artinya menikah. Dia memberitahu impiannya kepada ibunya, dan selalu disambut ramah senyuman dari sang ibu. Ketulusan yang tercermin di mata ibunya sudah cukup untuk melupakan kekhawatiran kecilnya.
Hari-hari terlewat dengan cepat, dan Nirma baru saja mulai mengalami tanda-tanda di tubuhnya. Tanda-tanda dia mulai menginjak masa remaja, menstruasi.
Suatu hari ia tiba di rumah agak telat tak seperti biasanya, langsung pergi ke ibunya, memeluknya dan menangis cukup lama dalam pelukan sang ibu. Ada rasa sakit yang sangat, dapat terlihat di matanya, dan bibirnya menggigil dalam rasa sakit yang tak dapat terungkapkan. Ibunya mencoba menghibur, tapi dia tidak mau mendengarkan. Ibunya tidak mengerti mengapa dia menangis dan tidak bisa menemukan kata-kata yang bisa menghibur anak gadisnya.
Setelah agak lama, isak tangisnya mulai mereda, menjadi napas panjang yang kadang diselingi senggukan. Nirma berpaling kepada ibunya dan meraih tangannya. "Ibu", katanya, "Teman-teman di sekolah mengatakan bahwa Ibu adalah seorang pelacur. Katakan bahwa mereka berbohong, Bu!" Air mata menggenang di matanya saat ia berjuang untuk menyelesaikan kalimatnya.
Ibunya mendengarkan perkataan putrinya dengan mata teduh. Lalu, memohon pada putrinya agar tenang. Ada guratan pucat di wajahnya dan genangan bening di matanya yang siap meluncur, tetapi tidak ada jawaban yang dapat ia berikan kepada putrinya. Bagaimana dia bisa menjelaskan hal ini kepada putrinya? Apakah putrinya memiliki cukup keberanian untuk menghadapi kebenaran, atau apakah dia sendiri punya keberanian untuk mengungkapkan kebenaran itu? Apakah bisa putrinya memahami kenyataan pahit tentang dunia? Apakah malaikat kecilnya yang berharga siap untuk menerima semua ini? Dia tidak tahu.
Kesunyian ibunya merupakan pukulan maut bagi harapan Nirma. Dia berharap bahwa ibunya akan menolak semua yang teman-temannya katakan dan semua segera berlalu sebagai mimpi buruk. Tapi tidak! Ibunya berdiri di depannya dalam diam. Nirma ingin sekali berteriak untuk menentang. Diamnya sang ibu seolah menghancurkan segala impian, menenggelamkan harapan. Dia merasa lebih sakit, mati rasa, tatapan kosong yang mengambil alih indranya. Dia muak dengan ibunya, karena ia telah menjadi penyebab jantungnya berdegup tak beraturan.
Tak ada harapan. Kematian solusinya. Ketika tidak ada alasan yang tersisa untuk bahagia, maka sisi gelap manusia terungkap. Bencana karena pikiran gelap dan kebencian pada orang. Dan dalam kegelapan, kebencian manusia sering diarahkan ke satu orang atau yang dianggapnya sebagai penyebab kesengsaraan yang terjadi. Benih kebencian terhadap ibunya tumbuh dalam pikiran mudanya. Hati yang dulu mencintai wajah sang ibu telah berubah menjadi sesuatu yang pahit. Sekarang ia bisa mengerti mengapa orang-orang sekitar tidak pernah bertandang kerumahnya, dan mengapa tak seorang pun pernah mengundang mereka dalam acara apapun. Dia bisa membayangkan dirinya di masyarakat, dicap sebagai sesuatu yang penuh dosa, yang tidak punya hak untuk berada di antara mereka. Seseorang yang tidak memiliki ayah, dia adalah anak dari seorang yang menjual tubuhnya.
Fakta bahwa ibunya adalah seorang pelacur merupakan pukulan keras untuk Nirma. Dia tidak pergi ke luar bersama teman-temannya lagi, dia memutuskan untuk berhenti sekolah dan tak ada lagi wajah ceria pada wajahnya yang selama ini memenuhi rumahnya. Dia menjadi pendiam. Kebencian terhadap ibunya makin mengakar kuat. Ibunya tidak lagi ia cintai, ibunya adalah seseorang yang sangat ingin ia singkirkan dalam hidupnya.
Setiap hari ia melihat ibunya dengan laki-laki yang berbeda di rumah mereka, sesuatu yang tidak ia perhatikan sebelumnya, dan setiap hari pula ia berharap ibunya cepat mati. Dia melihat memar di wajah ibunya, tanda-tanda yang tersisa pada sang ibu akibat oleh para kanibal dosa, sesuatu yang ibunya tanggung dalam diam-diam. Tapi bukannya simpati, memar diwajah itu hanya menambah lebih kebencian terhadap ibunya.